Wednesday, May 6, 2009

Posting Ulang: "Nu Dalam Layar Buku Catatan"


(Di-posting ulang dalam rangka memenuhi permintaan seorang teman yang minggu lalu belum sempat membacanya.)

Semua ini dikisahkan kepadaku oleh Nu, sahabatku waktu kecil dulu, hanya lewat huruf-huruf di layar komputer. Baru-baru ini aku tahu itu disebut chatting.
Layar buku catatan (kuterjemahkan langsung dari notebook sebab memang komputerku kecil sekali, ukurannya mirip buku catatan kertas biasa) agak tidak jelas bagiku terbuat dari bahan apakah dia. Kalau televisi, jelas aku bisa menyebutnya layar kaca. Atau kalau di bioskop, jelas layar perak. Lebih mudah lagi kalau di lapangan terbuka, layar tancep. Layar buku catatan ini sedikit mirip plastik, mungkin juga kaca lunak. Kalau kucucukkan ujung jariku di layar itu, agak empuk. Tak sekeras kaca tapi lebih keras dari plastik.
Yang paling hebat, buku catatan ini mampu menceritakan kisah hidup Nu dari sebuah titik lain di bola bumi, sepanjang ribuan kilometer garis terbang burung besi raksasa jauhnya dari rumahku.



*****


Aku: Jadi kamu pernah menikah dengan Mas Bimo, Nu? Kupikir Brian suami pertamamu?
Nu: Brian suami keduaku.
Aku: Kamu nggak pernah cerita sama aku.
Nu: Untuk apa?
Aku: Cerita aja. Aku masih temanmu, kan?
Nu: Kamu selamanya temanku, Nin. Cuma… kisahku dan Bimo sudah jadi masa lalu. Itu saja.
Aku: Kamu masih tidak sopan. Tidak pernah memanggilnya Mas.

Aku protes keras atas kelakuannya yang satu ini.

Nu: Apalagi sekarang, setelah statusnya adalah mantanku. Tak akan pernah! Lagipula, usia Bimo dan aku tidak beda jauh. Mas itu menurut aku, hanya untuk menyebut orang yang jauh lebih tua dari kita.

Nu mendebatku. Alasannya masih persis sama dengan waktu dulu dia pacaran dengan Mas Bimo dan kami membahas soal sebutan Mas ini.

Aku: Tapi Mas Bimo tetap lebih tua dari kamu kan?
Nu: Aku separuh Jawa separuh Menado. Tidak terikat aturan sejenis itu yang mengikatmu sebagai Jawa totok! Ha ha…

Tawa Nu diwakili smiley. Nu benar. Sebagian saja, yaitu tentang aku yang seratus persen Jawa sebab kedua orang tuaku keduanya Jawa. Tapi tentang sebutan kepada orang yang lebih tua rasanya tak perlu dihubungkan dengan kadar ke-Jawa-an. Sepele bagi Nu, serius bagiku. Seseorang yang kurasa lebih tua, lebih senior, pantas kuhormati, pasti tak akan pernah kupanggil dengan namanya saja.

Nu: Kamu harus pulang ke rumah cepat-cepat atau tidak malam ini, Nin?
Aku: Siapa yang menungguku dirumah? Mahluk hidup dirumahku hanya ikan-ikan dalam akuarium dan aku. Aku pulang atau tidak, mereka tetap menungguku sambil berenang.
Nu: Kamu ini terlalu takut melepaskan kebebasanmu sebagai lajang. Jadinya ya begitu, hanya ditunggui ikan.
Aku: Ada benarnya.
Nu: Nin!

Pasti kalau berhadapan muka tone-nya tinggi membentak.

Nu: Seriuslah sedikit. Apa iya selamanya kamu mau melajang?
Aku: Mungkin juga.

Aku tertawa. Diwakili oleh smiley juga.

Nu: Capek ngasih tahu kamu.
Aku: Kalau kau mau tahu, aku tidak pernah sepenuhnya berniat melajang. Segala sesuatunya dibawah kolong langit ini ada waktunya. Termasuk waktu untuk berjodoh.
Nu: Itu kan memang hukum alam.

Nu merengut. Aku tahu dari smiley-nya.

Aku: Makanya, aku mengalir saja bersamanya. Dengan begitu hidup jadi ringan.

Nu makin merengut. Smiley cemberut dikirimnya dua kali, berjejeran.

Aku: Kembali tentang Mas Bimo. Kapan kamu jadi istrinya?
Nu: Dua belas tahun yang lalu…??? Begitulah kurang lebih. Tak lama setelah kita tamat kuliah.
Aku: Lalu setelah itu kamu menikah dengan suamimu yang sekarang?
Nu: Iya. Anakku dengan Brian sudah hampir tujuh tahun. Usia perkawinanku dengan Bimo dulu tidak sampai setahun kok.
Aku: Pendek benar?!

Aku kaget. Nu pasti tahu kalau aku kaget sehingga dia mulai menerangkan.

Nu: Memang. Setelah menikah aku dan dia tinggal di Surabaya. Dia waktu itu sudah punya pekerjaan tetap. Tapi kebersamaan kami tak lama. Orang tua dia berhasil menemukan kami.

Nu ini! Sekarang malah mantan suaminya itu berulang-ulang disebutnya sebagai hanya “dia”.

Nu: Kamu tahu apa yang mereka (maksudnya mantan mertuanya) ancam akan mereka lakukan pada anaknya?”

Sekarang Nu menyebut mantan suaminya “anaknya”, heh!

Aku: Apa? Dibuang dari keluarga besarnya?
Nu: Kamu tahu kan Bimo punya gelar RM?
Aku: Ya. Siapa nama lengkapnya? Aku lupa.
Nu: Tak apa. Tidak penting!
Aku: Hmm… Lalu?
Nu: Bimo disuruh menceraikan aku. Kalau tidak mau, gelar RM dicabut, namanya dicoret dari daftar penerima warisan keluarga.
Aku: Zaman hi-tech begini yang begituan masih terjadi?
Nu: Kamu sangsi pada ceritaku? Aku ini sedang bercerita tentang kemalanganku.
Aku: Bukan, bukan tidak percaya. Lanjutkan…!
Nu: Mereka itu berdarah……… Ah, tak enak aku mengatakannya. Pokoknya darah mereka tidak merah seperti darah kita, Nin. Darah warna itu kabarnya kuat tapanya. Aku takut kuwalat. Hidup mereka diatur oleh aturan yang bukan untuk kita. Jauh lebih tinggi derajat aturan-aturan itu dari pada sekedar misalnya orang tua kita memberikan nama-nama Jawa kepada anak-anaknya. Aku, Kartika Danumaya karena diharapkan jadi bintang cemerlang. Kamu, Anindita karena diharapkan jadi anak yang sempurna. Atau, berbagai nama dengan suku kata awal Soe itu kayak guru-guru kita di SMP: Soebarno, Soejatmoko, Soenarno, dan seterusnya.
Aku: Iya, bahkan tiga guru perempuan kita pun namanya pakai Soe semua. Soelaksmini, Soetarmi, Soelantri.
Nu: Itulah! Atau memelihara kebiasaan selamatan tujuh bulanan waktu bu mengandung, menggunting rambut waktu anak mencapai usia tiga puluh lima hari, bikin bubur merah putih tiap weton kelahiran anak.

Aku belum sempat berkomentar, Nu sudah menambahkan:
Nu: Sungguh, bukan sekedar demikian. Tujuh kali tujuh lebih ruwet dari pada apa yang kita ketahui.

Aku tertawa membaca ulang kalimat Nu tentang bubur merah putih. Bubur merah putih hanya kusukai merahnya. Sebab manis oleh gula merah. Tapi semua adikku juga suka. Ibuku menatanya dalam piring. Bubur merah hampir memenuhi piring, bubur putih kira-kira dua sendok makan saja diletakkan ditengah-tengah. Karena kami empat bersaudara, dalam sebulan Ibu membuat bubur merah putih empat kali. Masing-masing pada tiap weton kelahiran tiap anak. Tiap kali terhidang bubur merah putih, aku menghabiskan merah setengah piring sendiri. Setengah lagi dibagi diantara adikku yang tiga orang.

Nu: Tambahan Nin, mereka itu sekelompok orang Jawa yang……… lakunya tak akan kita mengerti.
Aku: Ya, sudah, sudah, sudah. Kita berdua akan kuwalat sungguhan kalau kamu terus “menyerang” mereka seperti itu. Lalu apa yang Mas Bimo lakukan? Langsung menceraikanmu?
Nu: Tidak. Dia kabur.
Aku: Kabur bagaimana?
Nu: Menghilang! Tak menceraikan aku secara resmi. Sampai hari ini.
Aku: Jangan bilang kamu tidak pernah berusaha mencarinya Nu!
Aku mengecamnya. Tentu dengan smiley. Smiley warna merah yang matanya mengawasi galak.
Nu: Memang tidak pernah. Aku tahu pasti kok dia ada dimana. Pasti di Ndalem (diselipi smiley mencibir) orang tuanya. Di Yogya. Setelah kabur dari aku, tentulah dia kemudian segera dinikahkan dengan yang sudah dijodohkan dengannya.
Aku: Kamu yakin Mas Bimo punya calon hasil penjurusan?

“Penjurusan” adalah istilah yang aku ciptakan sendiri untuk menyindir teman-teman yang menemukan pasangan hidupnya sebagai buah kerepotan orang tua dalam proses perjodohan antar keluarga.

Nu: Mantan mertuaku sendiri bilang begitu waktu marani kami di Surabaya.


Perjodohan Mas Bimo pasti dengan seorang wanita berdarah……... Yang Nu tidak mau sebutkan itu tadi. Nu memang Jawa abangan dimata mantan keluarga mertuanya. Pertama, karena hanya setengah Jawa. Kedua, papinya tidak berdarah……. Kasihan kau Nu!
Aku: Bagaimana kalau suatu hari Mas Bimo mengklaim kamu masih istrinya? Kamu kan cinta Brian dan anakmu?
Nu: Dia memang sudah tahu aku sekarang sudah punya keluarga baru dan tinggal di Canada. Entah bagaimana atau siapa yang kasih tahu. Dia pernah menyurati aku, e-mail maksudku, menyatakan dia ingin kembali kalau aku memberinya kesempatan.

Nah, betul kan kira-kira ku tadi?!

Nu: Nin, dia itu pengecut. Dulu waktu disuruh menceraikan aku, dia membujuk-bujuk aku supaya mau cerai dulu. Sementara saja Nu, setelah aku dapat warisan, aku akan menikahimu kembali, katanya. Kutolak. Jelas kutolak. Aku maunya cerai atau tidak cerai sekalian.
Aku: Begitu mudah dia ingin kembali padamu?
Nu: Sebab dia sudah cerai dari istrinya. Menurut dia – seandainya, hanya seandainya aku tidak bahagia dengan pernikahanku yang sekarang, apalagi jika ternyata aku pun tidak betah hidup di Canada.
Aku: Lha kau sebetulnya senang atau tidak di Canada sana?
Nu: Harus kubuat senang Nin. Ada suami yang baik yang harus kucintai dan anak yang menjadi tanggung jawabku.
Aku: Harus? Itu kewajiban, bukan cinta!
Nu: Sial. Kamu benar, aku kacau. Lebih sialnya lagi, Bimo ingat bahwa aku, semenjak kuliah, telah jatuh cinta pada Yogya. Waktu masih pacaran dengan dia, aku pernah bilang ingin hidup bersamanya selamanya di kota itu.”

Nah ini sumber masalah perempuan! Tak mampu melepaskan diri dari pesona romantika masa lalu.

Nu: Kau tidak pernah dengar heboh berita pernikahanku dengan Bimo ya?
Aku: Kok tahu-tahu menyimpang? Heboh macam apa?
Nu: Macam peluru. Bisa membunuh orang dan yang terbunuh adalah papiku.
Aku: Nyebut Nu. Jangan sembarang bicara.
Nu: Mantan mertuaku, mentang-mentang bisa beli kolom berita di koran, mereka muat karangan mereka sendiri tentang aku. Isinya sangat miring memberatkan aku. Singkatnya, aku dituduh mengguna-gunai anak mereka sampai mau kawin lari denganku.”

Pasti disana Nu berapi-api dan matanya berkilat marah. Dia selalu begitu kalau sesuatu ingin meledak keluar dari dadanya.

Nu: Papiku yang sudah punya penyakit jantung langsung meninggal membaca berita itu. Untung mami hanya sakit sebentar dan masih bisa sembuh. Mami baru meninggal sekitar tiga tahun yang lalu.
Adat dan martabat keluarga mengikat Mas Bimo dan keluarga besarnya jauh lebih kuat daripada pasung! Tidak cukup diminta menceraikan Nu, tapi mereka melakukan publikasi besar-besaran – dan mahal mestinya! – sebagai usaha mengembalikan nama baik keluarga. Walau tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang, toh adat mencengkeram bahkan mencakar keluarga bangsawan seperti mereka! Mantan suami dan mertuamu memang “pembunuh”, Nu. Namun aku tak dapat berempati membenci mereka. Seperti banyak perkara lain dan bahkan hidup manusia sendiri, dibawah matahari ini tindakan mereka hanyalah perkara yang mampir ngombe. Tidak dapat dan tidak perlu kita mengerti sekarang alasannya. Nanti, barangkali kalau kita sudah pindah dari dunia ini ke kehidupan berikut, baru semua menjadi jelas.

Nu: Nin, kalau kuberitahu ini, apa kau percaya?
Aku: Dibawah kolong langit ini tak ada yang tak kupercayai. Kecuali yang belum terjadi.
Nu: Kolong langit, kolong langiiiiiiiittt melulu!
Aku: Itu artinya aku berserah pada kehendak Yang Kuasa. Selamanya sadar hidupku dibawah langit, dibawah istana Sang Kuasa dan diatur olehNya.

Nu pasti sedang merenung. Itu kebiasaan dia kalau termakan kata-kataku. Lebih dari lima menit dia tak juga mengetik kalimat balasan.

Nu: Pokoknya begini keadaannya sekarang ini: Mantan mertuaku, menurut mantan suamiku, selain ingin meminta maaf, sekarang mereka membolehkan seandainya aku dan Bimo ingin kembali bersatu. Juga, kalau aku menceraikan Brian, Bimo mau mengakui anakku sebagai anaknya.

Barangkali aku memang tak bersimpati pada nasibnya – tapi sungguh, aku yakin di Canada sana hatinya kembang, kuncup, kembang, bergairah sekali mengetik huruf-huruf yang barusan. Itu, pada kemungkinan bercerai dengan Brian agar bisa kembali ke Mas Bimo.

Nu: Bulan depan keluargaku mengadakan selamatan seribu hari meninggalnya Mamiku. Aku akan pulang ke Indonesia. Aku tinggal kasih tahu agar mereka datang ke selamatan Mami. Disitu kami bisa bicara.

Keplok, keplok, keplooooook!!!

Benar kan dugaanku tentang jantungnya yang mekar, kuncup, mekar lagi! Tadi dia berkobar bercerita betapa diri dan keluarganya telah menjadi korban kesombongan keluarga Mas Bimo. Tetapi sekarang? Tetap ingin menikmati Yogya sampai akhir hayatnya? Wuih, wuih, wuih… Bersama “Bimo”, “dia” dan entah ada lagi barangkali sebutan Nu padanya. Romantika masa muda memang indah walau bisa jadi sudah berjamur dan beracun karena terlalu lama disimpan.

Nu: Bagaimana menurutmu, Nin? Aku boleh percaya kalau mereka tulus?
Aku: Aku tak tahu soal ketulusan. Katamu sendiri mereka pengecut dan pembunuh?!

Mata pancing telah kulemparkan. Nu pasti lesu disana. Aha! Benar, dua smiley dikirimnya: sedih dan malu!

Pada perasaanku, mantanmu itu memang cinta mati padamu! Hanya dalam hati sebab tak ingin Nu benar-benar jadi bimbang

(Selesai)

No comments:

Post a Comment