Friday, June 12, 2009

Anak Tangsi (Bagian 3)


Rumah Keluarga

Hanyalah rumah Bude yang masih cukup menghiburku dalam masa liburan itu. Rumah itu, lebih tepatnya tanah dimana rumah itu berdiri adalah milik keluarga lima generasi. Sekarang hanya Bude, dan ibunya, jadi Nenekku yang mendiaminya. Tinggal mereka berdua saja keluarga kami di Nongko.


Rumahnya berdindingkan bambu anyaman dan berlantaikan tanah. Pada siang hari yang panas, pori-pori dinding bambu memberi keleluasaan pada angin untuk berhembus leluasa ke bagian yang manapun didalam rumah.
Waktu aku disana, cuaca sedang panas. Tanah lantai rumah kering sekali dan debu terbentuk dipermukaannya. Jika angin berhembus kuat, debu beterbangan, terangkat sedikit diatas permukaan lantai tanah.
Kuperhatikan Bude menyapu rumah bukan dengan sapu ijuk, tetapi dengan sapu lidi. Debu yang tersapu kemudian digiring ke sudut rumah. Jadi di pojok-pojok ada kumpulan debu.
Bagiku, debu adalah kotoran. Kotoran harus dibuang. Tapi aku dilarang membuang debu keluar rumah. Bude malah menyuruhku menyiram tumpukan debu dengan air. “Dengan begitu, debu tidak beterbangan mengganggu kita,” kata Bude.
Semakin siang, hari semakin panas. Lantai rumah juga semakin terasa panas dan kering. Bude membolehkan aku menyirami seluruh bagian lantai. Tidak sungguh-sungguh menyiram, tapi mencipratinya dengan sedikit air untuk sekedar melembabkan tanah.
Lucunya! Lantai tidak dipel, tapi disiram.
Untuk keperluan itu aku boleh mengambil air sendiri dari sumur. Aku menimba. Lucu lagi. Saat ember kutarik dari dalam sumur, isinya bukan hanya air. Seekor ikan lele putih ikut didalam ember.
Aku terkejut. Kukira itu lele jadi-jadian sebab aku belum pernah melihat ikan lele berwarna putih.
Bude bilang, “itu lele sungguhan. Gunanya untuk membantu memakan lumut yang tumbuh di dinding sumur. Kalau tidak begitu, lumut tumbuh subur, akarnya masuk kedalam dinding sumur, merusak dinding itu dan menciptakan reruntuhan tanah yang akan mengotori air sumur.”
Lalu aku tidak heran lagi. Sejak datang, telah terasa olehku air tidak terlalu jernih. Warnanya sedikit kekuningan. Dan tentu saja berbau sedikit anyir juga. Rupanya karena lele.
“Jadi harus kukembalikan lele ini kedalam sumur?” tanyaku pada Bude.
“Ya.”
“Tidak bisa kita goreng dan makan saja?” Kulihat ikan itu sudah sebesar lele yang ibuku biasa beli untuk lauk makan kami sekeluarga. Jauh lebih baik dari pada makan teri goreng dari kali.
“Tidak bisa. Lele penjaga tidak boleh dimakan.”
“Sampai mati dibiarkan saja dalam sumur?”
“Ya.”
“Sumur ada bangkainya nanti.”
“Kalau ikan itu mati, dia akan mengapung. Kita bisa lihat dan nanti dengan mudahnya kita bisa ambil dan menguburnya.”
“Dikubur? Tidak digoreng saja?”
“Makanan melulu isi pikiranmu.”
Aku tidak peduli diomeli. “Sudah banyak lele mati di sumur ini?”
“Belum pernah ada yang mati.”
“Sejak dulu belum pernah lele kedapatan mati di sumur kita?”
“Mereka sakti. Seperti begitulah riwayat lele-lele penjaga sumur. Barangkali karena tugas mulia mereka menjaga air kehidupan bagi seisi rumah, maka mereka diberi umur panjang.”
“Oh!”
Sebagai anak kecil usia tujuh tahun, aku percaya cerita Bude. Bahkan cerita itu menyihirku. Aku punya pengetahuan baru. Kalau ingin punya ikan lele berumur panjang, pelihara sajalah mereka didalam sumur.
“Bagaimana kalau ikan lain yang kita taruh di sumur? Gurame? Boleh”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak? Aku suka gurame goreng,”
“Makanan lagi. Lagi-lagi makanan. Ingat, ikan penjaga sumur tidak boleh dipancing atau diambil untuk dimakan. Tugas mereka suci.”
Ah ya, ya,… Tugas suci!
Malam hari di rumah Bude tidak sebegitu menggembirakan seperti waktu siang. Aku malah bisa dibilang dihantui rasa takut. Sebuah perasaan bahwa dinding anyaman bambu tidak akan mampu menahan berbagai kekuatan jahat dari luar rumah tiba-tiba muncul begitu saja. Ini tak pernah kuperhitungkan sebelumnya.
Rumah orang tuaku di Jakarta, yang dindingnya tembok saja pernah berhasil dijebol maling. Maling memecahkan kaca jendela, membuka kait pengunci jendela dari dalam. Walau tangan mereka berdarah-darah terkena tajam tepi kaca yang sudah pecah dan darah keringnya tertinggal membekas di dinding rumah yang kebetulan bercat putih, toh berhasil mereka mengambil beberapa benda milik ayah.
Tak melihat maling-maling itu beraksi saja aku sudah ketakutan, bagaimana kalau rumah Bude ini betul-betul dimalingi dan aku melihat aksi mereka?
Kecemasan makin hebat melandaku saat matahari telah sepenuhnya tak terlihat. Tadi, menjelang gelap aku sudah diberi makan malam oleh Bude. Selepas maghrib, aku disuruhnya segera masuk tempat tidur. Bukan tempat tidur sungguhan tetapi sebuah amben, walau juga berkasur tetapi tetaplah saja hanya sebuah kasur yang digeletakkan begitu saja. Yang ukurannya tidak disesuaikan dengan ukuran amben. Begitulah standar tempat tidur di desa.
Juga standar waktu tidur di malam hari. Ketika matahari memejamkan mata, pun para manusianya. Pada masa itu televisi belum dimiliki oleh setiap rumah desa. Gelapnya hari menjadi pertanda bahwa satu-satunya aktivitas yang boleh dilakukan hanyalah tidur.
Aku terjaga saja. Didalam bilik itu, dimana amben tempat aku tidur berada, Bude merantaikan sepedanya ke kaki amben. Ujung-ujung rantainya dipersatukan dengan gembok berkunci. Kuncinya diletakkan dibawah bantal yang digunakan Bude. Bude mengatakan itu adalah tindakan perlindungan terhadap maling.
Maling-maling di Nongko sangat lihai. Sejuta cara mereka punya untuk mencuri sepeda penduduk. Jika sepeda diikatkan pada tempat tidur, setidaknya itu akan mempersulit si maling sebab tak mungkin pemilik rumah tidak bangun jika ada seseorang mengerjai tempat tidurnya.
Aku membayangkan, maling sepeda akan nekad mencuri selagi aku tidur. Dan supaya tidak ketahuan lalu ditangkap dan digebuki orang desa, barangkali saja mereka akan membunuhku lebih dulu sebelum membawa kabur sepeda.
Lelah aku dengan ketakutanku sendiri. Ketika akhirnya aku hampir bisa jatuh tertidur, tak sengaja tanganku menyentuh anyaman bambu. Kukira aku telah menyentuh dinding bilik. Tapi sesaat kemudian kurasa itu adalah tepi anyaman bambu, bukan permukaannya.
Aku bangun lagi. Terduduk. Masih dalam dudukku diatas amben, aku meraba-raba lebih jauh apa yang kusentuh tadi. Tetap dalam kecemasan. Dalam penerangan terbatas dari sebuah lampu teplok, kulihat selembar besar gedhek (lembaran anyaman bambu). Ia diselipkan antara amben dan dinding rumah. Kupegang-pegangi gedhek itu.
“Kenapa harus ada disini?” tanyaku kepada Bude yang telah berbaring disebelahku.
“Apa?” Bude bertanya walau sudah setengah tidur.
“Ada gedhek ditempel ke dinding.”
“Oh… Dinding luar disitu bolong. Yang kau pegang itu untuk menutup lubangnya. Makanya aku menyelipkannya disitu.”
Hah, jadi dinding dibagian itu berlubang? Membengkaklah ketakutanku seketika.
“Besarkah lubangnya?”
“Ya” jawab Bude tetap dalam setengah tidur.
“Aku ingin melihatnya.”
“Untuk apa?” Bude terkaget-kaget dan kedengaran kesal.
“Aku mau memastikan, lubang itu cukup tertutup dan tak akan ada maling sepeda berusaha masuk dari situ.”
“Memang tertutup. Dan tidak akan ada maling bisa masuk dari situ. Gedheknya kan lebih besar dari lubangnya.”
Jadi ternyata aku nyaris tidur diudara terbuka?
“Kenapa tidak diganti saja seluruh dinding bagian sini?”
“Uangnya belum cukup. Sudahlah, tidurlah sekarang.”
Bude tak lama jatuh tertidur selesai mengucapkan kalimat itu. Tapi aku belum juga. Malah rasanya mataku ini makin lebar terbuka.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor kudengar lewat. Suara mesinnya keras sekali. Aku menggoyang-goyang lengan Bude.
“Apa lagi?” hardik Bude.
“Siapa itu naik sepeda motor malam-malam begini?”
“Entah. Pasti penduduk sini juga yang baru pulang kerja atau jualan di kota.”
“Bukan maling?”
“Bodohnya anak ini. Masak maling datang mencuri dengan sepeda motor bersuara ribut begitu. Ini kan masih sore. Belum jam delapan.”
Aku diam. Beberapa menit kemudian kubangunkan lagi Bude.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Cobalah.”
“Aku rasa aku sudah pipis.”
“Kenapa sih kau ketakutan sekali seperti ini?”
Aku diam saja habis aku memang ketakutan. Aku biasa tidur dalam kamar berdinding batu bata rapat, sekarang terbaring dalam kamar berdinding bambu. Dinding bambu ini dengan mudah akan koyak oleh golok para maling. Golok, maling, rampok, terus memenuhi pikiranku.
Bude mengambilkan celana dalamku yang bersih dan kering.
“Aku harus cebok.”
“Ayo.”
“Aku takut keluar rumah.”
Kupikir Bude akan membawaku ke sumur tempat aku mandi pagi dan sore tadi.
“Kau akan cebok di dapur.”
“Di dapur?”
“Iya. Ada air dalam gentong besar disitu. Memang untuk digunakan untuk keperluan dimalam hari. Jadi tidak perlu keluar rumah.”
Aku tidak tahu itu. Pokoknya jadilah aku cebok dan sedikit lagi pipis dilantai tanah disudut dapur.
Selesai dengan itu semua, aku kembali ke bilik. Tapi rupanya salah arah. Aku memasuki ruang yang berbeda dan terasa sempit sekali.
“Kau masuk lumbung, bukan kamar.” Bude tertawa.
Oh lumbung. Aku belum melihatnya siang tadi.
“Tidak usah lihat-lihat disitu sekarang. Besok saja, waktu siang.”
Bude membaca pikiranku.
Tak lama, diatas amben, barangkali karena lega telah berhasil buang air kecil, aku kemudian dapat tertidur.
Esok paginya, waktu bangun, aku memerika lumbung.
Empat dinding lumbung semuanya ada didalam rumah. Tidak ada bagian dinding lumbung yang merupakan bagian dari dinding luar rumah.
“Kenapa dibuat seperti ini?” tanyaku pada Bude.
“Demi keamanan juga. Maling padi tidak bisa menjebolnya. Kalau mereka mau nekad menjebol dinding lumbung, mereka harus masuk dulu kedalam rumah yang akan dimalingi. Atau mereka harus terjun dari genteng atap rumah. Kau tahu itu tidak gampang.”
“Semua rumah disini membangun lumbungnya begini?”
“Ya.”
Wah, semalam sepeda diikat dengan rantai ke kamar tidur. Sekarang, lumbung ada didalam rumah! Benar-benar ganas maling-maling di kampung ini.
“Ayo ikut aku ke rumah sebelah. Kemarin mereka membuat jajanan pasar buat sarapan, kita diundang mencicipi. Kamu akan menyukainya.”
“Baiklah.”
Aku pun berlari kecil mengiringi Bude ke rumah sebelah timur.
Betapa terkejutnya aku begitu mengetuk pintu rumah disambut embik kambing dari bagian dalam rumah.
“Itu tadi bunyi kambing sungguhan? Didalam rumah?”
“Pemiliknya belum sempat mengeluarkannya rupanya. Tiap-tiap malam kambing diinapkan didalam rumah.”
“Kalau dia buang air besar dimalam hari?”
“Tentu saja dan itu tidak apa-apa.”
“Kan bau?”
“Memang, tapi daripada dimalingi?”
“Aku tak mau makan kalau didalam rumah ada kambing. Kita bawa saja jajanannya pulang dan makan dirumah sendiri.”
“Tidak sopan. Mereka mengundang kita. Bukan menyuruh kita membeli. Usahakan tahan terhadap bau kambing, jangan sampai muntah. Kadang-kadang tidak terlalu bau kok.”
Mana bisa sih kotoran kambing tidak terlalu bau. Tidak terlalu bau menurut definisi Bude, pasti bau sekali menurut hidungku.
Lalu masuklah Bude dan aku ke rumah. Aduh, benar kan bau tahi kambing menyebar dalam ruangan itu.
Teh manis yang sebetulnya selalu sangat kusukai terasa seperti tercampur kencing kambing.
Bude berbisik, “Ssttt… untunglah itu hanya kambing saja. Aku tadi lupa menyuruhmu mengganti baju merahmu itu. Untung keluarga ini tidak punya kerbau. Rumah yang lebih di timur itu, punya kerbau dan kambing. Keduanya masuk rumah dimalam hari. Besok-besok, kalau kita kesana dan aku lupa, kau sendiri harus ingat tidak boleh pakai baju warna merah. Kau tahu kenapa?”
Aku mengangguk. Mengerti, tak mau diburu kerbau yang bisa “panas” kalau lihat warna merah menyala.
Walau ada ternak dalam rumah, kuakui rumah tetangga itu sama bersihnya dengan rumah Bude. Dan kambing telah mendapat kavling sendiri yang berpintu tertutup juga. Jadi dia tidak bisa seenaknya berkeliaran ke setiap bagian rumah. Lantai kandang telah dilapisi jerami dan rumput kering. Sepertinya gunanya adalah untuk menahan kencing dan kotoran kambing agar aromanya tidak langsung diserap oleh lantai dan tinggal permanen disitu.
Lantai rumah yang dari tanah juga malah kulihat jauh lebih bersih dari rumah Bude. Debu tidak ada. Barangkali mereka menyiramnya jauh lebih rajin dari pada Bude.
Kami pun mulai menikmati hidangan sarapan. Ada ketan uli disajikan dengan sambal kelapa pedas yang disangrai hingga kering. Aku, meskipun baru tujuh tahun, sudah sangat menyukai rasa pedas.
Aaakkkkhhhhhhhhhh…..
Tiba-tiba sebuah suara lenguhan panjang kudengar. Aku tidak yakin itu tadi suara manusia.
Tapi Bude dan Embah pemilik rumah seolah tidak mendengarnya.
Sekali lagi ‘aaaaaakkkkkkhhhhhhh…” terdengar.
Aku mulai merinding. Mestinya itu bukan suara binatang. Tapi terlalu menyeramkan kalau dibilang suara manusia. Atau, suara jadi-jadian?
“Apa itu yang barusan berbunyi?” kuberanikan bertanya. Agak berbisik tapi keras juga sebab tak kutujukan hanya pada Bude.
Mbah pemilik rumah yang tidak bisa berbahasa Indonesia senyum-senyum memandang Bude. Bude berbicara singkat kepadanya. Sepertinya menterjemahkan pertanyaanku.
“Karto.” Tiba-tiba Mbah itu mengatakan sepatah kata itu. Aku mengerti. Itu nama orang.
”Siapa dia?”
“Putranya Mbah ini yang bungsu.” Bude menerangkan.
Sebuah “aaaaakkkkkkhhhhhhhhhhhh…” terdengar lagi.
“Karto tidak bisa bicara?” tanyaku.
“Tidak. Dia sakit.”
“Aku ingin menjenguknya.”
“Tidak perlu.” Bude menukas cepat.
“Kenapa? Disekolah aku suka menjenguk teman-teman yang sakit bersama teman-teman sekelasku.”
“Karto dipasung. Kalau dia mengamuk, kadang dia bisa membuka sendiri pasungnya. Nanti kamu kena amuk olehnya.” Mbah yang tampaknya mengikuti percakapanku dengan Bude tiba-tiba berbicara agak panjang lebar.
Aku tidak paham. Selain karena tidak terlalu jelas sebab ada sirih dalam mulutnya, juga karena lagi-lagi ia berbicara tentu saja dalam Bahasa Jawa.
Bude kemudian memperjelasnya dalam Bahasa Indonesia untukku.
“Kok sampai dipasung segala?”
“Penyakitnya berbahaya.”
“Gila?” tegasku.
“Ssttt… ya kurang lebih begitu.”
“Kalau begitu aku tidak jadi lihat. Aku takut.”
Bude dan Mbah selanjutnya banyak bicara dalam Bahasa Jawa. Sesekali mereka menyebut nama orang tuaku. Sepertinya Bude sedang menerangkan garis keluarga kami.
“Sudah selesai sarapanmu?” Bude memperhatikan cawan kecil ditanganku. Telah kosong.
“Sudah. Aku mau pulang dan mandi.”
Setelah mengucapkan terima kasih pada Embah pemilik rumah, aku dan Bude kembali ke rumah.
Embah disitu berpesan, “besok kembali lagi kesini. Nanti Mbah buatkan sarapan yang berbeda.”
Pffff……… kembali kesana? Makanannya sih memang enak, tapi untuk bertemu dengan kambing dan Karto yang gila itu?
Leganya kembali ke rumah tanpa gangguan aroma kambing.
Dalam perjalanan kembali kerumah kuperhatikan rumah Bude dari sedikit kejauhan. Rumah desa yang menyenangkan. Tegak diantara beberapa batang pohon kelapa yang mengelilinginya. Siang nanti, aku telah dijanjikan akan dipetikkan kelapa muda.

Sunday, May 31, 2009

Anak Tangsi (Bagian 2)



Dusun Asalku


Kehidupan bermula dari dusun. Sebagian dusun terus diramaikan oleh manusia yang terus berkembang biak dengan cepat. Ia kemudian boleh disebut kota. Begitulah cara banyak kota di garis pesisir pantai terjelma. Namun dusunku tak pernah menjadi kota.

Dusun kecil dan berpenduduk miskin itu adalah tempat asalku. Adanya di pesisir selatan Jawa Tengah. Dari Gombong menuju timur, dusun itu adanya disebelah kiri jalan. Desa disebelah kanan jalan, seberang dusun, yang hampir semuanya berupa persawahan, sudah bukan bagian dari kampungku.
Tak pernah ada terpasang tanda atau setidaknya papan petunjuk nama desa. Hanya penduduk sudah selalu menyebut desa mereka: Nongko.
Di banyak desa lain, kalau petunjuk nama desa tidak ada maka ada papan nama pasar lokal tradisional disitu. Tetapi tidak di Nongko.
Nongko tidak memiliki pasar tradisional. Untuk memperoleh keperluan sehari-hari, ibu-ibu di Nongko menanti tukang sayur keliling yang lalu dimuka rumah mereka atau pergi ke warung. Atau, kalau sedang punya uang cukup banyak, mereka ke pasar di kota terdekat. Ke pasar, kurang disukai oleh ibu-ibu Nongko. Pasar dengan segala tampilan dagangannya terlalu berdaya tarik kuat. Seringkali uang jadi jauh lebih banyak keluar dari yang telah direncanakan semula.
Lalu bagaimana dengan terminal bus dan stasiun kereta api? Nongko jauh dari harapan untuk dibangunkan sebuah stasiun atau terminal bus. Dengan penduduk yang barangkali tidak mencapai tiga ratus orang, tak ada gunanya melengkapi Nongko dengan fasilitas layanan umum itu.
Hanya ada dua alasan bagi Nongko untuk dikenal diluar Nongko. Pertama, ada orang kelahiran Nongko yang merantau keluar Nongko dengan begitu ia dapat bercerita tentang dusunnya kepada teman seperantauan. Kedua, punya sanak keluarga yang kawin dengan orang Nongko.
Tak ada alasan komersial sama sekali!
Kenek bis atau angkutan umum lainnya bahkan tidak pernah berusaha membantu Nongko menjadi lebih dikenal. Mereka tidak pernah meneriakkan: “Nongko, Nongko, persiapan turun, persiapan turun…!” buat mengingatkan penumpangnya yang ingin turun di dusun Nongko. Sebagai gantinya mereka menyerukan: “Ndalem Kromo, Ndalem Kromo, persiapan turun….…”
Kenapa “Ndalem Kromo”? Nanti akan kuceritakan.
Nongko berarti nangka dalam Bahasa Indonesia. Ya buah nangka, pohon nangka! Lidah-lidah Jawa yang terbiasa melafalkan “o” bagi huruf “a” lah yang mengubah Nangka menjadi Nongko.
Di Nongko, pohon nangka tumbuh liar begitu saja. Tetapi tidak ada seorang pun hari ini yang tahu bahwa dusun itu dinamakan begitu karena si pohon-pohon itu.
Pohon-pohon nangka di Nongko subur. Mereka bisa tumbuh di tepi jalan, di halaman rumah orang, atau dimana saja diseluas dusunku itu.
Sesungguhnya menyenangkan melihat pohon nangka di Nongko. Pokok kayunya besar-besar. Kulit kayunya kuning kecoklatan mulus. Daun-daunnya lebat, hijau mengkilap tanpa cacat bekas gigitan ulat.
Pokok batang nangka kuat dan bagus untuk dijadikan bahan perabotan rumah tangga. Tapi nampaknya orang Nongko tidak tahu itu. Kalau tahu, tentu di Nongko sudah hidup industri rumahan dengan kayu nangka sebagai bahan baku utama.
Lalu juga daun-daun nangka yang hijau royo-royo dan disukai ternak itu ya hanya menjadi penghijau pemandangan dusun. Orang Nongko jarang yang memiliki ternak dan orang luar Nongko tidak akan datang ke Nongko khusus untuk membeli daun nangka untuk dijadikan pakan ternak mereka.
Fakta terakhir tentang pohon-pohon nangka yang subur itu: mereka tidak bisa menghasilkan buah nangka yang baik!
Setiap saat tanpa dibatasi musim, setiap pohon selalu menghasilkan buah muda, cikal bakal nangka. Bukannya buah-buah muda itu membesar kemudian menjadi buah nangka yang manis legit, tapi setelah mencapai ukuran tertentu, buah-buah bayi itu jadi magel, mengeras, menghitam dan kemudian busuk tanpa pernah menjadi matang. Untuk diambil sebagai gori (buah nangka muda untuk sayur lodeh atau gudeg) pun tidak bisa.
Perempuan-perempuan dusun Nongko dari masa kemasa mengeluhkan kualitas buah nangka yang tumbuh di tanah desa mereka. Mereka tak dapat memahami bagaimana pohon buah yang terlihat begitu elok tak dapat menghasilkan buah yang bagus. Mereka menggerutu tiap kali ingin membuat masakan dari buah nangka muda, harus membelinya.
Mitos yang diedarkan dari mulut ke mulut oleh perempuan-perempuan Nongko tentang pohon nangka yang mandul itu adalah: suatu kali, istri seorang kyai sedang hamil. Dalam kehamilannya ia sangat ingin makan buah nangka. Namun waktu itu bukan musim nangka berbuah. Sang kyai bersemedi siang dan malam, memohon kemurahan Sang Kuasa agar kiranya memberikan salah sebuah pohon nangka di pekarangannya buah yang matang.
Entah apakah doanya sungguh terkabul atau hanya halusinasi si kyai, ia mendapati salah satu pohon nangkanya berbuah satu saja, besar dan telah masak. Anehnya penglihatan sang kyai itu terjadi pada malam hari.
Sang kyai bersyukur atas terkabulnya keinginannya, lalu bersiap-siap menebas buah nangka dari pohonnya.
Selagi kyai pergi mengambil parang, sekawanan kelelawar raksasa menghampiri pohon nangka dan menggerogoti satu-satunya buah yang telah masak itu.
Ketika kyai kembali dengan parang telah terasah tajam, buah nangka telah koyak sisa dimakan kelelawar.
Kyai menjadi murka dan mengutuki semua kelelawar itu serta memohonkan kehendak Yang Kuasa lagi agar dimandulkan saja semua pohon nangka didusunnya. Kyai tidak rela, nanti kelelawar lagi yang menikmati buah-buah nangka yang telah masak.
Begitulah menurut perempuan-perempuan Nongko asal mula kemandulan pohon nangka di dusun mereka.
Mereka menolak alasan yang lebih rasional semisal bahwa tanah Nongko memang tidak sesuai ditanami pohon nangka. Mereka berkeras tanah desa mereka cukup subur. Mereka selalu menggunakan rumput liar yang selalu hijau bahkan di musim kemarau sebagai perbandingan. Rerumputan yang tumbuh sepanjang jalan desa tidak pernah sampai demikian kekeringan atau menguning warnanya akibat kurang air. Di musim kemarau sekalipun, rerumputan liar itu masih cukup hijau untuk menimbulkan nafsu makan pada ternak.
Juga lumut. Pada kiri kanan jalan utama desa, lumut hidup subur sekalipun sedang kemarau. Sepenggal jalan utama itu sebetulnya jauh dari gambaran jalan umum yang cukup berkualitas pada umumnya. Awalnya jalan itu ada karena hasil sedekahan penduduk yang rela sebagian pekarangannya dibuka menjadi jalan. Di jalan itulah lumut berserakan.
Jalannya sendiri berupa tanah saja dengan batu-batu menonjol disana-sini. Suatu kali dulu sepertinya sudah akan diaspal tapi terhenti. Batu untuk lapisan pengeras jalan sudah terlanjur ditebar. Karena lapisan aspal tidak juga datang untuk menutupnya, batu keburu hancur sendiri oleh kikisan air hujan dan waktu. Sekarang sebagian besar permukaan jalan telah kembali berupa tanah dengan beberapa batu besar masih berserakan disana-sini. Pada batu-batu itulah lumut tumbuh. Padahal lumut hanya semakin melicinkan batu. Roda sepeda motor dan sepeda ontel penduduk sering tergelincir pada batu berlumut.
Begitulah Nongko. Segala yang melimpah disitu tak memberi kehidupan lebih baik pada orang Nongko.
Aku sendiri tak pernah hidup di Nongko. Seperti sudah kukatakan, aku lahir disebuah tangsi di Jakarta.
Tetapi moyangku, lima generasi diatasku dari garis keluarga ibu, lahir dan sampai matinya di Nongko. Semua yang aku tahu tentang Nongko adalah dari keluarga yang lebih tua. Yang menceritakannya secara lisan kepadaku.
Ketika aku kecil, barangkali umur tujuh, seorang Bude, kakak ibuku membawaku ke Nongko pada suatu liburan sekolah. Itu merupakan liburan pertamaku jauh dari rumah orang tuaku.
Sebelum pergi berlibur, aku telah memiliki bayangan akan sebuah desa yang indah yang umumnya dalam buku pelajaran pada zamanku digambarkan letaknya di lereng sebuah gunung. Kurang lebih gambaran yang kumiliki adalah sebagai berikut: sekumpulan rumah penduduk dimana tiap rumah memiliki sepeda sebagai kendaraan utama, ada ternak atau unggas peliharaan, ada sungai yang airnya mengalir lancar dan warnanya jernih. Akan lebih bagus kalau sungai itu mengalir di kaki bukit. Jika sungguh demikian, aku akan lelah berlari mendaki dan menuruni bukit. Di sungai itu, mestilah aku juga harus bisa menangkap ikan.
Itu sebabnya ketika Bude datang menjemputku, aku berangkat ke Nongko dengan antusiasme sangat tinggi.
Kami, aku dan Bude, naik kereta api sore. Aku sudah lupa kereta itu apa namanya. Pada masa itu, semua kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur diberangkatkan dari Stasiun Gambir.
Stasiun Gambir, keadaannya waktu itu kotor dan betul-betul merupakan cerminan wajah sebuah stasiun. Lantai tempat penjualan tiket, ruang tunggu dan peron, lantai ubin berwarna gelap. Sangat berminyak. Tentu tak pernah dibersihkan. Tumpahan minyaknya itu barangkali sudah sejak negeriku belum merdeka ada tercecer disitu. Tebal sekali. Walau mengenakan sepatu, aku dapat merasakan aku berjejak diatas lapisan kotoran minyak, tidak langsung diatas lantai.
Seingatku kereta diberangkatkan sekitar setengah lima sore. Aku belum pernah berada dalam kendaraan umum bersama orang-orang yang bukan keluargaku sebanyak itu, dalam sebuah gerbong kereta api. Sebentar, jika malam datang, aku dan mereka semua akan tertidur bersama dibawah satu atap kereta ini. Agak aneh!
Pengalaman pertama dengan kereta memberiku pengertian bahwa begitulah kehidupan orang dewasa rupanya. Akan banyak berada bersama-sama dengan orang-orang yang tidak dikenal.
Teringat akan kemungkinan dijahili, diisengi atau bahkan kejahatan lainnya, aku mulai cemas. Apakah sebaiknya aku percaya saja pada orang-orang dalam kereta ini? Kulihat ada keluarga-keluarga bepergian bersama, yang sendiri juga ada. Anak-anak juga cukup banyak.
Bude kelihatan tenang-tenang saja. Jadi mestinya cukup aman, pikirku.
Kereta terus berjalan kearah timur. Ketika mestinya sudah diluar Jakarta, mulai banyak kulihat daerah persawahan, empang dan perkampungan penduduk.
Hari masih sedikit diterangi matahari. Disebuah tempat kulihat seperti kolam yang didalamnya puluhan burung menyerupai bangau sedang mematuk-matuk di air. Barangkali mencari makan. Ditempat lain, petani beriringan meninggalkan sawah.
Beberapa menit sebelum matahari benar-benar menghilang, kereta melewati pekuburan. Juga beberapa waktu setelah itu masih melewati beberapa pekuburan lain.
“Aku akan menghitung berapa pekuburan umum yang akan kita lewati” kataku pada Bude.
“Untuk apa? Sepanjang jalur rel ini ada banyak sekali. Lagipula sebentar lagi malam, kamu tidak akan bisa melihat apapun dluar sana lagi.”
Benar. Tak lama bumi menjadi gelap gulita. Aku tinggal melihat lampu rumah penduduk seperti terkejar oleh kereta dan kemudian tertinggal jauh dibelakang.
Aku terus terjaga barangkali sampai beberapa jam setelah malam turun. Masih sempat kulihat beberapa kali pengendara mobil dan sepeda motor berhenti di persimpangan dengan jalur kereta saat kereta lewat. Persimpangan itu dipalangi bambu atau ada juga yang dari besi. Senangnya, aku menang! Orang-orang lain harus mengalah untuk memberi keretaku lewat.
Sebelum akhirnya tertidur, puluhan pertanyaan sempat kuajukan pada Bude tentang kampungnya yang akan kulihat sendiri dalam beberapa jam.
“Bude memelihara ternak?”
“Ya, ada beberapa ekor ayam dan bebek.”
“Punya sepeda?”
“Punya.”
“Disana ada sungai?”
“Ada kali (sungai) kecil.”
“Ada ikan disitu?”
“Ada.”
Cukup. Tampaknya tempat itu sudah mirip benar dengan desa ideal-ku.
Begitu tiba, rumah Bude kukelilingi tapi tak kutemukan perwujudan dari lukisan desa dalam anganku. Tidak di Nongko sebab ia ternyata sebuah dusun yang terletak diatas tanah yang rata, datar saja. Bukit tak dimilikinya. Juga sungai. Yang Bude katakan sebagai kali adalah sebuah parit buatan yang mengalir di tepi desa. Memang cukup lebar dan disitu juga ada ikan-ikan kecil karena seseorang mestinya telah menabur benih ikan-ikan itu disitu. Dan ah… ikan-ikan itu tak pernah membesar sehingga ketika Bude menggorengnya, ukuran matang mereka tinggal seukuran ikan-ikan teri saja. Di Jakarta, ibu selalu menghidangkan ikan dalam potongan besar. Bahkan sepotong ikan goreng dari bagian tengah tubuhnya saja jauh lebih besar dari seeekor ikan dari kali di Nongko.
Sudah untung rupanya hanya dapat ikan kecil dan aku tidak ke Nongko saat banjir. Kata Bude, dusun moyangku itu pasti terlanda banjir saat musim hujan. Oleh sebab letaknya yang lebih rendah dari permukaan jalan raya, Nongko selalu kelimpahan air hujan jika turunnya sangat lebat apalagi jika sampai berhari-hari tidak berhenti. Lain dari itu, dusun diseberang jalan raya ternyata memiliki sungai. Cilakanya, dusun itu lebih tinggi dari Nongko. Dalam musim hujan, sungainya luber. Nongko pun kebagian air gratis. Limpahan air sungai yang membludak mengalir ke jalan dan turun ke Nongko.
Liburan di Nongko itu pada akhirnya lebih merupakan suatu pembelajaran tersendiri bagiku. Itulah kali pertama aku berkesempatan membandingkan harapan dan kenyataan, mendidik diriku sendiri untuk lebih rinci mempertanyakan keingintahuanku dan bertahan atau jika mungkin menjadi kreatif ketika harapan tidak terpenuhi. (Bersambung)