Wednesday, May 6, 2009

Atikah Chou - Bagian 2

Ringkasan Cerita Bagian 1
Atikah, tetangga kecil Miranti mengalami kecelakaan saat bepergian dengan Oom-nya. Atik sampai harus kehilangan tangan kirinya. Miranti menyesalinya setengah mati, ragu apakah Atik akan bisa tumbuh seperti anak-anak normal dan akhirnya Miranti bahkan kehilangan Atik dan seluruh keluarganya karena mereka pindah ke kota lain.


Bagian 2

Di Guangzhou, minggu ketiga Bulan Juli. Hampir dua puluh tahun setelah perpisahan dengan keluarga Prasodjo.
Panas dan ruwet macetnya persis yang dimiliki Jakarta. Plus, atmosfir semrawut sebuah kota metropolitan yang tercipta sebagai efek samping dari perencanaan sebuah kota besar yang nampak tidak terlalu baik dikonsepkan sejak awal.
Beberapa bulan lalu namaku sudah dicoret dari keikutsertaan dalam pilot project yang sedang diluncurkan di Guangzhou ini. Entah bagaimana, aku pun tak ingin menyelidiki sebab-sebabnya, kira-kira dua minggu yang lalu aku diperintahkan ikut lagi. Semula aku senang sebab akan ada kesempatan mengunjungi kota lain di Cina. Sejauh ini, baru Shanghai saja yang aku sudah pernah menjejakkan kaki.
Aku sudah melupakan sebagian besar detil tanggung jawabku dalam proyek tersebut. Dan sekarang harus kusatukan kembali semua potongan informasi itu. Dua minggu menjelang berangkat, aku harus kerja ekstra cepat.
Rapat-rapat yang sudah kukira akan melelahkan dan tidak terlalu lancar akhirnya selesai juga dalam waktu tiga hari yang direncanakan.
Ingin rasanya berteriak “Horeeeeeeee…!!!” tapi kegembiraan belum menjadi milikku.
Badai hampir tidak ada hentinya setiap hari menerjang wilayah udara diatas laut sekitar Cina Selatan dan Hong Kong. Pada hari seharusnya aku berada didalam burung besi raksasa terbang kembali ke Jakarta, semua penerbangan keluar dari Guangzhou dibatalkan.
Aku terdampar tanpa kepastian akankah bisa keluar dari Guangzhou. Airlines hanya mengatakan mereka akan menghubungiku di hotel jika pengaruh badai sudah sangat minimal.
Menyebalkan! Aneh bahwa ada badai dahsyat di udara sementara kotanya di daratan tenang-tenang saja – maksudku tetap saja panas dan tidak bersahabat – tetapi tidak terlanda badai.
Semalam, waktu browsing internet aku menemukan bahwa di Guangzhou sini ada museum Dr Sun Yat Sen, tokoh pembaruan Cina yang belakangan baru kubaca riwayat hidupnya.
Aku sudah pernah mengunjungi memorial house-nya di Taipei tahun lalu. Barangkali tak ada salahnya membandingkan dengan yang disini. Letaknya juga tidak terlalu jauh dari hotel tempatku menginap. Hanya sekitar dua puluh ribu rupiah saja ongkos taksinya dari hotel.
Tapi aku kecewa. Museum ini bukan bekas rumah tinggal Dr Sun. Museum dibangun oleh yayasan yang mendukung kegiatan Dr Sun dalam usahanya mengantarkan Cina kepada kehidupan modern, demokratis. Sementara aku lebih suka berkunjung ke tempat bersejarah dimana sang pengukir sejarah pernah hidup didalamnya. Semacam memorial house yang di Taipei yang berupa rumah tua bekas tempat tinggal dokter Sun.
Rumah di Taipei itu, aku bahkan amat takut menyentuhnya. Dindingnya bambu dan kayu, bukan tembok. Jika kuamati warna dinding itu, maka aku hampir yakin jika kusentil dengan satu jari saja, akan robohlah seluruh rumah.
Namun tempat-tempat seperti itu yang kusukai. Tanpa perlu membaca literatur atau brosurnya, hanya dengan duduk diam-diam selama beberapa menit, bisa kudengar kehidupan puluhan tahun lalu bangkit kembali.
Museum di Guangzhou ini terlalu “ramai”. Aku tak dapat mendengarkan suara masa lalu dengan jernih. Terlalu hiruk pikuk, kesan yang diberikannya kepadaku.
Hasil browsing internet semalam tidak menunjukkan ada lagi situs sejarah yang bisa kukunjungi. Pulang ke hotel pun bukan pilihan menarik.
Lambat-lambat aku melangkah. Diarah pintu keluar musium, di sudut kanan, kerumunan kecil sejumlah orang menarik perhatianku.
Di dinding disekitar pojok itu, beberapa lukisan dipajang. Semuanya dalam warna hitam putih saja. Ada yang sudah berbingkai, ada yang belum. Yang belum berbingkai hanya dimasukkan dalam kantong plastik dan kantong plastiknya diberi sejenis pita atau tali untuk menggantungnya di dinding. Ukuran lukisan-lukisan itu pun tidak besar. Ukuran terbesar mungkin tiga puluh kali dua puluh lima sentimeter.
Karena belum berhasil memandang sampai menerobos kerumunan, aku hanya memperhatikan seluruh lukisan satu per satu. Dalam beberapa menit, aku, kalau boleh berkomentar – walau jelas bukan pengamat apalagi penilai karya seni level amatir sekalipun – kurasakan bahwa gambar-gambar itu semua bernada kesunyian.
Semuanya gambar pemandangan. Didalam semua gambar ada unsur air yang kutangkap sebagai teluk atau mungkin danau, kemudian pegunungan atau mungkin perbukitan karena mereka tidak terlalu tinggi, sedikit rerimbunan pohon, gumpalan awan dan entah kabut atau salju yang dimaksudkan oleh warna putih yang ada.
Kerumunan bubar saat aku sudah agak bosan memperhatikan belasan lukisan suram itu. Baru aku saat itu bahwa orang-orang tadi memperhatikan seorang pelukis yang saat itu pun masih berusaha menyelesaikan sebuah lukisannya. Dia seorang perempuan. Masih muda.
Dia terus saja bekerja. Tidak tertarik dengan kehadiranku. Tangan kanannya bergerak-gerak pelan dan terarah diatas permukaan kertas.
Hei…! Dia melukis tanpa kuas? Dimana cat airnya? Dimana pensilnya? Semua peralatan menggambar itu tak ada dimeja tempat dia kerja. Hanya sebuah cawan kecil berisi semacam serbuk berwarna hitam yang merupakan satu-satunya perlengkapannya disamping kertas gambarnya.
Kuperhatikan sekali lagi, kenapa ujung ibu jari kanannya begitu dekat lekat ke permukaan kertas? Ujung ibu jari itu menggesek tepat langsung diatas kertas dan dengannya membentuk bagian-bagian lukisannya.
Cara melukis yang unik. Sekali-kali dia menyentuhkan ibu jarinya itu ke dalam cawan, kemudian melukis lagi.
Pemandu wisata yang tadi mengantarku keliling museum, seorang pemuda lokal yang berbahasa Inggris sangat baik menghampiriku lagi.
“You told me you are from Jakarta, Indonesia, didn’t you?”
“I did.”
“Ms Chou is also from Indonesia.” Tangan dan kepalanya menunjuk gadis pelukis.
Gadis pelukis mengangkat kepalanya dari menatap kertas. Sepertinya kata Indonesia-lah yang menarik perhatiannya. Aku mengangguk dan tersenyum sedikit padanya. Dia juga melakukannya padaku.
“Anda dari Indonesia?” tanyanya padaku dalam Bahasa Indonesia.
Eh, bisa Bahasa Indonesia dia? Benar-benar orang Indonesia?
“Ya. ”
“Anda heran ya, saya bisa bicara Bahasa Indonesia?”
“Ya.”
“Saya lahir di Indonesia.”
Heran, ada gadis Indonesia hidup di Guangzhou, mencari nafkah dari melukis?
Gadis pelukis berdiri, mengangsurkan tangan kanannya. Aku menjabatnya. Sedikit tanganku kena bekas cat hitam pewarna lukisannya.
Saat itu kutangkap gerakan tangan kirinya yang sepertinya pasif dan menempel terlalu dekat pada tubuhnya. Sedetik setelahnya kusadari tangan kiri gadis pelukis itu hanya sampai siku. Cepat-cepat kualihkan pandangan mataku. Tapi gadis pelukis telah paham bahwa aku telah tahu tangan kirinya buntung.
Aku kikuk. Gadis pelukis tenang saja. Dia kembali duduk.
Nada-nada bertanya terus meramaikan hati dan pikiranku. Tentang tangan kiri yang lemah, yang ternyata tinggal separuh ukuran aslinya.
“Maaf saya telah merepotkan. Silakan diteruskan melukis.”
Nada-nada bertanya menahanku untuk tidak beranjak dari dekat Ms Chou. Pemandu wisata telah meninggalkan kami. Entah sejak kapan. Barangkali sejak dia sadar aku tak perlu penterjemah untuk bicara dengan Ms Chou-nya.
Gadis pelukis tidak bicara lagi. Terus saja melukis.
Beberapa saat, barangkali dalam belasan menit, aku berdiri diam disitu. Aku yakin sudah pernah melihat wajah gadis pelukis atau Ms Chou ini.
Tangan kiri yang kurang lebih sama lemah dan tak berdayanya sudah pernah kulihat. Apakah di negeriku sendiri? Atau bukan? Begitu banyak tempat telah kudatangi. Bisa jadi dia salah satu dari banyak pengemis bertangan buntung yang aku temui waktu menyeberang jalan, entah di kota metropolitan mana di Asia ini..…
Dalam usiaku yang tidak sedikit, yang sebagian besarnya kuhabiskan dengan urusan kerja dan kantor, banyak hal tidak mampu lagi kuingat dengan baik. Apakah karena dulu aku pernah melihatnya dalam keadaan bertangan utuh sehingga sekarang aku tidak mengenalinya? Rasanya tidak. Tangan tidak sekuat wajah dalam memberikan kesan ciri khusus seseorang.
Apakah kutanyakan saja nama lengkapnya?
Tahu-tahu Ms Chou berdiri. Puas memandangi lukisannya yang baru selesai. Kepalanya sedikit digerakkan ke kiri, sejenak ke kanan. Mencoba menilai hasil karyanya sendiri dari beberapa sudut.
“Ah, anda masih disini.” Dia kaget.
Rupanya dia terlalu asyik melukis. Tidak sadar aku masih berdiri didekatnya.
“Sudah selesai.” Dia tersenyum. Sekali lagi menatap lukisannya.


(Besok, semoga tidak ada halangan, akan terbit Bagian 3 - terakhir)

1 comment:

Anonymous said...

sayangnya ga ada photo digadis pelukis yang disertakan padahal fokusnya sama dia....

Post a Comment