Thursday, May 28, 2009

Reportase dari Yogya dan Solo


Saya melewatkan akhir pekan lalu di Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak ingin menulis tentang perjalanan tersebut – sebenarnya – tapi toh tulisan ini jadi juga.
Teman-teman terdekat saya di kantor mempunyai kebiasaan baru yaitu “menagih” laporan semacam ini jika saya kembali dari melakukan sebuah perjalanan. Sejak kembali dari Yogya Hari Minggu lalu, saya memang belum menulis sebuah kalimat pun (entah bagaimana mereka bisa menerawang tentang hal ini, hmm...).
Singkat kata, jenang, krasikan dan gethuk yang saya bawakan sebagai oleh-oleh rupanya belum dirasa marem. Sebelum jam kantor berakhir Kamis sore ini, sempat akhirnya beberapa menuturkan juga: “ceritanya dari Yogya dong, dimuat di blog-nya!”

*******

Perjalanan dengan kereta api
Saya termasuk karyawan yang selalu resah ingin mengambil cuti kalau ada harpitnas alias hari kejepit nasional. Kamis lalu adalah hari libur nasional dan Jumat dengan demikian merupakan harpitnas. Jadi cutilah saya Hari Rabu dan Jumat.
Rabu pagi saya berangkat ke Yogya dengan naik kereta api. Perjalanan berangkat ini nyaman. Penumpang tidak terlalu banyak. Keseluruhan rangkaian kereta hanya membawa empat gerbong. Pulangnya Hari Minggu pun saya naik kereta yang sama, berangkat dari Yogya jam sepuluh pagi.
Saya memiliki alasan kenapa pulang dan pergi dengan kereta siang. Sementara ini saya menghindari bepergian jauh dengan pesawat terbang terlebih lagi dimalam hari. Saya masih terpengaruh pengalaman buruk beberapa waktu lalu dimana pesawat yang saya tumpangi “terbanting-banting” oleh badai dan kesemuanya terjadi pada malam hari. Waktu itu saya mengira sudah akhir hidup saya. Tapi ternyata belum. Sejak itulah saya berjanji pada diri sendiri, jika memungkinkan tidak akan naik pesawat – apalagi waktu malam!
Pemikiran ini bodoh sebetulnya. Kalau memang mau dapat celaka, siapalah yang bisa meramalkan dengan tepat? Dimana? Sedang naik apa? Siang atau malam?
Tapi itulah saya, banyak hal saya percayai sebagai hal yang tidak perlu saya pahami sebab-sebabnya kenapa itu harus terjadi. Jika merasa sejahtera, lakukan saja.
Sedikit 'kelucuan' terjadi dalam perjalanan berangkat. Saya belum sarapan dan ditawari nasi goreng oleh petugas restorasi kereta. Langsung saya terima. Seingat saya, penumpang mendapat jatah satu kali makan dalam perjalanan. Sambil makan, saya memuji-muji masakan kereta api yang menurut lidah saya cukup mengalami kemajuan dalam hal rasa. Singkatnya, bumbu nasi goreng cukup enak.
Hanya saja, kira-kira sejam kemudian, saya terkejut karena ditagih pembayaran nasi goreng tadi, aw!
Ternyata tidak gratis. Gratisnya adalah makan siang dan makan siang tidak seenak nasi goreng yang sudah saya makan!
Satu hal lagi tapi bukan kelucuan melainkan berita sebuah tragedi. Ditengah perjalanan dengan kereta itu saya menerima sms dari adik saya yang mengabarkan bahwa tetangga sebelah rumah kami persis, ada dalam pesawat Hercules AURI yang gagal mendarat sempurna, jatuh hingga lempengan badan pesawatnya hancur berkeping-keping serta akhirnya terbakar pagi itu di Magetan.
Sorenya, setiba di Yogya saya menelpon ibu saya dan mendapat kepastian bahwa tetangga kami itu masih hidup namun dengan cedera berat pada jaringan tulang belakang dan fungsi otaknya. Sampai saya mengetik tulisan ini, dia belum sadarkan diri.
Seketika saya mengutuki AURI yang masih mengijinkan “Eyang Hercules” terbang!

Jalan Malioboro
Saya rasa saya tidak akan pernah mengeluh tentang situasi Jalan Malioboro yang memang padat penjual tapi belum tentu padat pengunjung. Terakhir barangkali enam tahun lalu saya kesana, jalan itu begitu sepi. Saat itu justru saya mbatin, mestinya tidak boleh sepi.
Dan kali ini saya kembali kesana, di Malioboro sedang tumplek manusia seabreg-abreg.
Saya gembira meskipun karena saking ramainya, di sepanjang jalan saya sering merasa tak ada oksigen untuk dihirup. Saya juga sering harus mandeg ditengah kerumunan pejalan kaki, disodok-sodok orang lain dari belakang yang memaksa saya berjalan cepat, bahkan sekali hampir kecopetan di sebuah toko – namun itulah sejatinya Malioboro bagi saya.
Ramai, sodok-sodokan, tawar-tawaran, menjadi sasaran copet, perasaan lucu dan geli yang timbul dari mendengar calon pembeli yang sok ber-Bahasa Jawa: harus mewarnai Malioboro!
Tentang nyaris kecopetan: saya adalah satu-satunya pengunjung di toko itu. Tidak saya sadari, saya rupanya telah diikuti dua lelaki berusia remaja. Setelah berada didalam toko, tiba-tiba tas kain saya yang saya gantungkan di bahu kanan terdorong kuat sekali kearah depan. Terasa seperti didorong oleh seseorang atau sesuatu dengan sengaja dari arah samping kanan belakang saya. Saya tengok dan seorang dari remaja yang kemudian saya perkirakan telah membuntuti saya buru-buru berjalan menghindari saya, menyusul temannya yang sedang memegang-megang beberapa potong pakaian dalam bak barang-barang diskon. Saya hampiri keduanya tanpa saya ajak bicara. Saya perhatikan saja mereka dalam jarak kurang lebih satu meter selama tiga atau empat menit sampai akhirnya mereka saling memberi kode dan kemudian berjalan keluar meninggalkan toko.
Untung bahan tas kain saya sangat kuat. Tidak mempan disilet. Namun saya berkesimpulan, dua remaja pencopet tadi adalah "partner" dua gadis remaja penjaga toko. Mereka mestinya memperhatikan aksi kedua remaja pencopet, tapi toh tidak memperingatkan saya. Entah takut, entah kongkalikong...

Piyik Penolak Bala Copet
Saya menceritakan peristiwa di toko itu kepada teman saya yang mudik ke Yogya bersama saya. Dia membagi pengalaman apa yang pernah dilakukan oleh almarhum ibunya dulu - walau tidak sengaja - namun terbukti manjur. Ibunya dulu pernah berbelanja di pasar dan yang pertama dibeli adalah dua ekor piyik (anak ayam) lalu dimasukkan dalam tas. Suatu saat ditengah-tengah berbelanja, anak ayam pada bercericap-cericip ramai seperti ketakutan.
Ibu teman saya itu heran, kok anak ayam ribut benar. Ketika membuka tas untuk memeriksa, dilihatnya sebuah tangan bergerayangan didalam tasnya. Tangan si copet!
Tentang resiko anak ayam membuang kotoran dalam tas? Silakan anda perhitungkan sendiri, ha ha...

Yudistira – Wayang Kulit
Setelah keliling beberapa toko penjual cendera mata di Jakarta dalam usaha saya ingin memiliki wayang kulit tokoh Yudistira namun gagal, akhirnya saya menemukannya di sebuah toko di sudut Jalan Malioboro. Kalau memang sudah seijin-Nya bahwa saya boleh memiliki sesuatu benda, pasti diberi jalan!
Kenapa saya ngotot mencarinya? Silakan baca di Facebook saya: Magda R Marti.

Perpustakaan Benteng Vrederburg
Ini salah satu target kunjungan saya. Jumat pagi saya kesana dan duduk-duduk membaca selama beberapa menit menjelang pukul sebelas.
Saya tidak tahu bahwa jam buka perpustakaan hanya sampai jam sebelas. Jam sebelas lewat sedikit, saya berulang kali mendengar ibu-ibu petugas perpustakaan saling bertanya apakah sudah mengisi absen. Lalu beberapa juga seliweran disekitar meja dimana saya duduk. Ada yang sambil mengembalikan buku-buku kedalam lemari, ada yang sambil mengingatkan temannya agar sebaiknya wedang tehnya segera dihabiskan dan gelas minumnya ditaruh ditempat cucian dibelakang.
Lama-lama saya rumongso juga. Ketika saya tanyakan sampai jam berapa saya boleh tinggal disitu, mereka menjawab seharusnya sudah tutup sekitar sepuluh menit yang lalu.
Ah halusnya, pengusiran ala Yogya!

Yayasan Umar Kayam
Sorenya saya mengunjungi Yayasan Umar Kayam. Yayasan ini mengelola buku-buku milik almarhum Pak Umar Kayam serta menyelenggarakan berbagai aktivitas lainnya. Selengkapnya bisa dibaca di: http://www.umarkayam.org
Saya sempat berkenalan dan mengobrol dengan direktur Yayasan. Salah satu bahan obrolan kami adalah yang berhubungan dengan pekerjaan saya di bidang human resources. Saya katakan bahwa di daerah dimana saya bekerja sedang terasa sekali dampak akibat krisis ekonomi global. Tiap hari dengar ada orang, teman atau kenalan kena pemutusan hubungan kerja, perusahaan mengencangkan ikat pinggang, aturan-aturan baru sehubungan dengan penghematan sumber daya terutama uang diterapkan.
Selesai dengan cerita saya, saya menanyakan, bagaimana pengaruh krisis tersebut di Yogya. Jawabannya sungguh luar biasa: tidak terasa sama sekali!
Yogya in peace!

Solo
Saya menyempatkan ke Pasar Klewer, Solo dengan naik kereta api Pramex, singkatan dari Prambanan Express. Dengannya, Stasiun Tugu – Solo Balapan bisa dicapai dalam satu jam persis. Tambahan lagi, ongkosnya bikin kesengsem berat. Sudah murah, dilengkapi pendingin udara, bebas resiko macet, tarifnya tujuh ribu rupiah saja!
Bagi saya kereta Pramex ini jauh luar biasa melampaui harapan saya akan transportasi umum yang tanpa resiko macet, bebas ngetem dan bebas menurunkan penumpang disembarang tempat. Saya pernah naik bus ke Solo dari Yogya, dan wah… sudahlah, pokoknya saya tak akan mengulanginya. Biarpun seandainya PT KAI menaikkan tarif Pramex - semoga tidak terlalu gila-gilaan kenaikannya: SEKALI PRAMEX, TETAP PRAMEX!
Saya tiba dimuka Pasar Klewer kira-kira jam sebelas dalam keadaan perut lapar berat. Memang sengaja hanya minum teh manis di penginapan, supaya bisa jajan yang “tidak biasa” di Solo. Turun dari becak saya lihat warung bakmi tek-tek. Harga seporsi mie kuah lima ribu tapi terasa kayak yang harganya lima belas ribu di Jakarta! Mantappp... Belum lagi kuahnya yang hangat plus cabe rawit ceplus, bunyinya mak-plus! Nggak berani niru mak-xxxs yang sudah kondang se-Indonesia itu.
Di Pasar Klewer saya membeli beberapa potong blus batik yang saya rencanakan untuk saya jual kembali di kantor. Dan ternyata memang laku keras. Dagangan “lenyap” dalam waktu kurang dari satu jam! (Ssttt… pembayarannya tidak cash and carry. Saya mengijinkan teman-teman yang membeli untuk membayarnya nanti setelah terima gaji bulan ini. Bukan apa-apa sih. Sampai dengan tanggal dua puluh lima siang itu, saya masih belum menyelesaikan proses penggajian. Lha ngene ini nek bakule the person who is in-charge in payroll! Dodolan ya digawe rumongso, ha ha…)
Dari Pasar Klewer saya ke Pasar Gede, mau cari bedak dingin. Dalam gang-gang didalam pasar, saya berjalan perlahan-lahan sebab menikmati betul suasana pasar tradisional. Ini juga dimungkinkan karena sekitar jam tiga sore waktu saya sampai, pasar sudah sepi pengunjung. Disuatu persimpangan, seorang bakul minta agar saya memberinya kesempatan lewat lebih dulu. Rupanya posisi saya berdiri telah menghalangi dia sehingga tidak bisa membelok kearah kiri kemana dia ingin pergi.
Kata-katanya memohon saya memberi jalan itu lho… ???
Sementara di Jakarta orang hanya akan berkata “misi, misi…” yang sering terdengar “mese, mese…” (maksudnya minta permisi mau lewat), mbakyu bakul ini berpanjang lebar “Den, nyuwun pangapunten Den… Mbok kulo dipun paringi menggok rumiyen.” (Den, mohon maaf Den… Berikan saya jalan agar bisa membelok dulu.)

Jajanan
Dua jajanan yang baru kali ini saya coba adalah: nasi rames didepan Pasar Beringharjo dan Bakso Uleg di daerah Godean. Nasi rames isinya adalah nasi bisa dengan capcay (ala kampung tapi rasa aduhai...), pecel, sate ati ayam, bakwan, mie atau bihun goreng. Sedangkan bakso uleg yang diuleg adalah cabainya pengganti sambel. Isi semangkok bakso adalah cabai uleg tadi, bakso, tahu dan ketupat sebagai pengganti mie atau bihun. Semuanya hmm... fantastis!

Bhatara Guru, Dewi Sri dan Dewi Uma
Buat anda pembaca wanita: pernah tertipu sepertinya ditaksir seorang pria tapi kemudian pria itu menikahi teman baik anda?
Buat anda pembaca pria dan sudah menikah: pernah merasa heran kok anda bukan menikahi wanita yang anda kira anda sukai tetapi sekarang ini anda beristrikan sahabat wanita tersebut?
Ingat saja bahwa kisah-kisah dalam dunia pewayangan adalah gambaran dari berbagai peristiwa nyata yang dialami manusia selama hidupnya di dunia.
Ini salah satu versi kisah cinta Bhatara Guru, Dewi Sri dan Dewi Uma: Suatu ketika Dewi Sri menjelma menjadi tanaman padi dan Dewi Uma menjadi rumput alang-alang. Rumput alang-alang jelas lebih tinggi dari tanaman padi.
Dewi Sri sesungguhnya adalah putri Bhatara Guru. Para dewa di kahyangan khawatir kalau-kalau Bhatara Guru akan jatuh cinta pada putrinya sendiri yang memang kuning dan cantik luar biasa. Karena itu, pada dewa mengirim Dewi Uma dan mengubahnya menjadi alang-alang.
Dalam pandangan Bhatara Guru, padi terhalangi oleh alang-alang dan diambilnyalah Dewi Uma sebagai istri.
Adakah jalan hidup anda mirip Bhatara Guru? Dewi Uma? Atau Dewi Sri? Anda sendiri yang tahu jawabannya.

Segini aja ya ceritanya... Semoga akhir pekan anda menyenangkan...