Tuesday, May 5, 2009

Atikah Chou - Bagian 1




Bagian 1

“Kak Mira…! Kak Miraaaaa…!”
Mana sih Kak Mira? Panas nih diluar sini Kak!
Pagar rumahnya dikunci.
“Buka pintunya dong Kaaaaaaak.”
Goncangan tangan kecilku pada pintu pagar rumah Kak Mira toh tidak membuat pintu terbuka.
“Oom, Kak Mira kali nggak dirumah” teriakku pada Oom Win.
“Pencet belnya Tik.”
“Ini juga masih Atik pencet terus.”
“Tunggu.”
Oom Win keluar juga akhirnya dari mobilnya. Membantu aku memanggil Kak Mira.
Dua, tiga menit panggilan kami tidak dapat balasan dari yang kami panggil.
“Rumahnya kosong. Kita pergi saja.”
Oom Win membalikkan badan, menggandeng aku dibahu, mengajak kembali ke mobilnya.
“Oom sedih Kak Mira lupa janjinya?”
“Enggak. Lain waktu masih bisa kita ajak Kak Mira. Ayo.”
Dari balik tirai kamar tidur kulihat mobil Oom Win dengan dia dan Atik didalamnya. Menjauh…….



*****


Kok tumben, malam minggu begini si Atik belum muncul dirumah? Biasanya lepas sembahyang maghrib dia sudah ada diteras rumahku lengkap dengan tas besar berisi peralatan gambar miliknya.
Atik anak perempuan keluarga Prasodjo. Satu-satunya perempuan. Kakaknya dua laki-laki semua. Oom Lukito Prasodjo, papanya, Solo asli. Tante Mei, istrinya, Solo keturunan Chinese. Kulit Atik ikut mamanya. Kuning. Manis wajahnya ikut bapaknya.
“Menggambar apa nih Kak?” Pasti itu pertanyaan pertamanya padaku.
Sudah beberapa waktu ini aku suka “mengerjai” dia. Menyuruh dia menggambar obyek yang cukup sulit. Aku tahu dia bisa.
Suatu kali kuambil kendi air minum dari dapur. Kuletakkan diatas meja teras dan kusuruh dia menirunya diatas kertas.
“Susah sekali. Aku mau gambar kartun saja.”
“Coba dulu.”
“Nggak mau.”
Dia merogoh tasnya, menarik keluar sebuah komik kartun.
“Ini saja.” Ditunjuknya gambar tokoh kartun berperut buncit.
“Kakak ingin punya lukisan kendi ini.”
“Gambar saja sendiri.”
“Kalau kamu tidak mau lukis kendi itu, lebih baik gambar kartun itu kau buat dirumahmu sendiri sana.” Aku pura-pura marah.
“Kakak jahat.”
Lalu dia bereskan peralatan gambarnya sambil berurai air mata dan terus cepat-cepat kabur, pulang.
Tak kusangka besok paginya, Hari Minggu, dia muncul lagi dirumah. Membawa kertas gambar saja. Gambarnya disembunyikannya dari aku.
“Ini untuk Kakak, tapi tidak bagus.”
Kertas gambar yang gambarnya masih belum kulihat itu diangsurkan padaku.
“Wah, kau lukis juga kendi itu?”
“Iya.” Dia malu-malu.
“Kakak sudah tahu kamu berbakat Tik. Sangat berbakat jadi pelukis” pujiku.
“Bakat itu apa Kak?”
“Kepandaian khusus. Dalam hal ini menggambar. Gambarmu sangat bagus.”
Rasanya Atik tidak mengerti penjelasanku barusan.
Biarlah. Aku toh sebetulnya tidak berlebihan menilai dia. Kekuatan hasil goresannya sudah kelihatan memiliki cirri dan dalam keterbatasan anak seusia dia, telah memiliki sisi yang bisa disebut keindahan.
“Akan Kakak belikan bingkai ya.”
Dia mengangguk-angguk.
Sudah hampir jam sembilan. Rasanya Atik tak bakal muncul. Lukisan kendi kupandangi. Malam ini kendi itu tidak terlalu indah. Agak terlalu senyap kesan warna badan kendi yang coklat tanah liat itu.
Kudengar suara ibu menerima telepon dan tak lama bicara tergesa-gesa dengan ayah. Dari kamar, samar saja, sepertinya ibu mengucapkan kata-kata: Atik, mobil Win dan rumah sakit. Diulang oleh ayah: Atik, mobil Win, rumah sakit. Ayah menambahkan: kecelakaan!
“Mira, kau sudah tidur?” Ketokan ibu keras pada pintu kamarku.
Aku keluar.
“Ayo ikut lihat Atik di rumah sakit.”
“Atik kenapa Bu?”
Aku berdebar-debar. Ingat dia tadi siang pergi bersama Oomnya.
“Kecelakaan dengan Winardi.”
“Parah?”
“Belum tahu, lekas siap-siap.”
Dalam satu jam, aku, ayah dan ibu sampai di rumah sakit. Tante Mei sudah bolak-balik pingsan, sadar, pingsan, sadar lagi, pingsan lagi menurut Oom Lukito.
Semoga bukan malam ini nyawa Atik dan Oom Win……... Itu terus kalimat yang kuulang-ulang dalam hati.
“Ayo, kita lihat Atik” ajak papanya Atik.
Atik yang memang kurus dan kecil itu tampak kecil sekali ditengah tempat tidur rumah sakit. Mata terpejam. Wajah pucat. Kepalanya penuh perban. Ujung-ujung selang ditempelkan pada beberapa bagian tubuhnya. Barangkali untuk bantu pernafasan, memasukkan cairan makanan atau obat, dan ada juga yang kedadanya – entah apa fungsinya.
Yang agak tidak biasa adalah tangannya. Apa ya? Kupandangi kedua tangan Atik. Tangan kanannya terkulai antara perut dan dadanya. Lalu tangan kirinya. apa yang aneh dengan tangan kirinya? Kupandangi tanganku sendiri, lalu tangan semua orang, lalu kembali ke tangan kiri Atik.
“Tangan kirinya diamputasi.” Oom Lukito membaca pikiranku.
Amputasi? Amputasi?? Amputasi??? Dipotong???
Salah satu eyangku juga diamputasi kaki kirinya. Dulu kena peluru kompeni. Amputasi adalah yang terbaik. Kalau tidak, bekas lukanya akan membusuk dan busuknya akan meluas. Jadi amputasi adalah tindakan menyelamatkan eyang.
Tapi amputasi tangan kiri Atik adalah tindakan penghancuran bahkan perampokan masa depannya.
Atik sayang, kamu belum lagi delapan tahun genap. Bagaimana kamu akan menghadapi masa depanmu dengan kehilangan yang begitu besar?
“Dia duduk disebelah Oomnya di mobil tadi siang.” Mata Oom Lukito berkaca-kaca. Suaranya ditahannya sedapat mungkin. Dia tahu dia tidak boleh lemah sebab istrinya sudah jauh lebih lemah.
“Win menghindari mobil yang menyalip dari arah depan, dia banting setir ke kiri tapi terlalu jauh. Bagian kiri depan mobil hancur menabrak pohon besar ditepi jalan. Itu sebabnya tangan kiri Atik, harus… harus… harus hilang…”
Entahlah apa aku harus bersyukur? Seandainya aku ikut dengan mereka, akulah yang pasti duduk disebelah Oom Win. Jadi Atik menyelamatkan tangan kiriku? Arti kepemilikan sebuah tangan tiba-tiba begitu besar aku rasakan.
“Oom senang kamu ternyata tidak ikut pergi dengan Win dan Atik tadi siang.”
Oh, jadi Oom Lukito tahu?
“Mira…” Panggil Oom Lukito lagi.
Kuseka air mata.
“Win belum bisa dijenguk. Dia masih di ruang perawatan intensif.”
Aku mengangguk.
Oom Win adik kandung papanya Atik. Aku tahu, diam-diam orang tuaku dan orang tua Atik berusaha menjodohkan aku dengan Oom Win. Tapi aku malu. Masak pacaran dengan orang yang kupanggil “Oom”? Sebetulnya sih hanya karena dia adik Oom Lukito maka aku terlanjur memanggilnya “Oom” juga. Dan memang waktu aku kuliah masih ditahun pertama, Oom Win sudah bekerja. Jadi mungkin selisih umurnya dengan aku paling banyak sekitar tujuh atau delapan tahun. Masih pantas sih sebetulnya kalau aku mau dijodohkan.
Yang membuatku tidak tahan paling-paling olok-olok teman-temanku. Setengah guyon, setengah mendoakan kuliahku tak bakal selesai karena keburu dilamar.
Selama Oom Win dirawat, aku hanya sempat menjenguknya satu kali. Itupun saat dia belum sadar.
Setelah Atik dan Oom Win keluar dari rumah sakit, dengan alasan yang tidak kuketahui, Oom Lukito memindahkan keluarganya ke Solo. Aku, karena kesibukan kuliah yang makin padat, kemudian disuruh kost saja didekat kampus oleh orang tuaku. Waktu Atik dan keluarganya berangkat pindah aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat berpisah.
“Sepi tanpa Atik di malam minggu begini ya Bu?” kataku suatu kali.
Diteras ini, aku duduk disebelah ibuku. Kami memandang rumah Atik yang sekarang sudah berpenghuni satu keluarga yang belum kukenal.
“Maafkan ayah dan ibu tak dapat memberimu seorang adik.” Ibu membelai tanganku.
“Aku tidak protes menjadi anak tunggal kok Bu. Aku hanya ingat waktu Atik masih tinggal disebelah. Apa dia masih mau sekolah sekarang? Tidak minder dengan bertangan satu? Masih maukah dia melukis?”
“Dia anak yang kuat. Dan kau sudah menanamkan kepercayaan bahwa dia akan menjadi pelukis terkenal.”


(akan bersambung dengan Bagian 2, besok)

No comments:

Post a Comment