Thursday, May 7, 2009

Atikah Chou - Bagian 3 (Selesai)

Ringkasan Cerita Bagian 2
Miranti harus ke Guangzhou untuk urusan pekerjaan kantor. Setelah acara kantor selesai, dia tidak bisa langsung pulang ke Indonesia, tertahan karena badai. Dia menghabiskan waktu dengan mengunjungi sebuah museum dan disitu bertemu seorang gadis pelukis asal Indonesia.

Bagian 3

Lukisan itu, lagi-lagi “hanya” sebuah lukisan kesunyian. Perasaan yang terlalu tercampur baur membuatku tak bisa membedakan apakah binatang dalam lukisannya itu seekor koala atau anak Panda. Apapun itu, digambarkan oleh Ms Chou sedang duduk termenung diatas ranting. Ya, hanya sebatang ranting. Pohonnya sendiri tidak tampak.
Diluar harapan dan dugaanku, Ms Chou mengajukan penawaran mengejutkan.
“Mau menemani saya beristirahat? Jarang ada orang Indonesia kemari. Saya ingin dengar cerita-cerita tentang Indonesia dari anda, kalau boleh?”
“Tentu.”
Ms Chou membawaku kesebuah taman umum didekat museum. Kami membeli makanan kecil dan minuman ringan.
“Ms Chou, saya merasa sepertinya pernah mengenal anda.” Akhirnya aku berterus terang.
“Saya juga merasa sudah pernah jumpa dengan anda. Anda tahu Jalan Anu? Rumah orang tuaku dulu disitu.”
“Jalan Anu, Jakarta Timur?”
“Ya.”
Ms Chou dan aku sama-sama membelalak.
“Siapa nama ayahmu?” Aku penasaran.
“Lukito Prasodjo.”
“Oom Lukito?”
Ms Chou terperanjat lagi. Caraku menyebutkan nama ayahnya tampak telah mengingatkan dia pada seseorang.
Ms Chou menjerit, “Kak Mira?!”
Antara ragu dan harap cemas Ms Chou memanggil namaku. Padahal sejak di museum aku belum pernah menyebutkan namaku.
Caranya meneriakkan “Kak Mira” menerangkan bagiku mengapa tangan gadis pelukis ini tinggal yang kanan saja.
“Atik?” Aku belum ingin percaya bahwa dia Atik. Atik kecilku tiba-tiba ada dihadapanku? Kutemukan dia di Guangzhou? Bagaimana mungkin?
Kupeluk dia kuat-kuat. Atik membalas walau hanya dengan satu tangan. Dia sangat tabah, tidak menangis. Aku yang banjir air mata.
Ajaibnya waktu. Atik sungguh-sungguh menjadi pelukis! Dinegeri yang jauh dari tanah air kami begini? Dia terbukti benar-benar kuat seperti kata ibuku dulu.
Setelah kami berdua agak lebih tenang, Atik mulai bicara lagi.
“Tak lama setelah aku kena kecelakaan dengan mobil Oom Win, kakak tahu kami sekeluarga pindah ke Solo? Terutama karena mamaku tidak dapat menghadapi aku yang tiba-tiba bertangan satu.”
Aku belum bisa bicara. Hanya mengangguk-angguk dan sibuk mengusap air mataku.
Sial memang perusahaan tempat Oom Win dulu itu. Kenapa sih dia diberi mobil Jepang tanpa hidung itu? Mobil itu barangkali yang paling murah dibandingkan model yang memiliki tempat menyimpan mesin dibagian depan. Kalau saja, mobilnya tidak buntung hidung, barangkali hantaman pada pohon masih tertahan beberapa senti dari tubuh Atik.
“Disana mama dirawat psikiater yang masih keluarga kami dan tetap tinggal dirumah. Tidak perlu di rumah sakit. Dengan demikian papa tidak perlu keluar uang terlalu banyak.”
“Ya, aku pernah dengar perawatan untuk penyakit karena tekanan jiwa bisa lebih baik untuk proses penyembuhannya kalau di penderita tetap berada ditengah keluarganya sendiri. Jadi mamamu sudah sembuh sekarang?”
“Sudah. Sudah lama sembuh. Setiap hari, selama mama sakit, aku bicara padanya bahwa apa yang menimpaku bukan salah Oom Win. Suatu hari, selesai aku mengatakan itu, mama yang selama itu tidak mendengar apapun yang diucapkan orang disekitarnya tiba-tiba bisa tersenyum dan menjawab, kamu benar Tik.”
“Mujizat!”
“Betul Kak. Dan setelah itu mama langsung dinyatakan sembuh.”
Alangkah indahnya keajaiban! Ternyata dia masih bisa terjadi dibawah matahari!
“Dimana mama dan papamu sekarang, Tik?”
“Di Solo. Oom Win juga.”
Ah, Oom Win. Sejak tadi aku tak mau menyinggung-nyinggung tentang dia. Aku diam-diam menyimpan perasaan takut. Takut kalau Oom Win marah padaku sebab secara tak langsung telah membuat keponakannya cacat. Buktinya, setelah puluhan tahun berpisah, tak pernah Oom Win berusaha mencariku.
“Tik, barangkali sekarang giliran Kakak minta maaf padamu.”
“Maaf? Untuk apa Kak?”
“Kak Mira ingin membuat pengakuan. Berjanjilah dulu kamu mau memaafkan Kakak.”
“Aku janji.” Atik memandangku dengan matanya yang memang agak sipit sejak lahir. Atik tampak agak bingung. Tapi aku harus mengakui dosaku padanya sebab barangkali, sesudah hari ini takkan kudapati lagi kesempatan bertemu dengannya.
“Pada hari kamu dan Oom-mu mendapat kecelakaan, aku tidak keluar dari rumah waktu kamu memanggil-manggil dari pagar. Sebetulnya aku ada didalam rumah.”
Aku diam. Dapatkah sudah Atik membaca sisa pengakuanku?
“Aku mengerti Kak. Kakak tidak salah apa-apa.”
“Jelas aku salah.” Aku mulai menangis lagi.
“Atik nggak ngerti.”
“Kalau Kakak ikut, bukan kamu yang kehilangan tangan kiri, tapi Kakak.”
“Jangan pernah berpikir begitu Kak. Kakak lihat, aku bisa menerima keadaanku. Dan sekarang aku hidup senang dan tidak kekurangan apapun disini.”
“Benarkah itu, Tik?”
“Iya Kak. Kakak mamaku mengajakku ke Guangzhou sini sejak aku seharusnya masuk sekolah menengah pertama. Sejak itu aku menggunakan nama keluarga mama, Chou. Aku disekolahkan, dikursuskan macam-macam, termasuk belajar melukis dengan jari seperti yang Kakak lihat tadi.”
Atik menyebutkan sebuah istilah dalam Bahasa Cina tapi aku tak mampu mengingatnya.
“Kakak sudah lihat hasilnya kan? Bagus-bagus kan? Di museum ini aku hanya kerja dua hari dalam seminggu. Selebihnya aku mengajar melukis pada anak-anak. Aku juga menjadi penterjemah.”
“Jadi kamu memaafkan aku?”
“Aku jadi pelukis karena “pemaksaan” Kakak. Ingat Kakak dulu memaksaku menggambar kendi?”
Dia tertawa. Akupun tertawa.
“Baru sekarang aku mengerti itu adalah usaha Kakak memotivasi aku. Terima kasih ya Kak!”
“Tidak perlu berterima kasih padaku. Seperti sudah kukatakan dulu, kalau kamu masih ingat, kamu memang pada dasarnya sudah berbakat melukis. Lukisan kendi itu masih Kakak pajang didinding kamar.”
“Benarkah?”
“Aku tidak bohong.”
“Aku ingin melukis Kakak. Sekarang, boleh?” Atik bersinar-sinar saat mengatakannya.
“Boleh, kamu ikut saja ke hotelku. Kamu lukis aku disana malam ini.”
Heran, lukisan diriku kelihatan ceria walau warnanya ya hanya dua saja, hitam dan putih seperti semua lukisannya yang lain yang di museum. Apakah Atik merasai sedikit kegembiraaan bertemu denganku? Bukankah hasil kerja seseorang menggambarkan suasana hatinya?
“Lukisan ini untukku ya, Kak Mira? Barangkali aku tidak akan pernah kembali ke Indonesia. Setidaknya, aku punya kenangan dari Kakak. Bagaimana?
“Boleh, Tik. Boleh.” Aku terharu. Atik masih memiliki perasaan dekat denganku.
Dia mengantarku ke airport besoknya. Aku tetap juga tanpa nyali untuk menanyakan kabar Oom-nya.
Hanya saja kemudian, tak lama setelah kembali dari Guangzhou, kuterima sebuah e-mail singkat. Dari Winardi Prasodjo.
Halo Miranti, apa kabar? Lukisan dirimu di Guangzhou ada padaku. Win. (tanpa “Oom”)
Atikah Chou! Pertemuan denganmu terlalu mengharu-haru perasaanku sampai tak kukira kamu akan iseng bohong kecil-kecilan. Katamu mau menyimpan saja lukisan itu sebagai kenang-kenangan dari “guru melukismu”? (Selesai).

No comments:

Post a Comment