Saturday, May 9, 2009

Semalem Ikutan Jakarta Night Heritage Trail (JNHT)



SANGAT MEMUASKAN! Keinginan saya untuk jalan (kaki) disekitar kota tua Jakarta yang sudah bertahun-tahun berupa sebuah keinginan saja akhirnya terpenuhi. Saya akhirnya bisa melihat bangunan tua dari dekat dan bahkan memasuki sebagian bangunan-bangunan itu. Pengaturan yang bagus sekali oleh penyelenggara, harga tour yang sangat reasonable dan makan malam berupa nasi ulam yang luar biasa mantaaappppp!


Sayang kotaku ini hanya punya sedikit sekali gedung tua yang masih bisa dilihat hari-hari ini.


Sedikit berbagi cerita mengenai rute yang dilalui: Berangkat dari Musium Bank Mandiri (MBM). Rombongan dibawa berkeliling dulu dalam gedung musium ini. Disini banyak disimpan peralatan dagang dan bank jaman dulu. Mulai dari kalkulator, mesin ketik, mesin ATM generasi pertama, safe deposit box dan tentu saja yang wajib dimiliki oleh bank adalah brankas. Juga buku besar bank jaman dulu ukurannya luar biasa. kira-kira 50 x 75 cm! Kejutan adalah tentang lantai basement yang pernah digunakan sebagai lantai penyimpan brankas tetapi pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai ruangan untuk memenjarakan orang Belanda. Barangkali terjadi penyiksaan tahanan juga disitu?!


Perhentian kedua adalah Taman Fatahilah kemudian berjalan lurus kearah utara, melalui Jalan Cengkeh. Sepanjang Jalan Cengkeh dulunya adalah rumah-rumah pejabat Belanda. Sayang, lagi-lagi sayang, tidak ada satu bangunan rumah pun tersisa. Semua sudah jadi ruko dan semua ruko itu menjual peralatan atau suku cadang kapal. Sekitar Jalan Cengkeh, semua 'straat' disitu menggunakan nama hasil bumi: Jalan Teh dan Jalan Kopi - itu yang saya lihat. Rupanya Belanda sangat tergila-gila pada hasil bumi Indonesia.


Terus berlanjut mengarah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal2 kayu yang besar-besar itu kukira sudah tidak digunakan. Ternyata masih aktif padahal kalau lihat fisiknya, ngeriiiiiiiii.... Badan kapal dibuat dari kayu dan penuh lubang disana-sini. Nggak takut tenggelam ya?


Perhentian ketiga adalah Musium Bahari dan Menara Syahbandar (Uitkijk Post). Ini menara pengawas keluar masuk kapal. Saya beranikan naik keatas menara padahal bangunan itu sekarang sudah miring sekali karena tanahnya mblesek akibat truk-truk bermuatan besar yang sekarang berlalu lalang disitu tiap menit.


Keempat adalah galangan kapal VOC. Sayang sampai disitu sudah gelap. Saya tidak bisa ambil foto dinding yang ada pahatan lambang VOC padahal antik banget. Oh ya, galangan kapal VOC ini sekarang jadi rumah makan Cina yang waaaaaahhh........


Selebihnya adalah akhir dari perjalanan yaitu ke gedung Cipta Niaga. Sebuah gedung kosong berlantai tiga atau empat. Barangkali ada yang sudah pernah dengar bahwa gedung ini digunakan untuk syuting film Ayat-ayat Cinta.

Perhentian di gedung Cipta Niaga bisa dikatakan merupakan puncak tujuan saya ikut tour ini. Rombongan boleh masuk ke gedung kosong itu. Tidak ada apa-apa yang bisa dilihat. Selain karena tidak ada barang untuk dilihat, gedungnya juga tanpa penerangan sama sekali. Saya sendiri tidak ikut naik sampai ke lantai atas karena bau debu sangat menyengat. Saya tidak tahan bau debu, bisa bersin dan kemudian pilek.


Selesai dari situ, jalan kembali ke MBM, melewati depan Musium Wayang. Saya sangat ingin mampir tapi jam berkunjung sudah habis. Kabarnya, didalamnya ada batu nisan JP Coen. Hanya batu nisan, tulang belulangnya sudah dibawa ke negeri Belanda.


Sampai di taman dalam gedung MBM sudah jam 20:30. Nasi ulam sudah tersedia. Enak banget - bumbunya, hmm......... Buat orang berselera terhadap makanan berbumbu seperti saya, it was really above my expectation! Terdiri dari: nasi, daging dendeng, semur tahu, telur dadar, bihun goreng, perkedel kentang, kerupuk, emping, lalap ketimun dan daun kemangi. Plus sambel kacang yang luar biasa pedes en lagi-lagi mantaaapppppp! Makannya sambil nonton film tempo doeloe pula! En penyelenggara masih memberikan kata pengantar dan komentar atas film yang diputar serta bagi-bagi door prize!

Sungguh, saya tidak melebih-lebihkan, wisata ini: 'Just pas' buat generasi seangkatan saya yang sudah bertahun-tahun menetap di Jakarta (lebih parah lagi buat saya karena saya lahir di Jakarta), belum mengenal sejarah kotanya sendiri, jenuh dengan rutinitas kerja sehari-hari, dan yang sudah bosan saban weekend mengunjungi mall!

Seluruh acara berlangsung dari pukul 15:00 s.d. 21:15



PS: Foto diatas adalah Pasar Baru Tahun 1949. Tidak termasuk bagian dari JNHT. Tapi itu foto yang saya anggap paling mewakili untuk menambah kesan 'oldies' pada tulisan ini.

Friday, May 8, 2009

Siapakah Panembahan Senopati


Nama asli Panembahan Senopati adalah Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601). Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.


Asal-Usul
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan
Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama
Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh
Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Peran Awal
Sayembara menumpas
Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiaah.


Memberontak Terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah
Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun
1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan
Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban,
Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.


Memerdekakan Mataram
Pada tahun
1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat
Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.


Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun
1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun
1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di
Kotagede.

Memperluas Kekuasaan Mataram
Sepeninggal
Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.
Selain
Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.
Pada tahun
1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun
1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).
Pada tahun
1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.
Pada tahun
1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun
1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang. Mas Jolang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu beliau juga disebut Susuhunan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) Wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf? sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya wilayah Mataram diperluas hingga mencakup hampir seluruh pulau Jawa. Akibatnya terjadi gesekan dengan VOC yang berpusat di Jakarta. Maka terjadilah beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah beliau wafat, penggantinya adalah putranya yang bergelar Amangkurat.
Pemerintahan Amangkurat kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Salah satu pemberontakan ini cukup besar dan baru dapat diselesaikan dengan membagi wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pembagian wilayah ini tertuang dalam perjanjian Giyanti (1755). Maka berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Yogyakarta dan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.


Diperoleh dari: http://id.wikipedia.org

Thursday, May 7, 2009

Atikah Chou - Bagian 3 (Selesai)

Ringkasan Cerita Bagian 2
Miranti harus ke Guangzhou untuk urusan pekerjaan kantor. Setelah acara kantor selesai, dia tidak bisa langsung pulang ke Indonesia, tertahan karena badai. Dia menghabiskan waktu dengan mengunjungi sebuah museum dan disitu bertemu seorang gadis pelukis asal Indonesia.

Bagian 3

Lukisan itu, lagi-lagi “hanya” sebuah lukisan kesunyian. Perasaan yang terlalu tercampur baur membuatku tak bisa membedakan apakah binatang dalam lukisannya itu seekor koala atau anak Panda. Apapun itu, digambarkan oleh Ms Chou sedang duduk termenung diatas ranting. Ya, hanya sebatang ranting. Pohonnya sendiri tidak tampak.
Diluar harapan dan dugaanku, Ms Chou mengajukan penawaran mengejutkan.
“Mau menemani saya beristirahat? Jarang ada orang Indonesia kemari. Saya ingin dengar cerita-cerita tentang Indonesia dari anda, kalau boleh?”
“Tentu.”
Ms Chou membawaku kesebuah taman umum didekat museum. Kami membeli makanan kecil dan minuman ringan.
“Ms Chou, saya merasa sepertinya pernah mengenal anda.” Akhirnya aku berterus terang.
“Saya juga merasa sudah pernah jumpa dengan anda. Anda tahu Jalan Anu? Rumah orang tuaku dulu disitu.”
“Jalan Anu, Jakarta Timur?”
“Ya.”
Ms Chou dan aku sama-sama membelalak.
“Siapa nama ayahmu?” Aku penasaran.
“Lukito Prasodjo.”
“Oom Lukito?”
Ms Chou terperanjat lagi. Caraku menyebutkan nama ayahnya tampak telah mengingatkan dia pada seseorang.
Ms Chou menjerit, “Kak Mira?!”
Antara ragu dan harap cemas Ms Chou memanggil namaku. Padahal sejak di museum aku belum pernah menyebutkan namaku.
Caranya meneriakkan “Kak Mira” menerangkan bagiku mengapa tangan gadis pelukis ini tinggal yang kanan saja.
“Atik?” Aku belum ingin percaya bahwa dia Atik. Atik kecilku tiba-tiba ada dihadapanku? Kutemukan dia di Guangzhou? Bagaimana mungkin?
Kupeluk dia kuat-kuat. Atik membalas walau hanya dengan satu tangan. Dia sangat tabah, tidak menangis. Aku yang banjir air mata.
Ajaibnya waktu. Atik sungguh-sungguh menjadi pelukis! Dinegeri yang jauh dari tanah air kami begini? Dia terbukti benar-benar kuat seperti kata ibuku dulu.
Setelah kami berdua agak lebih tenang, Atik mulai bicara lagi.
“Tak lama setelah aku kena kecelakaan dengan mobil Oom Win, kakak tahu kami sekeluarga pindah ke Solo? Terutama karena mamaku tidak dapat menghadapi aku yang tiba-tiba bertangan satu.”
Aku belum bisa bicara. Hanya mengangguk-angguk dan sibuk mengusap air mataku.
Sial memang perusahaan tempat Oom Win dulu itu. Kenapa sih dia diberi mobil Jepang tanpa hidung itu? Mobil itu barangkali yang paling murah dibandingkan model yang memiliki tempat menyimpan mesin dibagian depan. Kalau saja, mobilnya tidak buntung hidung, barangkali hantaman pada pohon masih tertahan beberapa senti dari tubuh Atik.
“Disana mama dirawat psikiater yang masih keluarga kami dan tetap tinggal dirumah. Tidak perlu di rumah sakit. Dengan demikian papa tidak perlu keluar uang terlalu banyak.”
“Ya, aku pernah dengar perawatan untuk penyakit karena tekanan jiwa bisa lebih baik untuk proses penyembuhannya kalau di penderita tetap berada ditengah keluarganya sendiri. Jadi mamamu sudah sembuh sekarang?”
“Sudah. Sudah lama sembuh. Setiap hari, selama mama sakit, aku bicara padanya bahwa apa yang menimpaku bukan salah Oom Win. Suatu hari, selesai aku mengatakan itu, mama yang selama itu tidak mendengar apapun yang diucapkan orang disekitarnya tiba-tiba bisa tersenyum dan menjawab, kamu benar Tik.”
“Mujizat!”
“Betul Kak. Dan setelah itu mama langsung dinyatakan sembuh.”
Alangkah indahnya keajaiban! Ternyata dia masih bisa terjadi dibawah matahari!
“Dimana mama dan papamu sekarang, Tik?”
“Di Solo. Oom Win juga.”
Ah, Oom Win. Sejak tadi aku tak mau menyinggung-nyinggung tentang dia. Aku diam-diam menyimpan perasaan takut. Takut kalau Oom Win marah padaku sebab secara tak langsung telah membuat keponakannya cacat. Buktinya, setelah puluhan tahun berpisah, tak pernah Oom Win berusaha mencariku.
“Tik, barangkali sekarang giliran Kakak minta maaf padamu.”
“Maaf? Untuk apa Kak?”
“Kak Mira ingin membuat pengakuan. Berjanjilah dulu kamu mau memaafkan Kakak.”
“Aku janji.” Atik memandangku dengan matanya yang memang agak sipit sejak lahir. Atik tampak agak bingung. Tapi aku harus mengakui dosaku padanya sebab barangkali, sesudah hari ini takkan kudapati lagi kesempatan bertemu dengannya.
“Pada hari kamu dan Oom-mu mendapat kecelakaan, aku tidak keluar dari rumah waktu kamu memanggil-manggil dari pagar. Sebetulnya aku ada didalam rumah.”
Aku diam. Dapatkah sudah Atik membaca sisa pengakuanku?
“Aku mengerti Kak. Kakak tidak salah apa-apa.”
“Jelas aku salah.” Aku mulai menangis lagi.
“Atik nggak ngerti.”
“Kalau Kakak ikut, bukan kamu yang kehilangan tangan kiri, tapi Kakak.”
“Jangan pernah berpikir begitu Kak. Kakak lihat, aku bisa menerima keadaanku. Dan sekarang aku hidup senang dan tidak kekurangan apapun disini.”
“Benarkah itu, Tik?”
“Iya Kak. Kakak mamaku mengajakku ke Guangzhou sini sejak aku seharusnya masuk sekolah menengah pertama. Sejak itu aku menggunakan nama keluarga mama, Chou. Aku disekolahkan, dikursuskan macam-macam, termasuk belajar melukis dengan jari seperti yang Kakak lihat tadi.”
Atik menyebutkan sebuah istilah dalam Bahasa Cina tapi aku tak mampu mengingatnya.
“Kakak sudah lihat hasilnya kan? Bagus-bagus kan? Di museum ini aku hanya kerja dua hari dalam seminggu. Selebihnya aku mengajar melukis pada anak-anak. Aku juga menjadi penterjemah.”
“Jadi kamu memaafkan aku?”
“Aku jadi pelukis karena “pemaksaan” Kakak. Ingat Kakak dulu memaksaku menggambar kendi?”
Dia tertawa. Akupun tertawa.
“Baru sekarang aku mengerti itu adalah usaha Kakak memotivasi aku. Terima kasih ya Kak!”
“Tidak perlu berterima kasih padaku. Seperti sudah kukatakan dulu, kalau kamu masih ingat, kamu memang pada dasarnya sudah berbakat melukis. Lukisan kendi itu masih Kakak pajang didinding kamar.”
“Benarkah?”
“Aku tidak bohong.”
“Aku ingin melukis Kakak. Sekarang, boleh?” Atik bersinar-sinar saat mengatakannya.
“Boleh, kamu ikut saja ke hotelku. Kamu lukis aku disana malam ini.”
Heran, lukisan diriku kelihatan ceria walau warnanya ya hanya dua saja, hitam dan putih seperti semua lukisannya yang lain yang di museum. Apakah Atik merasai sedikit kegembiraaan bertemu denganku? Bukankah hasil kerja seseorang menggambarkan suasana hatinya?
“Lukisan ini untukku ya, Kak Mira? Barangkali aku tidak akan pernah kembali ke Indonesia. Setidaknya, aku punya kenangan dari Kakak. Bagaimana?
“Boleh, Tik. Boleh.” Aku terharu. Atik masih memiliki perasaan dekat denganku.
Dia mengantarku ke airport besoknya. Aku tetap juga tanpa nyali untuk menanyakan kabar Oom-nya.
Hanya saja kemudian, tak lama setelah kembali dari Guangzhou, kuterima sebuah e-mail singkat. Dari Winardi Prasodjo.
Halo Miranti, apa kabar? Lukisan dirimu di Guangzhou ada padaku. Win. (tanpa “Oom”)
Atikah Chou! Pertemuan denganmu terlalu mengharu-haru perasaanku sampai tak kukira kamu akan iseng bohong kecil-kecilan. Katamu mau menyimpan saja lukisan itu sebagai kenang-kenangan dari “guru melukismu”? (Selesai).

Wednesday, May 6, 2009

Posting Ulang: "Nu Dalam Layar Buku Catatan"


(Di-posting ulang dalam rangka memenuhi permintaan seorang teman yang minggu lalu belum sempat membacanya.)

Semua ini dikisahkan kepadaku oleh Nu, sahabatku waktu kecil dulu, hanya lewat huruf-huruf di layar komputer. Baru-baru ini aku tahu itu disebut chatting.
Layar buku catatan (kuterjemahkan langsung dari notebook sebab memang komputerku kecil sekali, ukurannya mirip buku catatan kertas biasa) agak tidak jelas bagiku terbuat dari bahan apakah dia. Kalau televisi, jelas aku bisa menyebutnya layar kaca. Atau kalau di bioskop, jelas layar perak. Lebih mudah lagi kalau di lapangan terbuka, layar tancep. Layar buku catatan ini sedikit mirip plastik, mungkin juga kaca lunak. Kalau kucucukkan ujung jariku di layar itu, agak empuk. Tak sekeras kaca tapi lebih keras dari plastik.
Yang paling hebat, buku catatan ini mampu menceritakan kisah hidup Nu dari sebuah titik lain di bola bumi, sepanjang ribuan kilometer garis terbang burung besi raksasa jauhnya dari rumahku.



*****


Aku: Jadi kamu pernah menikah dengan Mas Bimo, Nu? Kupikir Brian suami pertamamu?
Nu: Brian suami keduaku.
Aku: Kamu nggak pernah cerita sama aku.
Nu: Untuk apa?
Aku: Cerita aja. Aku masih temanmu, kan?
Nu: Kamu selamanya temanku, Nin. Cuma… kisahku dan Bimo sudah jadi masa lalu. Itu saja.
Aku: Kamu masih tidak sopan. Tidak pernah memanggilnya Mas.

Aku protes keras atas kelakuannya yang satu ini.

Nu: Apalagi sekarang, setelah statusnya adalah mantanku. Tak akan pernah! Lagipula, usia Bimo dan aku tidak beda jauh. Mas itu menurut aku, hanya untuk menyebut orang yang jauh lebih tua dari kita.

Nu mendebatku. Alasannya masih persis sama dengan waktu dulu dia pacaran dengan Mas Bimo dan kami membahas soal sebutan Mas ini.

Aku: Tapi Mas Bimo tetap lebih tua dari kamu kan?
Nu: Aku separuh Jawa separuh Menado. Tidak terikat aturan sejenis itu yang mengikatmu sebagai Jawa totok! Ha ha…

Tawa Nu diwakili smiley. Nu benar. Sebagian saja, yaitu tentang aku yang seratus persen Jawa sebab kedua orang tuaku keduanya Jawa. Tapi tentang sebutan kepada orang yang lebih tua rasanya tak perlu dihubungkan dengan kadar ke-Jawa-an. Sepele bagi Nu, serius bagiku. Seseorang yang kurasa lebih tua, lebih senior, pantas kuhormati, pasti tak akan pernah kupanggil dengan namanya saja.

Nu: Kamu harus pulang ke rumah cepat-cepat atau tidak malam ini, Nin?
Aku: Siapa yang menungguku dirumah? Mahluk hidup dirumahku hanya ikan-ikan dalam akuarium dan aku. Aku pulang atau tidak, mereka tetap menungguku sambil berenang.
Nu: Kamu ini terlalu takut melepaskan kebebasanmu sebagai lajang. Jadinya ya begitu, hanya ditunggui ikan.
Aku: Ada benarnya.
Nu: Nin!

Pasti kalau berhadapan muka tone-nya tinggi membentak.

Nu: Seriuslah sedikit. Apa iya selamanya kamu mau melajang?
Aku: Mungkin juga.

Aku tertawa. Diwakili oleh smiley juga.

Nu: Capek ngasih tahu kamu.
Aku: Kalau kau mau tahu, aku tidak pernah sepenuhnya berniat melajang. Segala sesuatunya dibawah kolong langit ini ada waktunya. Termasuk waktu untuk berjodoh.
Nu: Itu kan memang hukum alam.

Nu merengut. Aku tahu dari smiley-nya.

Aku: Makanya, aku mengalir saja bersamanya. Dengan begitu hidup jadi ringan.

Nu makin merengut. Smiley cemberut dikirimnya dua kali, berjejeran.

Aku: Kembali tentang Mas Bimo. Kapan kamu jadi istrinya?
Nu: Dua belas tahun yang lalu…??? Begitulah kurang lebih. Tak lama setelah kita tamat kuliah.
Aku: Lalu setelah itu kamu menikah dengan suamimu yang sekarang?
Nu: Iya. Anakku dengan Brian sudah hampir tujuh tahun. Usia perkawinanku dengan Bimo dulu tidak sampai setahun kok.
Aku: Pendek benar?!

Aku kaget. Nu pasti tahu kalau aku kaget sehingga dia mulai menerangkan.

Nu: Memang. Setelah menikah aku dan dia tinggal di Surabaya. Dia waktu itu sudah punya pekerjaan tetap. Tapi kebersamaan kami tak lama. Orang tua dia berhasil menemukan kami.

Nu ini! Sekarang malah mantan suaminya itu berulang-ulang disebutnya sebagai hanya “dia”.

Nu: Kamu tahu apa yang mereka (maksudnya mantan mertuanya) ancam akan mereka lakukan pada anaknya?”

Sekarang Nu menyebut mantan suaminya “anaknya”, heh!

Aku: Apa? Dibuang dari keluarga besarnya?
Nu: Kamu tahu kan Bimo punya gelar RM?
Aku: Ya. Siapa nama lengkapnya? Aku lupa.
Nu: Tak apa. Tidak penting!
Aku: Hmm… Lalu?
Nu: Bimo disuruh menceraikan aku. Kalau tidak mau, gelar RM dicabut, namanya dicoret dari daftar penerima warisan keluarga.
Aku: Zaman hi-tech begini yang begituan masih terjadi?
Nu: Kamu sangsi pada ceritaku? Aku ini sedang bercerita tentang kemalanganku.
Aku: Bukan, bukan tidak percaya. Lanjutkan…!
Nu: Mereka itu berdarah……… Ah, tak enak aku mengatakannya. Pokoknya darah mereka tidak merah seperti darah kita, Nin. Darah warna itu kabarnya kuat tapanya. Aku takut kuwalat. Hidup mereka diatur oleh aturan yang bukan untuk kita. Jauh lebih tinggi derajat aturan-aturan itu dari pada sekedar misalnya orang tua kita memberikan nama-nama Jawa kepada anak-anaknya. Aku, Kartika Danumaya karena diharapkan jadi bintang cemerlang. Kamu, Anindita karena diharapkan jadi anak yang sempurna. Atau, berbagai nama dengan suku kata awal Soe itu kayak guru-guru kita di SMP: Soebarno, Soejatmoko, Soenarno, dan seterusnya.
Aku: Iya, bahkan tiga guru perempuan kita pun namanya pakai Soe semua. Soelaksmini, Soetarmi, Soelantri.
Nu: Itulah! Atau memelihara kebiasaan selamatan tujuh bulanan waktu bu mengandung, menggunting rambut waktu anak mencapai usia tiga puluh lima hari, bikin bubur merah putih tiap weton kelahiran anak.

Aku belum sempat berkomentar, Nu sudah menambahkan:
Nu: Sungguh, bukan sekedar demikian. Tujuh kali tujuh lebih ruwet dari pada apa yang kita ketahui.

Aku tertawa membaca ulang kalimat Nu tentang bubur merah putih. Bubur merah putih hanya kusukai merahnya. Sebab manis oleh gula merah. Tapi semua adikku juga suka. Ibuku menatanya dalam piring. Bubur merah hampir memenuhi piring, bubur putih kira-kira dua sendok makan saja diletakkan ditengah-tengah. Karena kami empat bersaudara, dalam sebulan Ibu membuat bubur merah putih empat kali. Masing-masing pada tiap weton kelahiran tiap anak. Tiap kali terhidang bubur merah putih, aku menghabiskan merah setengah piring sendiri. Setengah lagi dibagi diantara adikku yang tiga orang.

Nu: Tambahan Nin, mereka itu sekelompok orang Jawa yang……… lakunya tak akan kita mengerti.
Aku: Ya, sudah, sudah, sudah. Kita berdua akan kuwalat sungguhan kalau kamu terus “menyerang” mereka seperti itu. Lalu apa yang Mas Bimo lakukan? Langsung menceraikanmu?
Nu: Tidak. Dia kabur.
Aku: Kabur bagaimana?
Nu: Menghilang! Tak menceraikan aku secara resmi. Sampai hari ini.
Aku: Jangan bilang kamu tidak pernah berusaha mencarinya Nu!
Aku mengecamnya. Tentu dengan smiley. Smiley warna merah yang matanya mengawasi galak.
Nu: Memang tidak pernah. Aku tahu pasti kok dia ada dimana. Pasti di Ndalem (diselipi smiley mencibir) orang tuanya. Di Yogya. Setelah kabur dari aku, tentulah dia kemudian segera dinikahkan dengan yang sudah dijodohkan dengannya.
Aku: Kamu yakin Mas Bimo punya calon hasil penjurusan?

“Penjurusan” adalah istilah yang aku ciptakan sendiri untuk menyindir teman-teman yang menemukan pasangan hidupnya sebagai buah kerepotan orang tua dalam proses perjodohan antar keluarga.

Nu: Mantan mertuaku sendiri bilang begitu waktu marani kami di Surabaya.


Perjodohan Mas Bimo pasti dengan seorang wanita berdarah……... Yang Nu tidak mau sebutkan itu tadi. Nu memang Jawa abangan dimata mantan keluarga mertuanya. Pertama, karena hanya setengah Jawa. Kedua, papinya tidak berdarah……. Kasihan kau Nu!
Aku: Bagaimana kalau suatu hari Mas Bimo mengklaim kamu masih istrinya? Kamu kan cinta Brian dan anakmu?
Nu: Dia memang sudah tahu aku sekarang sudah punya keluarga baru dan tinggal di Canada. Entah bagaimana atau siapa yang kasih tahu. Dia pernah menyurati aku, e-mail maksudku, menyatakan dia ingin kembali kalau aku memberinya kesempatan.

Nah, betul kan kira-kira ku tadi?!

Nu: Nin, dia itu pengecut. Dulu waktu disuruh menceraikan aku, dia membujuk-bujuk aku supaya mau cerai dulu. Sementara saja Nu, setelah aku dapat warisan, aku akan menikahimu kembali, katanya. Kutolak. Jelas kutolak. Aku maunya cerai atau tidak cerai sekalian.
Aku: Begitu mudah dia ingin kembali padamu?
Nu: Sebab dia sudah cerai dari istrinya. Menurut dia – seandainya, hanya seandainya aku tidak bahagia dengan pernikahanku yang sekarang, apalagi jika ternyata aku pun tidak betah hidup di Canada.
Aku: Lha kau sebetulnya senang atau tidak di Canada sana?
Nu: Harus kubuat senang Nin. Ada suami yang baik yang harus kucintai dan anak yang menjadi tanggung jawabku.
Aku: Harus? Itu kewajiban, bukan cinta!
Nu: Sial. Kamu benar, aku kacau. Lebih sialnya lagi, Bimo ingat bahwa aku, semenjak kuliah, telah jatuh cinta pada Yogya. Waktu masih pacaran dengan dia, aku pernah bilang ingin hidup bersamanya selamanya di kota itu.”

Nah ini sumber masalah perempuan! Tak mampu melepaskan diri dari pesona romantika masa lalu.

Nu: Kau tidak pernah dengar heboh berita pernikahanku dengan Bimo ya?
Aku: Kok tahu-tahu menyimpang? Heboh macam apa?
Nu: Macam peluru. Bisa membunuh orang dan yang terbunuh adalah papiku.
Aku: Nyebut Nu. Jangan sembarang bicara.
Nu: Mantan mertuaku, mentang-mentang bisa beli kolom berita di koran, mereka muat karangan mereka sendiri tentang aku. Isinya sangat miring memberatkan aku. Singkatnya, aku dituduh mengguna-gunai anak mereka sampai mau kawin lari denganku.”

Pasti disana Nu berapi-api dan matanya berkilat marah. Dia selalu begitu kalau sesuatu ingin meledak keluar dari dadanya.

Nu: Papiku yang sudah punya penyakit jantung langsung meninggal membaca berita itu. Untung mami hanya sakit sebentar dan masih bisa sembuh. Mami baru meninggal sekitar tiga tahun yang lalu.
Adat dan martabat keluarga mengikat Mas Bimo dan keluarga besarnya jauh lebih kuat daripada pasung! Tidak cukup diminta menceraikan Nu, tapi mereka melakukan publikasi besar-besaran – dan mahal mestinya! – sebagai usaha mengembalikan nama baik keluarga. Walau tidak dapat dimengerti oleh kebanyakan orang, toh adat mencengkeram bahkan mencakar keluarga bangsawan seperti mereka! Mantan suami dan mertuamu memang “pembunuh”, Nu. Namun aku tak dapat berempati membenci mereka. Seperti banyak perkara lain dan bahkan hidup manusia sendiri, dibawah matahari ini tindakan mereka hanyalah perkara yang mampir ngombe. Tidak dapat dan tidak perlu kita mengerti sekarang alasannya. Nanti, barangkali kalau kita sudah pindah dari dunia ini ke kehidupan berikut, baru semua menjadi jelas.

Nu: Nin, kalau kuberitahu ini, apa kau percaya?
Aku: Dibawah kolong langit ini tak ada yang tak kupercayai. Kecuali yang belum terjadi.
Nu: Kolong langit, kolong langiiiiiiiittt melulu!
Aku: Itu artinya aku berserah pada kehendak Yang Kuasa. Selamanya sadar hidupku dibawah langit, dibawah istana Sang Kuasa dan diatur olehNya.

Nu pasti sedang merenung. Itu kebiasaan dia kalau termakan kata-kataku. Lebih dari lima menit dia tak juga mengetik kalimat balasan.

Nu: Pokoknya begini keadaannya sekarang ini: Mantan mertuaku, menurut mantan suamiku, selain ingin meminta maaf, sekarang mereka membolehkan seandainya aku dan Bimo ingin kembali bersatu. Juga, kalau aku menceraikan Brian, Bimo mau mengakui anakku sebagai anaknya.

Barangkali aku memang tak bersimpati pada nasibnya – tapi sungguh, aku yakin di Canada sana hatinya kembang, kuncup, kembang, bergairah sekali mengetik huruf-huruf yang barusan. Itu, pada kemungkinan bercerai dengan Brian agar bisa kembali ke Mas Bimo.

Nu: Bulan depan keluargaku mengadakan selamatan seribu hari meninggalnya Mamiku. Aku akan pulang ke Indonesia. Aku tinggal kasih tahu agar mereka datang ke selamatan Mami. Disitu kami bisa bicara.

Keplok, keplok, keplooooook!!!

Benar kan dugaanku tentang jantungnya yang mekar, kuncup, mekar lagi! Tadi dia berkobar bercerita betapa diri dan keluarganya telah menjadi korban kesombongan keluarga Mas Bimo. Tetapi sekarang? Tetap ingin menikmati Yogya sampai akhir hayatnya? Wuih, wuih, wuih… Bersama “Bimo”, “dia” dan entah ada lagi barangkali sebutan Nu padanya. Romantika masa muda memang indah walau bisa jadi sudah berjamur dan beracun karena terlalu lama disimpan.

Nu: Bagaimana menurutmu, Nin? Aku boleh percaya kalau mereka tulus?
Aku: Aku tak tahu soal ketulusan. Katamu sendiri mereka pengecut dan pembunuh?!

Mata pancing telah kulemparkan. Nu pasti lesu disana. Aha! Benar, dua smiley dikirimnya: sedih dan malu!

Pada perasaanku, mantanmu itu memang cinta mati padamu! Hanya dalam hati sebab tak ingin Nu benar-benar jadi bimbang

(Selesai)

Atikah Chou - Bagian 2

Ringkasan Cerita Bagian 1
Atikah, tetangga kecil Miranti mengalami kecelakaan saat bepergian dengan Oom-nya. Atik sampai harus kehilangan tangan kirinya. Miranti menyesalinya setengah mati, ragu apakah Atik akan bisa tumbuh seperti anak-anak normal dan akhirnya Miranti bahkan kehilangan Atik dan seluruh keluarganya karena mereka pindah ke kota lain.


Bagian 2

Di Guangzhou, minggu ketiga Bulan Juli. Hampir dua puluh tahun setelah perpisahan dengan keluarga Prasodjo.
Panas dan ruwet macetnya persis yang dimiliki Jakarta. Plus, atmosfir semrawut sebuah kota metropolitan yang tercipta sebagai efek samping dari perencanaan sebuah kota besar yang nampak tidak terlalu baik dikonsepkan sejak awal.
Beberapa bulan lalu namaku sudah dicoret dari keikutsertaan dalam pilot project yang sedang diluncurkan di Guangzhou ini. Entah bagaimana, aku pun tak ingin menyelidiki sebab-sebabnya, kira-kira dua minggu yang lalu aku diperintahkan ikut lagi. Semula aku senang sebab akan ada kesempatan mengunjungi kota lain di Cina. Sejauh ini, baru Shanghai saja yang aku sudah pernah menjejakkan kaki.
Aku sudah melupakan sebagian besar detil tanggung jawabku dalam proyek tersebut. Dan sekarang harus kusatukan kembali semua potongan informasi itu. Dua minggu menjelang berangkat, aku harus kerja ekstra cepat.
Rapat-rapat yang sudah kukira akan melelahkan dan tidak terlalu lancar akhirnya selesai juga dalam waktu tiga hari yang direncanakan.
Ingin rasanya berteriak “Horeeeeeeee…!!!” tapi kegembiraan belum menjadi milikku.
Badai hampir tidak ada hentinya setiap hari menerjang wilayah udara diatas laut sekitar Cina Selatan dan Hong Kong. Pada hari seharusnya aku berada didalam burung besi raksasa terbang kembali ke Jakarta, semua penerbangan keluar dari Guangzhou dibatalkan.
Aku terdampar tanpa kepastian akankah bisa keluar dari Guangzhou. Airlines hanya mengatakan mereka akan menghubungiku di hotel jika pengaruh badai sudah sangat minimal.
Menyebalkan! Aneh bahwa ada badai dahsyat di udara sementara kotanya di daratan tenang-tenang saja – maksudku tetap saja panas dan tidak bersahabat – tetapi tidak terlanda badai.
Semalam, waktu browsing internet aku menemukan bahwa di Guangzhou sini ada museum Dr Sun Yat Sen, tokoh pembaruan Cina yang belakangan baru kubaca riwayat hidupnya.
Aku sudah pernah mengunjungi memorial house-nya di Taipei tahun lalu. Barangkali tak ada salahnya membandingkan dengan yang disini. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap. Hanya sekitar dua puluh ribu rupiah saja ongkos taksinya dari hotel.
Tapi aku kecewa. Museum ini bukan bekas rumah tinggal Dr Sun. Museum dibangun oleh yayasan yang mendukung kegiatan Dr Sun dalam usahanya mengantarkan Cina kepada kehidupan modern, demokratis. Sementara aku lebih suka berkunjung ke tempat bersejarah dimana sang pengukir sejarah pernah hidup didalamnya. Semacam memorial house yang di Taipei yang berupa rumah tua bekas tempat tinggal dokter Sun.
Rumah di Taipei itu, aku bahkan amat takut menyentuhnya. Dindingnya bambu dan kayu, bukan tembok. Jika kuamati warna dinding itu, maka aku hampir yakin jika kusentil dengan satu jari saja, akan robohlah seluruh rumah.
Namun tempat-tempat seperti itu yang kusukai. Tanpa perlu membaca literatur atau brosurnya, hanya dengan duduk diam-diam selama beberapa menit, bisa kudengar kehidupan puluhan tahun lalu bangkit kembali.
Museum di Guangzhou ini terlalu “ramai”. Aku tak dapat mendengarkan suara masa lalu dengan jernih. Terlalu hiruk pikuk, kesan yang diberikannya kepadaku.
Hasil browsing internet semalam tidak menunjukkan ada lagi situs sejarah yang bisa kukunjungi. Pulang ke hotel pun bukan pilihan menarik.
Lambat-lambat aku melangkah. Diarah pintu keluar musium, di sudut kanan, kerumunan kecil sejumlah orang menarik perhatianku.
Di dinding disekitar pojok itu, beberapa lukisan dipajang. Semuanya dalam warna hitam putih saja. Ada yang sudah berbingkai, ada yang belum. Yang belum berbingkai hanya dimasukkan dalam kantong plastik dan kantong plastiknya diberi sejenis pita atau tali untuk menggantungnya di dinding. Ukuran lukisan-lukisan itu pun tidak besar. Ukuran terbesar mungkin tiga puluh kali dua puluh lima sentimeter.
Karena belum berhasil memandang sampai menerobos kerumunan, aku hanya memperhatikan seluruh lukisan satu per satu. Dalam beberapa menit, aku, kalau boleh berkomentar – walau jelas bukan pengamat apalagi penilai karya seni level amatir sekalipun – kurasakan bahwa gambar-gambar itu semua bernada kesunyian.
Semuanya gambar pemandangan. Didalam semua gambar ada unsur air yang kutangkap sebagai teluk atau mungkin danau, kemudian pegunungan atau mungkin perbukitan karena mereka tidak terlalu tinggi, sedikit rerimbunan pohon, gumpalan awan dan entah kabut atau salju yang dimaksudkan oleh warna putih yang ada.
Kerumunan bubar saat aku sudah agak bosan memperhatikan belasan lukisan suram itu. Baru aku saat itu bahwa orang-orang tadi memperhatikan seorang pelukis yang saat itu pun masih berusaha menyelesaikan sebuah lukisannya. Dia seorang perempuan. Masih muda.
Dia terus saja bekerja. Tidak tertarik dengan kehadiranku. Tangan kanannya bergerak-gerak pelan dan terarah diatas permukaan kertas.
Hei…! Dia melukis tanpa kuas? Dimana cat airnya? Dimana pensilnya? Semua peralatan menggambar itu tak ada dimeja tempat dia kerja. Hanya sebuah cawan kecil berisi semacam serbuk berwarna hitam yang merupakan satu-satunya perlengkapannya disamping kertas gambarnya.
Kuperhatikan sekali lagi, kenapa ujung ibu jari kanannya begitu dekat lekat ke permukaan kertas? Ujung ibu jari itu menggesek tepat langsung diatas kertas dan dengannya membentuk bagian-bagian lukisannya.
Cara melukis yang unik. Sekali-kali dia menyentuhkan ibu jarinya itu ke dalam cawan, kemudian melukis lagi.
Pemandu wisata yang tadi mengantarku keliling museum, seorang pemuda lokal yang berbahasa Inggris sangat baik menghampiriku lagi.
“You told me you are from Jakarta, Indonesia, didn’t you?”
“I did.”
“Ms Chou is also from Indonesia.” Tangan dan kepalanya menunjuk gadis pelukis.
Gadis pelukis mengangkat kepalanya dari menatap kertas. Sepertinya kata Indonesia-lah yang menarik perhatiannya. Aku mengangguk dan tersenyum sedikit padanya. Dia juga melakukannya padaku.
“Anda dari Indonesia?” tanyanya padaku dalam Bahasa Indonesia.
Eh, bisa Bahasa Indonesia dia? Benar-benar orang Indonesia?
“Ya. ”
“Anda heran ya, saya bisa bicara Bahasa Indonesia?”
“Ya.”
“Saya lahir di Indonesia.”
Heran, ada gadis Indonesia hidup di Guangzhou, mencari nafkah dari melukis?
Gadis pelukis berdiri, mengangsurkan tangan kanannya. Aku menjabatnya. Sedikit tanganku kena bekas cat hitam pewarna lukisannya.
Saat itu kutangkap gerakan tangan kirinya yang sepertinya pasif dan menempel terlalu dekat pada tubuhnya. Sedetik setelahnya kusadari tangan kiri gadis pelukis itu hanya sampai siku. Cepat-cepat kualihkan pandangan mataku. Tapi gadis pelukis telah paham bahwa aku telah tahu tangan kirinya buntung.
Aku kikuk. Gadis pelukis tenang saja. Dia kembali duduk.
Nada-nada bertanya terus meramaikan hati dan pikiranku. Tentang tangan kiri yang lemah, yang ternyata tinggal separuh ukuran aslinya.
“Maaf saya telah merepotkan. Silakan diteruskan melukis.”
Nada-nada bertanya menahanku untuk tidak beranjak dari dekat Ms Chou. Pemandu wisata telah meninggalkan kami. Entah sejak kapan. Barangkali sejak dia sadar aku tak perlu penterjemah untuk bicara dengan Ms Chou-nya.
Gadis pelukis tidak bicara lagi. Terus saja melukis.
Beberapa saat, barangkali dalam belasan menit, aku berdiri diam disitu. Aku yakin sudah pernah melihat wajah gadis pelukis atau Ms Chou ini.
Tangan kiri yang kurang lebih sama lemah dan tak berdayanya sudah pernah kulihat. Apakah di negeriku sendiri? Atau bukan? Begitu banyak tempat telah kudatangi. Bisa jadi dia salah satu dari banyak pengemis bertangan buntung yang aku temui waktu menyeberang jalan, entah di kota metropolitan mana di Asia ini..…
Dalam usiaku yang tidak sedikit, yang sebagian besarnya kuhabiskan dengan urusan kerja dan kantor, banyak hal tidak mampu lagi kuingat dengan baik. Apakah karena dulu aku pernah melihatnya dalam keadaan bertangan utuh sehingga sekarang aku tidak mengenalinya? Rasanya tidak. Tangan tidak sekuat wajah dalam memberikan kesan ciri khusus seseorang.
Apakah kutanyakan saja nama lengkapnya?
Tahu-tahu Ms Chou berdiri. Puas memandangi lukisannya yang baru selesai. Kepalanya sedikit digerakkan ke kiri, sejenak ke kanan. Mencoba menilai hasil karyanya sendiri dari beberapa sudut.
“Ah, anda masih disini.” Dia kaget.
Rupanya dia terlalu asyik melukis. Tidak sadar aku masih berdiri didekatnya.
“Sudah selesai.” Dia tersenyum. Sekali lagi menatap lukisannya.


(Besok, semoga tidak ada halangan, akan terbit Bagian 3 - terakhir)

Tuesday, May 5, 2009

Atikah Chou - Bagian 1




Bagian 1

“Kak Mira…! Kak Miraaaaa…!”
Mana sih Kak Mira? Panas nih diluar sini Kak!
Pagar rumahnya dikunci.
“Buka pintunya dong Kaaaaaaak.”
Goncangan tangan kecilku pada pintu pagar rumah Kak Mira toh tidak membuat pintu terbuka.
“Oom, Kak Mira kali nggak dirumah” teriakku pada Oom Win.
“Pencet belnya Tik.”
“Ini juga masih Atik pencet terus.”
“Tunggu.”
Oom Win keluar juga akhirnya dari mobilnya. Membantu aku memanggil Kak Mira.
Dua, tiga menit panggilan kami tidak dapat balasan dari yang kami panggil.
“Rumahnya kosong. Kita pergi saja.”
Oom Win membalikkan badan, menggandeng aku dibahu, mengajak kembali ke mobilnya.
“Oom sedih Kak Mira lupa janjinya?”
“Enggak. Lain waktu masih bisa kita ajak Kak Mira. Ayo.”
Dari balik tirai kamar tidur kulihat mobil Oom Win dengan dia dan Atik didalamnya. Menjauh…….



*****


Kok tumben, malam minggu begini si Atik belum muncul dirumah? Biasanya lepas sembahyang maghrib dia sudah ada diteras rumahku lengkap dengan tas besar berisi peralatan gambar miliknya.
Atik anak perempuan keluarga Prasodjo. Satu-satunya perempuan. Kakaknya dua laki-laki semua. Oom Lukito Prasodjo, papanya, Solo asli. Tante Mei, istrinya, Solo keturunan Chinese. Kulit Atik ikut mamanya. Kuning. Manis wajahnya ikut bapaknya.
“Menggambar apa nih Kak?” Pasti itu pertanyaan pertamanya padaku.
Sudah beberapa waktu ini aku suka “mengerjai” dia. Menyuruh dia menggambar obyek yang cukup sulit. Aku tahu dia bisa.
Suatu kali kuambil kendi air minum dari dapur. Kuletakkan diatas meja teras dan kusuruh dia menirunya diatas kertas.
“Susah sekali. Aku mau gambar kartun saja.”
“Coba dulu.”
“Nggak mau.”
Dia merogoh tasnya, menarik keluar sebuah komik kartun.
“Ini saja.” Ditunjuknya gambar tokoh kartun berperut buncit.
“Kakak ingin punya lukisan kendi ini.”
“Gambar saja sendiri.”
“Kalau kamu tidak mau lukis kendi itu, lebih baik gambar kartun itu kau buat dirumahmu sendiri sana.” Aku pura-pura marah.
“Kakak jahat.”
Lalu dia bereskan peralatan gambarnya sambil berurai air mata dan terus cepat-cepat kabur, pulang.
Tak kusangka besok paginya, Hari Minggu, dia muncul lagi dirumah. Membawa kertas gambar saja. Gambarnya disembunyikannya dari aku.
“Ini untuk Kakak, tapi tidak bagus.”
Kertas gambar yang gambarnya masih belum kulihat itu diangsurkan padaku.
“Wah, kau lukis juga kendi itu?”
“Iya.” Dia malu-malu.
“Kakak sudah tahu kamu berbakat Tik. Sangat berbakat jadi pelukis” pujiku.
“Bakat itu apa Kak?”
“Kepandaian khusus. Dalam hal ini menggambar. Gambarmu sangat bagus.”
Rasanya Atik tidak mengerti penjelasanku barusan.
Biarlah. Aku toh sebetulnya tidak berlebihan menilai dia. Kekuatan hasil goresannya sudah kelihatan memiliki cirri dan dalam keterbatasan anak seusia dia, telah memiliki sisi yang bisa disebut keindahan.
“Akan Kakak belikan bingkai ya.”
Dia mengangguk-angguk.
Sudah hampir jam sembilan. Rasanya Atik tak bakal muncul. Lukisan kendi kupandangi. Malam ini kendi itu tidak terlalu indah. Agak terlalu senyap kesan warna badan kendi yang coklat tanah liat itu.
Kudengar suara ibu menerima telepon dan tak lama bicara tergesa-gesa dengan ayah. Dari kamar, samar saja, sepertinya ibu mengucapkan kata-kata: Atik, mobil Win dan rumah sakit. Diulang oleh ayah: Atik, mobil Win, rumah sakit. Ayah menambahkan: kecelakaan!
“Mira, kau sudah tidur?” Ketokan ibu keras pada pintu kamarku.
Aku keluar.
“Ayo ikut lihat Atik di rumah sakit.”
“Atik kenapa Bu?”
Aku berdebar-debar. Ingat dia tadi siang pergi bersama Oomnya.
“Kecelakaan dengan Winardi.”
“Parah?”
“Belum tahu, lekas siap-siap.”
Dalam satu jam, aku, ayah dan ibu sampai di rumah sakit. Tante Mei sudah bolak-balik pingsan, sadar, pingsan, sadar lagi, pingsan lagi menurut Oom Lukito.
Semoga bukan malam ini nyawa Atik dan Oom Win……... Itu terus kalimat yang kuulang-ulang dalam hati.
“Ayo, kita lihat Atik” ajak papanya Atik.
Atik yang memang kurus dan kecil itu tampak kecil sekali ditengah tempat tidur rumah sakit. Mata terpejam. Wajah pucat. Kepalanya penuh perban. Ujung-ujung selang ditempelkan pada beberapa bagian tubuhnya. Barangkali untuk bantu pernafasan, memasukkan cairan makanan atau obat, dan ada juga yang kedadanya – entah apa fungsinya.
Yang agak tidak biasa adalah tangannya. Apa ya? Kupandangi kedua tangan Atik. Tangan kanannya terkulai antara perut dan dadanya. Lalu tangan kirinya. apa yang aneh dengan tangan kirinya? Kupandangi tanganku sendiri, lalu tangan semua orang, lalu kembali ke tangan kiri Atik.
“Tangan kirinya diamputasi.” Oom Lukito membaca pikiranku.
Amputasi? Amputasi?? Amputasi??? Dipotong???
Salah satu eyangku juga diamputasi kaki kirinya. Dulu kena peluru kompeni. Amputasi adalah yang terbaik. Kalau tidak, bekas lukanya akan membusuk dan busuknya akan meluas. Jadi amputasi adalah tindakan menyelamatkan eyang.
Tapi amputasi tangan kiri Atik adalah tindakan penghancuran bahkan perampokan masa depannya.
Atik sayang, kamu belum lagi delapan tahun genap. Bagaimana kamu akan menghadapi masa depanmu dengan kehilangan yang begitu besar?
“Dia duduk disebelah Oomnya di mobil tadi siang.” Mata Oom Lukito berkaca-kaca. Suaranya ditahannya sedapat mungkin. Dia tahu dia tidak boleh lemah sebab istrinya sudah jauh lebih lemah.
“Win menghindari mobil yang menyalip dari arah depan, dia banting setir ke kiri tapi terlalu jauh. Bagian kiri depan mobil hancur menabrak pohon besar ditepi jalan. Itu sebabnya tangan kiri Atik, harus… harus… harus hilang…”
Entahlah apa aku harus bersyukur? Seandainya aku ikut dengan mereka, akulah yang pasti duduk disebelah Oom Win. Jadi Atik menyelamatkan tangan kiriku? Arti kepemilikan sebuah tangan tiba-tiba begitu besar aku rasakan.
“Oom senang kamu ternyata tidak ikut pergi dengan Win dan Atik tadi siang.”
Oh, jadi Oom Lukito tahu?
“Mira…” Panggil Oom Lukito lagi.
Kuseka air mata.
“Win belum bisa dijenguk. Dia masih di ruang perawatan intensif.”
Aku mengangguk.
Oom Win adik kandung papanya Atik. Aku tahu, diam-diam orang tuaku dan orang tua Atik berusaha menjodohkan aku dengan Oom Win. Tapi aku malu. Masak pacaran dengan orang yang kupanggil “Oom”? Sebetulnya sih hanya karena dia adik Oom Lukito maka aku terlanjur memanggilnya “Oom” juga. Dan memang waktu aku kuliah masih ditahun pertama, Oom Win sudah bekerja. Jadi mungkin selisih umurnya dengan aku paling banyak sekitar tujuh atau delapan tahun. Masih pantas sih sebetulnya kalau aku mau dijodohkan.
Yang membuatku tidak tahan paling-paling olok-olok teman-temanku. Setengah guyon, setengah mendoakan kuliahku tak bakal selesai karena keburu dilamar.
Selama Oom Win dirawat, aku hanya sempat menjenguknya satu kali. Itupun saat dia belum sadar.
Setelah Atik dan Oom Win keluar dari rumah sakit, dengan alasan yang tidak kuketahui, Oom Lukito memindahkan keluarganya ke Solo. Aku, karena kesibukan kuliah yang makin padat, kemudian disuruh kost saja didekat kampus oleh orang tuaku. Waktu Atik dan keluarganya berangkat pindah aku bahkan tidak sempat mengucapkan selamat berpisah.
“Sepi tanpa Atik di malam minggu begini ya Bu?” kataku suatu kali.
Diteras ini, aku duduk disebelah ibuku. Kami memandang rumah Atik yang sekarang sudah berpenghuni satu keluarga yang belum kukenal.
“Maafkan ayah dan ibu tak dapat memberimu seorang adik.” Ibu membelai tanganku.
“Aku tidak protes menjadi anak tunggal kok Bu. Aku hanya ingat waktu Atik masih tinggal disebelah. Apa dia masih mau sekolah sekarang? Tidak minder dengan bertangan satu? Masih maukah dia melukis?”
“Dia anak yang kuat. Dan kau sudah menanamkan kepercayaan bahwa dia akan menjadi pelukis terkenal.”


(akan bersambung dengan Bagian 2, besok)