Friday, June 12, 2009

Anak Tangsi (Bagian 3)


Rumah Keluarga

Hanyalah rumah Bude yang masih cukup menghiburku dalam masa liburan itu. Rumah itu, lebih tepatnya tanah dimana rumah itu berdiri adalah milik keluarga lima generasi. Sekarang hanya Bude, dan ibunya, jadi Nenekku yang mendiaminya. Tinggal mereka berdua saja keluarga kami di Nongko.


Rumahnya berdindingkan bambu anyaman dan berlantaikan tanah. Pada siang hari yang panas, pori-pori dinding bambu memberi keleluasaan pada angin untuk berhembus leluasa ke bagian yang manapun didalam rumah.
Waktu aku disana, cuaca sedang panas. Tanah lantai rumah kering sekali dan debu terbentuk dipermukaannya. Jika angin berhembus kuat, debu beterbangan, terangkat sedikit diatas permukaan lantai tanah.
Kuperhatikan Bude menyapu rumah bukan dengan sapu ijuk, tetapi dengan sapu lidi. Debu yang tersapu kemudian digiring ke sudut rumah. Jadi di pojok-pojok ada kumpulan debu.
Bagiku, debu adalah kotoran. Kotoran harus dibuang. Tapi aku dilarang membuang debu keluar rumah. Bude malah menyuruhku menyiram tumpukan debu dengan air. “Dengan begitu, debu tidak beterbangan mengganggu kita,” kata Bude.
Semakin siang, hari semakin panas. Lantai rumah juga semakin terasa panas dan kering. Bude membolehkan aku menyirami seluruh bagian lantai. Tidak sungguh-sungguh menyiram, tapi mencipratinya dengan sedikit air untuk sekedar melembabkan tanah.
Lucunya! Lantai tidak dipel, tapi disiram.
Untuk keperluan itu aku boleh mengambil air sendiri dari sumur. Aku menimba. Lucu lagi. Saat ember kutarik dari dalam sumur, isinya bukan hanya air. Seekor ikan lele putih ikut didalam ember.
Aku terkejut. Kukira itu lele jadi-jadian sebab aku belum pernah melihat ikan lele berwarna putih.
Bude bilang, “itu lele sungguhan. Gunanya untuk membantu memakan lumut yang tumbuh di dinding sumur. Kalau tidak begitu, lumut tumbuh subur, akarnya masuk kedalam dinding sumur, merusak dinding itu dan menciptakan reruntuhan tanah yang akan mengotori air sumur.”
Lalu aku tidak heran lagi. Sejak datang, telah terasa olehku air tidak terlalu jernih. Warnanya sedikit kekuningan. Dan tentu saja berbau sedikit anyir juga. Rupanya karena lele.
“Jadi harus kukembalikan lele ini kedalam sumur?” tanyaku pada Bude.
“Ya.”
“Tidak bisa kita goreng dan makan saja?” Kulihat ikan itu sudah sebesar lele yang ibuku biasa beli untuk lauk makan kami sekeluarga. Jauh lebih baik dari pada makan teri goreng dari kali.
“Tidak bisa. Lele penjaga tidak boleh dimakan.”
“Sampai mati dibiarkan saja dalam sumur?”
“Ya.”
“Sumur ada bangkainya nanti.”
“Kalau ikan itu mati, dia akan mengapung. Kita bisa lihat dan nanti dengan mudahnya kita bisa ambil dan menguburnya.”
“Dikubur? Tidak digoreng saja?”
“Makanan melulu isi pikiranmu.”
Aku tidak peduli diomeli. “Sudah banyak lele mati di sumur ini?”
“Belum pernah ada yang mati.”
“Sejak dulu belum pernah lele kedapatan mati di sumur kita?”
“Mereka sakti. Seperti begitulah riwayat lele-lele penjaga sumur. Barangkali karena tugas mulia mereka menjaga air kehidupan bagi seisi rumah, maka mereka diberi umur panjang.”
“Oh!”
Sebagai anak kecil usia tujuh tahun, aku percaya cerita Bude. Bahkan cerita itu menyihirku. Aku punya pengetahuan baru. Kalau ingin punya ikan lele berumur panjang, pelihara sajalah mereka didalam sumur.
“Bagaimana kalau ikan lain yang kita taruh di sumur? Gurame? Boleh”
“Tidak bisa.”
“Kenapa tidak? Aku suka gurame goreng,”
“Makanan lagi. Lagi-lagi makanan. Ingat, ikan penjaga sumur tidak boleh dipancing atau diambil untuk dimakan. Tugas mereka suci.”
Ah ya, ya,… Tugas suci!
Malam hari di rumah Bude tidak sebegitu menggembirakan seperti waktu siang. Aku malah bisa dibilang dihantui rasa takut. Sebuah perasaan bahwa dinding anyaman bambu tidak akan mampu menahan berbagai kekuatan jahat dari luar rumah tiba-tiba muncul begitu saja. Ini tak pernah kuperhitungkan sebelumnya.
Rumah orang tuaku di Jakarta, yang dindingnya tembok saja pernah berhasil dijebol maling. Maling memecahkan kaca jendela, membuka kait pengunci jendela dari dalam. Walau tangan mereka berdarah-darah terkena tajam tepi kaca yang sudah pecah dan darah keringnya tertinggal membekas di dinding rumah yang kebetulan bercat putih, toh berhasil mereka mengambil beberapa benda milik ayah.
Tak melihat maling-maling itu beraksi saja aku sudah ketakutan, bagaimana kalau rumah Bude ini betul-betul dimalingi dan aku melihat aksi mereka?
Kecemasan makin hebat melandaku saat matahari telah sepenuhnya tak terlihat. Tadi, menjelang gelap aku sudah diberi makan malam oleh Bude. Selepas maghrib, aku disuruhnya segera masuk tempat tidur. Bukan tempat tidur sungguhan tetapi sebuah amben, walau juga berkasur tetapi tetaplah saja hanya sebuah kasur yang digeletakkan begitu saja. Yang ukurannya tidak disesuaikan dengan ukuran amben. Begitulah standar tempat tidur di desa.
Juga standar waktu tidur di malam hari. Ketika matahari memejamkan mata, pun para manusianya. Pada masa itu televisi belum dimiliki oleh setiap rumah desa. Gelapnya hari menjadi pertanda bahwa satu-satunya aktivitas yang boleh dilakukan hanyalah tidur.
Aku terjaga saja. Didalam bilik itu, dimana amben tempat aku tidur berada, Bude merantaikan sepedanya ke kaki amben. Ujung-ujung rantainya dipersatukan dengan gembok berkunci. Kuncinya diletakkan dibawah bantal yang digunakan Bude. Bude mengatakan itu adalah tindakan perlindungan terhadap maling.
Maling-maling di Nongko sangat lihai. Sejuta cara mereka punya untuk mencuri sepeda penduduk. Jika sepeda diikatkan pada tempat tidur, setidaknya itu akan mempersulit si maling sebab tak mungkin pemilik rumah tidak bangun jika ada seseorang mengerjai tempat tidurnya.
Aku membayangkan, maling sepeda akan nekad mencuri selagi aku tidur. Dan supaya tidak ketahuan lalu ditangkap dan digebuki orang desa, barangkali saja mereka akan membunuhku lebih dulu sebelum membawa kabur sepeda.
Lelah aku dengan ketakutanku sendiri. Ketika akhirnya aku hampir bisa jatuh tertidur, tak sengaja tanganku menyentuh anyaman bambu. Kukira aku telah menyentuh dinding bilik. Tapi sesaat kemudian kurasa itu adalah tepi anyaman bambu, bukan permukaannya.
Aku bangun lagi. Terduduk. Masih dalam dudukku diatas amben, aku meraba-raba lebih jauh apa yang kusentuh tadi. Tetap dalam kecemasan. Dalam penerangan terbatas dari sebuah lampu teplok, kulihat selembar besar gedhek (lembaran anyaman bambu). Ia diselipkan antara amben dan dinding rumah. Kupegang-pegangi gedhek itu.
“Kenapa harus ada disini?” tanyaku kepada Bude yang telah berbaring disebelahku.
“Apa?” Bude bertanya walau sudah setengah tidur.
“Ada gedhek ditempel ke dinding.”
“Oh… Dinding luar disitu bolong. Yang kau pegang itu untuk menutup lubangnya. Makanya aku menyelipkannya disitu.”
Hah, jadi dinding dibagian itu berlubang? Membengkaklah ketakutanku seketika.
“Besarkah lubangnya?”
“Ya” jawab Bude tetap dalam setengah tidur.
“Aku ingin melihatnya.”
“Untuk apa?” Bude terkaget-kaget dan kedengaran kesal.
“Aku mau memastikan, lubang itu cukup tertutup dan tak akan ada maling sepeda berusaha masuk dari situ.”
“Memang tertutup. Dan tidak akan ada maling bisa masuk dari situ. Gedheknya kan lebih besar dari lubangnya.”
Jadi ternyata aku nyaris tidur diudara terbuka?
“Kenapa tidak diganti saja seluruh dinding bagian sini?”
“Uangnya belum cukup. Sudahlah, tidurlah sekarang.”
Bude tak lama jatuh tertidur selesai mengucapkan kalimat itu. Tapi aku belum juga. Malah rasanya mataku ini makin lebar terbuka.
Tiba-tiba sebuah sepeda motor kudengar lewat. Suara mesinnya keras sekali. Aku menggoyang-goyang lengan Bude.
“Apa lagi?” hardik Bude.
“Siapa itu naik sepeda motor malam-malam begini?”
“Entah. Pasti penduduk sini juga yang baru pulang kerja atau jualan di kota.”
“Bukan maling?”
“Bodohnya anak ini. Masak maling datang mencuri dengan sepeda motor bersuara ribut begitu. Ini kan masih sore. Belum jam delapan.”
Aku diam. Beberapa menit kemudian kubangunkan lagi Bude.
“Aku tidak bisa tidur.”
“Cobalah.”
“Aku rasa aku sudah pipis.”
“Kenapa sih kau ketakutan sekali seperti ini?”
Aku diam saja habis aku memang ketakutan. Aku biasa tidur dalam kamar berdinding batu bata rapat, sekarang terbaring dalam kamar berdinding bambu. Dinding bambu ini dengan mudah akan koyak oleh golok para maling. Golok, maling, rampok, terus memenuhi pikiranku.
Bude mengambilkan celana dalamku yang bersih dan kering.
“Aku harus cebok.”
“Ayo.”
“Aku takut keluar rumah.”
Kupikir Bude akan membawaku ke sumur tempat aku mandi pagi dan sore tadi.
“Kau akan cebok di dapur.”
“Di dapur?”
“Iya. Ada air dalam gentong besar disitu. Memang untuk digunakan untuk keperluan dimalam hari. Jadi tidak perlu keluar rumah.”
Aku tidak tahu itu. Pokoknya jadilah aku cebok dan sedikit lagi pipis dilantai tanah disudut dapur.
Selesai dengan itu semua, aku kembali ke bilik. Tapi rupanya salah arah. Aku memasuki ruang yang berbeda dan terasa sempit sekali.
“Kau masuk lumbung, bukan kamar.” Bude tertawa.
Oh lumbung. Aku belum melihatnya siang tadi.
“Tidak usah lihat-lihat disitu sekarang. Besok saja, waktu siang.”
Bude membaca pikiranku.
Tak lama, diatas amben, barangkali karena lega telah berhasil buang air kecil, aku kemudian dapat tertidur.
Esok paginya, waktu bangun, aku memerika lumbung.
Empat dinding lumbung semuanya ada didalam rumah. Tidak ada bagian dinding lumbung yang merupakan bagian dari dinding luar rumah.
“Kenapa dibuat seperti ini?” tanyaku pada Bude.
“Demi keamanan juga. Maling padi tidak bisa menjebolnya. Kalau mereka mau nekad menjebol dinding lumbung, mereka harus masuk dulu kedalam rumah yang akan dimalingi. Atau mereka harus terjun dari genteng atap rumah. Kau tahu itu tidak gampang.”
“Semua rumah disini membangun lumbungnya begini?”
“Ya.”
Wah, semalam sepeda diikat dengan rantai ke kamar tidur. Sekarang, lumbung ada didalam rumah! Benar-benar ganas maling-maling di kampung ini.
“Ayo ikut aku ke rumah sebelah. Kemarin mereka membuat jajanan pasar buat sarapan, kita diundang mencicipi. Kamu akan menyukainya.”
“Baiklah.”
Aku pun berlari kecil mengiringi Bude ke rumah sebelah timur.
Betapa terkejutnya aku begitu mengetuk pintu rumah disambut embik kambing dari bagian dalam rumah.
“Itu tadi bunyi kambing sungguhan? Didalam rumah?”
“Pemiliknya belum sempat mengeluarkannya rupanya. Tiap-tiap malam kambing diinapkan didalam rumah.”
“Kalau dia buang air besar dimalam hari?”
“Tentu saja dan itu tidak apa-apa.”
“Kan bau?”
“Memang, tapi daripada dimalingi?”
“Aku tak mau makan kalau didalam rumah ada kambing. Kita bawa saja jajanannya pulang dan makan dirumah sendiri.”
“Tidak sopan. Mereka mengundang kita. Bukan menyuruh kita membeli. Usahakan tahan terhadap bau kambing, jangan sampai muntah. Kadang-kadang tidak terlalu bau kok.”
Mana bisa sih kotoran kambing tidak terlalu bau. Tidak terlalu bau menurut definisi Bude, pasti bau sekali menurut hidungku.
Lalu masuklah Bude dan aku ke rumah. Aduh, benar kan bau tahi kambing menyebar dalam ruangan itu.
Teh manis yang sebetulnya selalu sangat kusukai terasa seperti tercampur kencing kambing.
Bude berbisik, “Ssttt… untunglah itu hanya kambing saja. Aku tadi lupa menyuruhmu mengganti baju merahmu itu. Untung keluarga ini tidak punya kerbau. Rumah yang lebih di timur itu, punya kerbau dan kambing. Keduanya masuk rumah dimalam hari. Besok-besok, kalau kita kesana dan aku lupa, kau sendiri harus ingat tidak boleh pakai baju warna merah. Kau tahu kenapa?”
Aku mengangguk. Mengerti, tak mau diburu kerbau yang bisa “panas” kalau lihat warna merah menyala.
Walau ada ternak dalam rumah, kuakui rumah tetangga itu sama bersihnya dengan rumah Bude. Dan kambing telah mendapat kavling sendiri yang berpintu tertutup juga. Jadi dia tidak bisa seenaknya berkeliaran ke setiap bagian rumah. Lantai kandang telah dilapisi jerami dan rumput kering. Sepertinya gunanya adalah untuk menahan kencing dan kotoran kambing agar aromanya tidak langsung diserap oleh lantai dan tinggal permanen disitu.
Lantai rumah yang dari tanah juga malah kulihat jauh lebih bersih dari rumah Bude. Debu tidak ada. Barangkali mereka menyiramnya jauh lebih rajin dari pada Bude.
Kami pun mulai menikmati hidangan sarapan. Ada ketan uli disajikan dengan sambal kelapa pedas yang disangrai hingga kering. Aku, meskipun baru tujuh tahun, sudah sangat menyukai rasa pedas.
Aaakkkkhhhhhhhhhh…..
Tiba-tiba sebuah suara lenguhan panjang kudengar. Aku tidak yakin itu tadi suara manusia.
Tapi Bude dan Embah pemilik rumah seolah tidak mendengarnya.
Sekali lagi ‘aaaaaakkkkkkhhhhhhh…” terdengar.
Aku mulai merinding. Mestinya itu bukan suara binatang. Tapi terlalu menyeramkan kalau dibilang suara manusia. Atau, suara jadi-jadian?
“Apa itu yang barusan berbunyi?” kuberanikan bertanya. Agak berbisik tapi keras juga sebab tak kutujukan hanya pada Bude.
Mbah pemilik rumah yang tidak bisa berbahasa Indonesia senyum-senyum memandang Bude. Bude berbicara singkat kepadanya. Sepertinya menterjemahkan pertanyaanku.
“Karto.” Tiba-tiba Mbah itu mengatakan sepatah kata itu. Aku mengerti. Itu nama orang.
”Siapa dia?”
“Putranya Mbah ini yang bungsu.” Bude menerangkan.
Sebuah “aaaaakkkkkkhhhhhhhhhhhh…” terdengar lagi.
“Karto tidak bisa bicara?” tanyaku.
“Tidak. Dia sakit.”
“Aku ingin menjenguknya.”
“Tidak perlu.” Bude menukas cepat.
“Kenapa? Disekolah aku suka menjenguk teman-teman yang sakit bersama teman-teman sekelasku.”
“Karto dipasung. Kalau dia mengamuk, kadang dia bisa membuka sendiri pasungnya. Nanti kamu kena amuk olehnya.” Mbah yang tampaknya mengikuti percakapanku dengan Bude tiba-tiba berbicara agak panjang lebar.
Aku tidak paham. Selain karena tidak terlalu jelas sebab ada sirih dalam mulutnya, juga karena lagi-lagi ia berbicara tentu saja dalam Bahasa Jawa.
Bude kemudian memperjelasnya dalam Bahasa Indonesia untukku.
“Kok sampai dipasung segala?”
“Penyakitnya berbahaya.”
“Gila?” tegasku.
“Ssttt… ya kurang lebih begitu.”
“Kalau begitu aku tidak jadi lihat. Aku takut.”
Bude dan Mbah selanjutnya banyak bicara dalam Bahasa Jawa. Sesekali mereka menyebut nama orang tuaku. Sepertinya Bude sedang menerangkan garis keluarga kami.
“Sudah selesai sarapanmu?” Bude memperhatikan cawan kecil ditanganku. Telah kosong.
“Sudah. Aku mau pulang dan mandi.”
Setelah mengucapkan terima kasih pada Embah pemilik rumah, aku dan Bude kembali ke rumah.
Embah disitu berpesan, “besok kembali lagi kesini. Nanti Mbah buatkan sarapan yang berbeda.”
Pffff……… kembali kesana? Makanannya sih memang enak, tapi untuk bertemu dengan kambing dan Karto yang gila itu?
Leganya kembali ke rumah tanpa gangguan aroma kambing.
Dalam perjalanan kembali kerumah kuperhatikan rumah Bude dari sedikit kejauhan. Rumah desa yang menyenangkan. Tegak diantara beberapa batang pohon kelapa yang mengelilinginya. Siang nanti, aku telah dijanjikan akan dipetikkan kelapa muda.

Sunday, May 31, 2009

Anak Tangsi (Bagian 2)



Dusun Asalku


Kehidupan bermula dari dusun. Sebagian dusun terus diramaikan oleh manusia yang terus berkembang biak dengan cepat. Ia kemudian boleh disebut kota. Begitulah cara banyak kota di garis pesisir pantai terjelma. Namun dusunku tak pernah menjadi kota.

Dusun kecil dan berpenduduk miskin itu adalah tempat asalku. Adanya di pesisir selatan Jawa Tengah. Dari Gombong menuju timur, dusun itu adanya disebelah kiri jalan. Desa disebelah kanan jalan, seberang dusun, yang hampir semuanya berupa persawahan, sudah bukan bagian dari kampungku.
Tak pernah ada terpasang tanda atau setidaknya papan petunjuk nama desa. Hanya penduduk sudah selalu menyebut desa mereka: Nongko.
Di banyak desa lain, kalau petunjuk nama desa tidak ada maka ada papan nama pasar lokal tradisional disitu. Tetapi tidak di Nongko.
Nongko tidak memiliki pasar tradisional. Untuk memperoleh keperluan sehari-hari, ibu-ibu di Nongko menanti tukang sayur keliling yang lalu dimuka rumah mereka atau pergi ke warung. Atau, kalau sedang punya uang cukup banyak, mereka ke pasar di kota terdekat. Ke pasar, kurang disukai oleh ibu-ibu Nongko. Pasar dengan segala tampilan dagangannya terlalu berdaya tarik kuat. Seringkali uang jadi jauh lebih banyak keluar dari yang telah direncanakan semula.
Lalu bagaimana dengan terminal bus dan stasiun kereta api? Nongko jauh dari harapan untuk dibangunkan sebuah stasiun atau terminal bus. Dengan penduduk yang barangkali tidak mencapai tiga ratus orang, tak ada gunanya melengkapi Nongko dengan fasilitas layanan umum itu.
Hanya ada dua alasan bagi Nongko untuk dikenal diluar Nongko. Pertama, ada orang kelahiran Nongko yang merantau keluar Nongko dengan begitu ia dapat bercerita tentang dusunnya kepada teman seperantauan. Kedua, punya sanak keluarga yang kawin dengan orang Nongko.
Tak ada alasan komersial sama sekali!
Kenek bis atau angkutan umum lainnya bahkan tidak pernah berusaha membantu Nongko menjadi lebih dikenal. Mereka tidak pernah meneriakkan: “Nongko, Nongko, persiapan turun, persiapan turun…!” buat mengingatkan penumpangnya yang ingin turun di dusun Nongko. Sebagai gantinya mereka menyerukan: “Ndalem Kromo, Ndalem Kromo, persiapan turun….…”
Kenapa “Ndalem Kromo”? Nanti akan kuceritakan.
Nongko berarti nangka dalam Bahasa Indonesia. Ya buah nangka, pohon nangka! Lidah-lidah Jawa yang terbiasa melafalkan “o” bagi huruf “a” lah yang mengubah Nangka menjadi Nongko.
Di Nongko, pohon nangka tumbuh liar begitu saja. Tetapi tidak ada seorang pun hari ini yang tahu bahwa dusun itu dinamakan begitu karena si pohon-pohon itu.
Pohon-pohon nangka di Nongko subur. Mereka bisa tumbuh di tepi jalan, di halaman rumah orang, atau dimana saja diseluas dusunku itu.
Sesungguhnya menyenangkan melihat pohon nangka di Nongko. Pokok kayunya besar-besar. Kulit kayunya kuning kecoklatan mulus. Daun-daunnya lebat, hijau mengkilap tanpa cacat bekas gigitan ulat.
Pokok batang nangka kuat dan bagus untuk dijadikan bahan perabotan rumah tangga. Tapi nampaknya orang Nongko tidak tahu itu. Kalau tahu, tentu di Nongko sudah hidup industri rumahan dengan kayu nangka sebagai bahan baku utama.
Lalu juga daun-daun nangka yang hijau royo-royo dan disukai ternak itu ya hanya menjadi penghijau pemandangan dusun. Orang Nongko jarang yang memiliki ternak dan orang luar Nongko tidak akan datang ke Nongko khusus untuk membeli daun nangka untuk dijadikan pakan ternak mereka.
Fakta terakhir tentang pohon-pohon nangka yang subur itu: mereka tidak bisa menghasilkan buah nangka yang baik!
Setiap saat tanpa dibatasi musim, setiap pohon selalu menghasilkan buah muda, cikal bakal nangka. Bukannya buah-buah muda itu membesar kemudian menjadi buah nangka yang manis legit, tapi setelah mencapai ukuran tertentu, buah-buah bayi itu jadi magel, mengeras, menghitam dan kemudian busuk tanpa pernah menjadi matang. Untuk diambil sebagai gori (buah nangka muda untuk sayur lodeh atau gudeg) pun tidak bisa.
Perempuan-perempuan dusun Nongko dari masa kemasa mengeluhkan kualitas buah nangka yang tumbuh di tanah desa mereka. Mereka tak dapat memahami bagaimana pohon buah yang terlihat begitu elok tak dapat menghasilkan buah yang bagus. Mereka menggerutu tiap kali ingin membuat masakan dari buah nangka muda, harus membelinya.
Mitos yang diedarkan dari mulut ke mulut oleh perempuan-perempuan Nongko tentang pohon nangka yang mandul itu adalah: suatu kali, istri seorang kyai sedang hamil. Dalam kehamilannya ia sangat ingin makan buah nangka. Namun waktu itu bukan musim nangka berbuah. Sang kyai bersemedi siang dan malam, memohon kemurahan Sang Kuasa agar kiranya memberikan salah sebuah pohon nangka di pekarangannya buah yang matang.
Entah apakah doanya sungguh terkabul atau hanya halusinasi si kyai, ia mendapati salah satu pohon nangkanya berbuah satu saja, besar dan telah masak. Anehnya penglihatan sang kyai itu terjadi pada malam hari.
Sang kyai bersyukur atas terkabulnya keinginannya, lalu bersiap-siap menebas buah nangka dari pohonnya.
Selagi kyai pergi mengambil parang, sekawanan kelelawar raksasa menghampiri pohon nangka dan menggerogoti satu-satunya buah yang telah masak itu.
Ketika kyai kembali dengan parang telah terasah tajam, buah nangka telah koyak sisa dimakan kelelawar.
Kyai menjadi murka dan mengutuki semua kelelawar itu serta memohonkan kehendak Yang Kuasa lagi agar dimandulkan saja semua pohon nangka didusunnya. Kyai tidak rela, nanti kelelawar lagi yang menikmati buah-buah nangka yang telah masak.
Begitulah menurut perempuan-perempuan Nongko asal mula kemandulan pohon nangka di dusun mereka.
Mereka menolak alasan yang lebih rasional semisal bahwa tanah Nongko memang tidak sesuai ditanami pohon nangka. Mereka berkeras tanah desa mereka cukup subur. Mereka selalu menggunakan rumput liar yang selalu hijau bahkan di musim kemarau sebagai perbandingan. Rerumputan yang tumbuh sepanjang jalan desa tidak pernah sampai demikian kekeringan atau menguning warnanya akibat kurang air. Di musim kemarau sekalipun, rerumputan liar itu masih cukup hijau untuk menimbulkan nafsu makan pada ternak.
Juga lumut. Pada kiri kanan jalan utama desa, lumut hidup subur sekalipun sedang kemarau. Sepenggal jalan utama itu sebetulnya jauh dari gambaran jalan umum yang cukup berkualitas pada umumnya. Awalnya jalan itu ada karena hasil sedekahan penduduk yang rela sebagian pekarangannya dibuka menjadi jalan. Di jalan itulah lumut berserakan.
Jalannya sendiri berupa tanah saja dengan batu-batu menonjol disana-sini. Suatu kali dulu sepertinya sudah akan diaspal tapi terhenti. Batu untuk lapisan pengeras jalan sudah terlanjur ditebar. Karena lapisan aspal tidak juga datang untuk menutupnya, batu keburu hancur sendiri oleh kikisan air hujan dan waktu. Sekarang sebagian besar permukaan jalan telah kembali berupa tanah dengan beberapa batu besar masih berserakan disana-sini. Pada batu-batu itulah lumut tumbuh. Padahal lumut hanya semakin melicinkan batu. Roda sepeda motor dan sepeda ontel penduduk sering tergelincir pada batu berlumut.
Begitulah Nongko. Segala yang melimpah disitu tak memberi kehidupan lebih baik pada orang Nongko.
Aku sendiri tak pernah hidup di Nongko. Seperti sudah kukatakan, aku lahir disebuah tangsi di Jakarta.
Tetapi moyangku, lima generasi diatasku dari garis keluarga ibu, lahir dan sampai matinya di Nongko. Semua yang aku tahu tentang Nongko adalah dari keluarga yang lebih tua. Yang menceritakannya secara lisan kepadaku.
Ketika aku kecil, barangkali umur tujuh, seorang Bude, kakak ibuku membawaku ke Nongko pada suatu liburan sekolah. Itu merupakan liburan pertamaku jauh dari rumah orang tuaku.
Sebelum pergi berlibur, aku telah memiliki bayangan akan sebuah desa yang indah yang umumnya dalam buku pelajaran pada zamanku digambarkan letaknya di lereng sebuah gunung. Kurang lebih gambaran yang kumiliki adalah sebagai berikut: sekumpulan rumah penduduk dimana tiap rumah memiliki sepeda sebagai kendaraan utama, ada ternak atau unggas peliharaan, ada sungai yang airnya mengalir lancar dan warnanya jernih. Akan lebih bagus kalau sungai itu mengalir di kaki bukit. Jika sungguh demikian, aku akan lelah berlari mendaki dan menuruni bukit. Di sungai itu, mestilah aku juga harus bisa menangkap ikan.
Itu sebabnya ketika Bude datang menjemputku, aku berangkat ke Nongko dengan antusiasme sangat tinggi.
Kami, aku dan Bude, naik kereta api sore. Aku sudah lupa kereta itu apa namanya. Pada masa itu, semua kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur diberangkatkan dari Stasiun Gambir.
Stasiun Gambir, keadaannya waktu itu kotor dan betul-betul merupakan cerminan wajah sebuah stasiun. Lantai tempat penjualan tiket, ruang tunggu dan peron, lantai ubin berwarna gelap. Sangat berminyak. Tentu tak pernah dibersihkan. Tumpahan minyaknya itu barangkali sudah sejak negeriku belum merdeka ada tercecer disitu. Tebal sekali. Walau mengenakan sepatu, aku dapat merasakan aku berjejak diatas lapisan kotoran minyak, tidak langsung diatas lantai.
Seingatku kereta diberangkatkan sekitar setengah lima sore. Aku belum pernah berada dalam kendaraan umum bersama orang-orang yang bukan keluargaku sebanyak itu, dalam sebuah gerbong kereta api. Sebentar, jika malam datang, aku dan mereka semua akan tertidur bersama dibawah satu atap kereta ini. Agak aneh!
Pengalaman pertama dengan kereta memberiku pengertian bahwa begitulah kehidupan orang dewasa rupanya. Akan banyak berada bersama-sama dengan orang-orang yang tidak dikenal.
Teringat akan kemungkinan dijahili, diisengi atau bahkan kejahatan lainnya, aku mulai cemas. Apakah sebaiknya aku percaya saja pada orang-orang dalam kereta ini? Kulihat ada keluarga-keluarga bepergian bersama, yang sendiri juga ada. Anak-anak juga cukup banyak.
Bude kelihatan tenang-tenang saja. Jadi mestinya cukup aman, pikirku.
Kereta terus berjalan kearah timur. Ketika mestinya sudah diluar Jakarta, mulai banyak kulihat daerah persawahan, empang dan perkampungan penduduk.
Hari masih sedikit diterangi matahari. Disebuah tempat kulihat seperti kolam yang didalamnya puluhan burung menyerupai bangau sedang mematuk-matuk di air. Barangkali mencari makan. Ditempat lain, petani beriringan meninggalkan sawah.
Beberapa menit sebelum matahari benar-benar menghilang, kereta melewati pekuburan. Juga beberapa waktu setelah itu masih melewati beberapa pekuburan lain.
“Aku akan menghitung berapa pekuburan umum yang akan kita lewati” kataku pada Bude.
“Untuk apa? Sepanjang jalur rel ini ada banyak sekali. Lagipula sebentar lagi malam, kamu tidak akan bisa melihat apapun dluar sana lagi.”
Benar. Tak lama bumi menjadi gelap gulita. Aku tinggal melihat lampu rumah penduduk seperti terkejar oleh kereta dan kemudian tertinggal jauh dibelakang.
Aku terus terjaga barangkali sampai beberapa jam setelah malam turun. Masih sempat kulihat beberapa kali pengendara mobil dan sepeda motor berhenti di persimpangan dengan jalur kereta saat kereta lewat. Persimpangan itu dipalangi bambu atau ada juga yang dari besi. Senangnya, aku menang! Orang-orang lain harus mengalah untuk memberi keretaku lewat.
Sebelum akhirnya tertidur, puluhan pertanyaan sempat kuajukan pada Bude tentang kampungnya yang akan kulihat sendiri dalam beberapa jam.
“Bude memelihara ternak?”
“Ya, ada beberapa ekor ayam dan bebek.”
“Punya sepeda?”
“Punya.”
“Disana ada sungai?”
“Ada kali (sungai) kecil.”
“Ada ikan disitu?”
“Ada.”
Cukup. Tampaknya tempat itu sudah mirip benar dengan desa ideal-ku.
Begitu tiba, rumah Bude kukelilingi tapi tak kutemukan perwujudan dari lukisan desa dalam anganku. Tidak di Nongko sebab ia ternyata sebuah dusun yang terletak diatas tanah yang rata, datar saja. Bukit tak dimilikinya. Juga sungai. Yang Bude katakan sebagai kali adalah sebuah parit buatan yang mengalir di tepi desa. Memang cukup lebar dan disitu juga ada ikan-ikan kecil karena seseorang mestinya telah menabur benih ikan-ikan itu disitu. Dan ah… ikan-ikan itu tak pernah membesar sehingga ketika Bude menggorengnya, ukuran matang mereka tinggal seukuran ikan-ikan teri saja. Di Jakarta, ibu selalu menghidangkan ikan dalam potongan besar. Bahkan sepotong ikan goreng dari bagian tengah tubuhnya saja jauh lebih besar dari seeekor ikan dari kali di Nongko.
Sudah untung rupanya hanya dapat ikan kecil dan aku tidak ke Nongko saat banjir. Kata Bude, dusun moyangku itu pasti terlanda banjir saat musim hujan. Oleh sebab letaknya yang lebih rendah dari permukaan jalan raya, Nongko selalu kelimpahan air hujan jika turunnya sangat lebat apalagi jika sampai berhari-hari tidak berhenti. Lain dari itu, dusun diseberang jalan raya ternyata memiliki sungai. Cilakanya, dusun itu lebih tinggi dari Nongko. Dalam musim hujan, sungainya luber. Nongko pun kebagian air gratis. Limpahan air sungai yang membludak mengalir ke jalan dan turun ke Nongko.
Liburan di Nongko itu pada akhirnya lebih merupakan suatu pembelajaran tersendiri bagiku. Itulah kali pertama aku berkesempatan membandingkan harapan dan kenyataan, mendidik diriku sendiri untuk lebih rinci mempertanyakan keingintahuanku dan bertahan atau jika mungkin menjadi kreatif ketika harapan tidak terpenuhi. (Bersambung)

Thursday, May 28, 2009

Reportase dari Yogya dan Solo


Saya melewatkan akhir pekan lalu di Yogyakarta dan sekitarnya. Tidak ingin menulis tentang perjalanan tersebut – sebenarnya – tapi toh tulisan ini jadi juga.
Teman-teman terdekat saya di kantor mempunyai kebiasaan baru yaitu “menagih” laporan semacam ini jika saya kembali dari melakukan sebuah perjalanan. Sejak kembali dari Yogya Hari Minggu lalu, saya memang belum menulis sebuah kalimat pun (entah bagaimana mereka bisa menerawang tentang hal ini, hmm...).
Singkat kata, jenang, krasikan dan gethuk yang saya bawakan sebagai oleh-oleh rupanya belum dirasa marem. Sebelum jam kantor berakhir Kamis sore ini, sempat akhirnya beberapa menuturkan juga: “ceritanya dari Yogya dong, dimuat di blog-nya!”

*******

Perjalanan dengan kereta api
Saya termasuk karyawan yang selalu resah ingin mengambil cuti kalau ada harpitnas alias hari kejepit nasional. Kamis lalu adalah hari libur nasional dan Jumat dengan demikian merupakan harpitnas. Jadi cutilah saya Hari Rabu dan Jumat.
Rabu pagi saya berangkat ke Yogya dengan naik kereta api. Perjalanan berangkat ini nyaman. Penumpang tidak terlalu banyak. Keseluruhan rangkaian kereta hanya membawa empat gerbong. Pulangnya Hari Minggu pun saya naik kereta yang sama, berangkat dari Yogya jam sepuluh pagi.
Saya memiliki alasan kenapa pulang dan pergi dengan kereta siang. Sementara ini saya menghindari bepergian jauh dengan pesawat terbang terlebih lagi dimalam hari. Saya masih terpengaruh pengalaman buruk beberapa waktu lalu dimana pesawat yang saya tumpangi “terbanting-banting” oleh badai dan kesemuanya terjadi pada malam hari. Waktu itu saya mengira sudah akhir hidup saya. Tapi ternyata belum. Sejak itulah saya berjanji pada diri sendiri, jika memungkinkan tidak akan naik pesawat – apalagi waktu malam!
Pemikiran ini bodoh sebetulnya. Kalau memang mau dapat celaka, siapalah yang bisa meramalkan dengan tepat? Dimana? Sedang naik apa? Siang atau malam?
Tapi itulah saya, banyak hal saya percayai sebagai hal yang tidak perlu saya pahami sebab-sebabnya kenapa itu harus terjadi. Jika merasa sejahtera, lakukan saja.
Sedikit 'kelucuan' terjadi dalam perjalanan berangkat. Saya belum sarapan dan ditawari nasi goreng oleh petugas restorasi kereta. Langsung saya terima. Seingat saya, penumpang mendapat jatah satu kali makan dalam perjalanan. Sambil makan, saya memuji-muji masakan kereta api yang menurut lidah saya cukup mengalami kemajuan dalam hal rasa. Singkatnya, bumbu nasi goreng cukup enak.
Hanya saja, kira-kira sejam kemudian, saya terkejut karena ditagih pembayaran nasi goreng tadi, aw!
Ternyata tidak gratis. Gratisnya adalah makan siang dan makan siang tidak seenak nasi goreng yang sudah saya makan!
Satu hal lagi tapi bukan kelucuan melainkan berita sebuah tragedi. Ditengah perjalanan dengan kereta itu saya menerima sms dari adik saya yang mengabarkan bahwa tetangga sebelah rumah kami persis, ada dalam pesawat Hercules AURI yang gagal mendarat sempurna, jatuh hingga lempengan badan pesawatnya hancur berkeping-keping serta akhirnya terbakar pagi itu di Magetan.
Sorenya, setiba di Yogya saya menelpon ibu saya dan mendapat kepastian bahwa tetangga kami itu masih hidup namun dengan cedera berat pada jaringan tulang belakang dan fungsi otaknya. Sampai saya mengetik tulisan ini, dia belum sadarkan diri.
Seketika saya mengutuki AURI yang masih mengijinkan “Eyang Hercules” terbang!

Jalan Malioboro
Saya rasa saya tidak akan pernah mengeluh tentang situasi Jalan Malioboro yang memang padat penjual tapi belum tentu padat pengunjung. Terakhir barangkali enam tahun lalu saya kesana, jalan itu begitu sepi. Saat itu justru saya mbatin, mestinya tidak boleh sepi.
Dan kali ini saya kembali kesana, di Malioboro sedang tumplek manusia seabreg-abreg.
Saya gembira meskipun karena saking ramainya, di sepanjang jalan saya sering merasa tak ada oksigen untuk dihirup. Saya juga sering harus mandeg ditengah kerumunan pejalan kaki, disodok-sodok orang lain dari belakang yang memaksa saya berjalan cepat, bahkan sekali hampir kecopetan di sebuah toko – namun itulah sejatinya Malioboro bagi saya.
Ramai, sodok-sodokan, tawar-tawaran, menjadi sasaran copet, perasaan lucu dan geli yang timbul dari mendengar calon pembeli yang sok ber-Bahasa Jawa: harus mewarnai Malioboro!
Tentang nyaris kecopetan: saya adalah satu-satunya pengunjung di toko itu. Tidak saya sadari, saya rupanya telah diikuti dua lelaki berusia remaja. Setelah berada didalam toko, tiba-tiba tas kain saya yang saya gantungkan di bahu kanan terdorong kuat sekali kearah depan. Terasa seperti didorong oleh seseorang atau sesuatu dengan sengaja dari arah samping kanan belakang saya. Saya tengok dan seorang dari remaja yang kemudian saya perkirakan telah membuntuti saya buru-buru berjalan menghindari saya, menyusul temannya yang sedang memegang-megang beberapa potong pakaian dalam bak barang-barang diskon. Saya hampiri keduanya tanpa saya ajak bicara. Saya perhatikan saja mereka dalam jarak kurang lebih satu meter selama tiga atau empat menit sampai akhirnya mereka saling memberi kode dan kemudian berjalan keluar meninggalkan toko.
Untung bahan tas kain saya sangat kuat. Tidak mempan disilet. Namun saya berkesimpulan, dua remaja pencopet tadi adalah "partner" dua gadis remaja penjaga toko. Mereka mestinya memperhatikan aksi kedua remaja pencopet, tapi toh tidak memperingatkan saya. Entah takut, entah kongkalikong...

Piyik Penolak Bala Copet
Saya menceritakan peristiwa di toko itu kepada teman saya yang mudik ke Yogya bersama saya. Dia membagi pengalaman apa yang pernah dilakukan oleh almarhum ibunya dulu - walau tidak sengaja - namun terbukti manjur. Ibunya dulu pernah berbelanja di pasar dan yang pertama dibeli adalah dua ekor piyik (anak ayam) lalu dimasukkan dalam tas. Suatu saat ditengah-tengah berbelanja, anak ayam pada bercericap-cericip ramai seperti ketakutan.
Ibu teman saya itu heran, kok anak ayam ribut benar. Ketika membuka tas untuk memeriksa, dilihatnya sebuah tangan bergerayangan didalam tasnya. Tangan si copet!
Tentang resiko anak ayam membuang kotoran dalam tas? Silakan anda perhitungkan sendiri, ha ha...

Yudistira – Wayang Kulit
Setelah keliling beberapa toko penjual cendera mata di Jakarta dalam usaha saya ingin memiliki wayang kulit tokoh Yudistira namun gagal, akhirnya saya menemukannya di sebuah toko di sudut Jalan Malioboro. Kalau memang sudah seijin-Nya bahwa saya boleh memiliki sesuatu benda, pasti diberi jalan!
Kenapa saya ngotot mencarinya? Silakan baca di Facebook saya: Magda R Marti.

Perpustakaan Benteng Vrederburg
Ini salah satu target kunjungan saya. Jumat pagi saya kesana dan duduk-duduk membaca selama beberapa menit menjelang pukul sebelas.
Saya tidak tahu bahwa jam buka perpustakaan hanya sampai jam sebelas. Jam sebelas lewat sedikit, saya berulang kali mendengar ibu-ibu petugas perpustakaan saling bertanya apakah sudah mengisi absen. Lalu beberapa juga seliweran disekitar meja dimana saya duduk. Ada yang sambil mengembalikan buku-buku kedalam lemari, ada yang sambil mengingatkan temannya agar sebaiknya wedang tehnya segera dihabiskan dan gelas minumnya ditaruh ditempat cucian dibelakang.
Lama-lama saya rumongso juga. Ketika saya tanyakan sampai jam berapa saya boleh tinggal disitu, mereka menjawab seharusnya sudah tutup sekitar sepuluh menit yang lalu.
Ah halusnya, pengusiran ala Yogya!

Yayasan Umar Kayam
Sorenya saya mengunjungi Yayasan Umar Kayam. Yayasan ini mengelola buku-buku milik almarhum Pak Umar Kayam serta menyelenggarakan berbagai aktivitas lainnya. Selengkapnya bisa dibaca di: http://www.umarkayam.org
Saya sempat berkenalan dan mengobrol dengan direktur Yayasan. Salah satu bahan obrolan kami adalah yang berhubungan dengan pekerjaan saya di bidang human resources. Saya katakan bahwa di daerah dimana saya bekerja sedang terasa sekali dampak akibat krisis ekonomi global. Tiap hari dengar ada orang, teman atau kenalan kena pemutusan hubungan kerja, perusahaan mengencangkan ikat pinggang, aturan-aturan baru sehubungan dengan penghematan sumber daya terutama uang diterapkan.
Selesai dengan cerita saya, saya menanyakan, bagaimana pengaruh krisis tersebut di Yogya. Jawabannya sungguh luar biasa: tidak terasa sama sekali!
Yogya in peace!

Solo
Saya menyempatkan ke Pasar Klewer, Solo dengan naik kereta api Pramex, singkatan dari Prambanan Express. Dengannya, Stasiun Tugu – Solo Balapan bisa dicapai dalam satu jam persis. Tambahan lagi, ongkosnya bikin kesengsem berat. Sudah murah, dilengkapi pendingin udara, bebas resiko macet, tarifnya tujuh ribu rupiah saja!
Bagi saya kereta Pramex ini jauh luar biasa melampaui harapan saya akan transportasi umum yang tanpa resiko macet, bebas ngetem dan bebas menurunkan penumpang disembarang tempat. Saya pernah naik bus ke Solo dari Yogya, dan wah… sudahlah, pokoknya saya tak akan mengulanginya. Biarpun seandainya PT KAI menaikkan tarif Pramex - semoga tidak terlalu gila-gilaan kenaikannya: SEKALI PRAMEX, TETAP PRAMEX!
Saya tiba dimuka Pasar Klewer kira-kira jam sebelas dalam keadaan perut lapar berat. Memang sengaja hanya minum teh manis di penginapan, supaya bisa jajan yang “tidak biasa” di Solo. Turun dari becak saya lihat warung bakmi tek-tek. Harga seporsi mie kuah lima ribu tapi terasa kayak yang harganya lima belas ribu di Jakarta! Mantappp... Belum lagi kuahnya yang hangat plus cabe rawit ceplus, bunyinya mak-plus! Nggak berani niru mak-xxxs yang sudah kondang se-Indonesia itu.
Di Pasar Klewer saya membeli beberapa potong blus batik yang saya rencanakan untuk saya jual kembali di kantor. Dan ternyata memang laku keras. Dagangan “lenyap” dalam waktu kurang dari satu jam! (Ssttt… pembayarannya tidak cash and carry. Saya mengijinkan teman-teman yang membeli untuk membayarnya nanti setelah terima gaji bulan ini. Bukan apa-apa sih. Sampai dengan tanggal dua puluh lima siang itu, saya masih belum menyelesaikan proses penggajian. Lha ngene ini nek bakule the person who is in-charge in payroll! Dodolan ya digawe rumongso, ha ha…)
Dari Pasar Klewer saya ke Pasar Gede, mau cari bedak dingin. Dalam gang-gang didalam pasar, saya berjalan perlahan-lahan sebab menikmati betul suasana pasar tradisional. Ini juga dimungkinkan karena sekitar jam tiga sore waktu saya sampai, pasar sudah sepi pengunjung. Disuatu persimpangan, seorang bakul minta agar saya memberinya kesempatan lewat lebih dulu. Rupanya posisi saya berdiri telah menghalangi dia sehingga tidak bisa membelok kearah kiri kemana dia ingin pergi.
Kata-katanya memohon saya memberi jalan itu lho… ???
Sementara di Jakarta orang hanya akan berkata “misi, misi…” yang sering terdengar “mese, mese…” (maksudnya minta permisi mau lewat), mbakyu bakul ini berpanjang lebar “Den, nyuwun pangapunten Den… Mbok kulo dipun paringi menggok rumiyen.” (Den, mohon maaf Den… Berikan saya jalan agar bisa membelok dulu.)

Jajanan
Dua jajanan yang baru kali ini saya coba adalah: nasi rames didepan Pasar Beringharjo dan Bakso Uleg di daerah Godean. Nasi rames isinya adalah nasi bisa dengan capcay (ala kampung tapi rasa aduhai...), pecel, sate ati ayam, bakwan, mie atau bihun goreng. Sedangkan bakso uleg yang diuleg adalah cabainya pengganti sambel. Isi semangkok bakso adalah cabai uleg tadi, bakso, tahu dan ketupat sebagai pengganti mie atau bihun. Semuanya hmm... fantastis!

Bhatara Guru, Dewi Sri dan Dewi Uma
Buat anda pembaca wanita: pernah tertipu sepertinya ditaksir seorang pria tapi kemudian pria itu menikahi teman baik anda?
Buat anda pembaca pria dan sudah menikah: pernah merasa heran kok anda bukan menikahi wanita yang anda kira anda sukai tetapi sekarang ini anda beristrikan sahabat wanita tersebut?
Ingat saja bahwa kisah-kisah dalam dunia pewayangan adalah gambaran dari berbagai peristiwa nyata yang dialami manusia selama hidupnya di dunia.
Ini salah satu versi kisah cinta Bhatara Guru, Dewi Sri dan Dewi Uma: Suatu ketika Dewi Sri menjelma menjadi tanaman padi dan Dewi Uma menjadi rumput alang-alang. Rumput alang-alang jelas lebih tinggi dari tanaman padi.
Dewi Sri sesungguhnya adalah putri Bhatara Guru. Para dewa di kahyangan khawatir kalau-kalau Bhatara Guru akan jatuh cinta pada putrinya sendiri yang memang kuning dan cantik luar biasa. Karena itu, pada dewa mengirim Dewi Uma dan mengubahnya menjadi alang-alang.
Dalam pandangan Bhatara Guru, padi terhalangi oleh alang-alang dan diambilnyalah Dewi Uma sebagai istri.
Adakah jalan hidup anda mirip Bhatara Guru? Dewi Uma? Atau Dewi Sri? Anda sendiri yang tahu jawabannya.

Segini aja ya ceritanya... Semoga akhir pekan anda menyenangkan...

Tuesday, May 19, 2009

Anak Tangsi (Bagian 1)



Di Tangsi

Barangkali otakku secara diam-diam menderita penyakit tertentu? Barangkali otakku berwarna? Tidak hanya putih bersemburat merah warna pembuluh darah tapi warna-warni lengkap seperti sekotak pewarna yang anak-anak biasa miliki untuk digunakan mewarnai gambar mereka.
Tapi betul bahwa aku mampu mengingat banyak hal dari masa kecilku. Dan kata orang, jika semua yang kita ingat itu bahkan dapat kita ingat warnanya, maka ingatan kita itu pasti benar adanya.
Lukisan masa kecil itu tidak akan dapat kutuangkan diatas kertas karena aku rasa aku tidak berbakat melukis sama sekali. Karena itu aku coba bentuk lain: dengan kata-kata.


*********

Lahir dan besarku di sebuah komplek militer yang letaknya dipojok paling timur kota Jakarta. Disitulah ayah yang tentara, bertugas dan mendapat jatah rumah dinas tak lama setelah sebuah orde pemerintahan yang baru didengung-dengungkan oleh kekuatan pemerintah baru di negeriku.

Rumah dinas jatah ayahku berupa sebuah petak ditengah sebuah barak panjang. Tiap barak minimal terdiri dari empat rumah dan paling panjang sepuluh rumah. Yang kumaksudkan adalah rumah bagi prajurit yang berpangkat rendah seperti ayah. Ada banyak tentara yang rumahnya jauh lebih besar. Masing-masing berdiri sendiri, satu rumah per satu rumah, temboknya tidak lengket kepada tetangga sebelah kiri kanan. Tidak dalam deretan panjang seperti yang kami tempati. Kata ayah, rumah besar-besar itu untuk jendral. Belakangan aku tahu tidak semua mereka jendral tapi tentara golongan perwira.

Walau rumah dinas ayah dibangun kira-kira dua puluh tahun sejak negeriku merdeka, bayang-bayang satu bangsa barat yang dengannya bangsaku sudah hidup bersama selama tiga ratus lima puluh tahun tetap belum sepenuhnya lepas. Dalam hal bentuk atau modelnya, rumah tangsi yang kami diami, menurut salah seorang Kakekku yang mantan KNIL, modelnya serupa benar dengan tangsi Kakek pada masa revolusi.

Banyak yang suka meniru-niru kompeni. Termasuk aku. Sejak mendengar ungkapan Kakek tentang tangsi, aku lebih suka menyebut daerah tempat tinggal kami sebagai tangsi dari pada kompleks. Sesuatu yang lebih kuno, rasanya lebih gaya ketika diucapkan.
Yang ayah dapat letaknya ditengah barak yang terdiri dari empat rumah, ketiga dari ujung kanan. Sama sekali tidak buruk dan tidak kecil.

Rumah itu, ketika aku belum lahir pun telah dialiri listrik. Gratis tapi sering sekali padam pada sore dan malam hari. Atau mungkin sengaja dipadamkan karena gratis? Masa itu tentara tidak membayar biaya pemakaian listrik. Kuperhatikan beberapa kali jika listrik padam, siangnya ayah pasti kembali dari kantor agak terlambat. Lewat dari jam tiga sore. Padahal jam ayah tiba dirumah yang normal adalah pukul dua siang. Barangkali ayah bertugas memadamkan listrik dari sumbernya, pikirku dulu. Ternyata aku tahu kemudian bukan itu sebab keterlambatan ayah pulang. (Nanti akan kuceritakan khusus tentang ini.)

Rumah yang tidak dipinggir barak itu kadang memberiku kesulitan. Kalau ada tamu datang dan ibu sedang tidak memiliki persediaan gula, kopi, teh atau sirup, pasti aku yang disuruh membelinya di warung terdekat. Aku tidak keberatan sama sekali melakukannya tapi aku malu karena waktu kembali ke rumah harus melewati ruang tamu. Dengan begitu aku membiarkan tamu melihat apa yang kubeli.

Walau masih kanak-kanak, aku meyakini ini tidak sopan. Tapi mau bilang apa. Ayah tidak seberuntung oom sebelah yang mendapat rumah diujung barak. Yang punya jalan teritisan samping rumah untuk menuju ke bagian belakang rumah.
Secara keseluruhan, aku bisa menikmati tinggal di tangsi itu. Rumah kami memiliki sedikit halaman di depan dan belakang dimana ayah menanam beberapa pohon buah. Yang depan ditanaminya dengan pohon mangga dan bunga-bungaan. Yang belakang, kedondong dan rambutan.

Karena rumah-rumah di tangsi tidak berpagar, kami anak-anak bisa bermain di halaman rumah tetangga yang manapun dengan leluasa. Bagi kami yang memiliki pohon buah-buahan, tidak adanya batas pagar halaman membuat kami merasa selayaknya saja hasil kebun kami juga untuk dinikmati bersama teman sepermainan.

Namun pohon kedondong dan mangga itu tak terlalu lama dimiliki oleh keluargaku. Kayu kedondong ternyata sangat rapuh. Semut-semut besar suka sekali menggerogoti bagian dalam kayunya. Sehingga diluarnya tampak masih baik tapi sudah kosong didalam. Tiap kali datang angin kencang, dahan dan ranting yang sudah keropos dirontokkan oleh angin, beterbangan, banyak yang jatuhnya menimpa genting rumah.
Suatu hari keputusan ayah sudah bulat. Harus ditebang. Dan benar, suatu Hari Jumat ayah meluangkan waktu melakukannya. Ayah dapat melakukannya pada Hari Jumat siang sebab hari itu ayah pulang kantor lebih awal. Sekitar jam setengah dua belas siang sudah ada di rumah.

Habislah riwayat pohon kedondong. Ayah menebangnya sampai pokoknya kira-kira tinggal dua puluh sentimeter dari permukaan tanah. Dan untuk memastikan ia tidak bertunas lagi, ayah menyiramnya dengan minyak tanah. Seperti pembunuhan!? Aku begitu terkejut waktu itu. Ternyata sebuah pohon saja harus dimatikan dengan cara demikian kejam.

Tak ada lagi kedondong buat dibagi. Mana lagi pohon mangga belum menghasilkan buah, juga pohon rambutan!

Malahan ketika aku sedikit lebih besar lagi, saat pohon mangga belum sempat berbuah terlalu banyak, aku harus kehilangan dia juga. Kata ayah, kerapuhan kayu pohon mangga dan kedondong sama. Ada angin kencang sedikit saja, rontoklah ranting-ranting tuanya.

Ada suatu masa dimana barangkali karena tangsi kami berada dipinggiran kota Jakarta yang masih sebagian besar berupa daerah terbuka tak bertuan, seringkali tiba-tiba datang angin puting beliung melanda. Putaran dan kecepatannya begitu tinggi. Kadang benda-benda besar sekalipun dapat ikut terbawa olehnya, hilang tak berbekas.
Ayah begitu khawatir akan amukan angin kencang itu. Jika ranting dan dahan keropos yang diterbangkannya menimpa genting rumah, barangkali seisi rumah akan tertimpa reruntuhan atap, luka-luka atau mungkin lebih parah lagi, mati tertimbun. Jadi pada suatu Hari Jumat siang yang lain, pohon mangga ditebas habis juga.

Tinggallah pohon rambutan. Tapi pohon rambutan kami agak lambat menjadi dewasa. Seingatku, aku telah duduk di kelas yang agak tinggi di sekolah dasar baru rambutan muncul buahnya.

Walau Jumat siang adalah waktu yang bisa ayah gunakan untuk melakukan hal-hal khusus yang aku tidak selalu setuju, itu juga saat yang diam-diam aku tunggu. Yang paling istimewa adalah membuat sate belut.

Belut yang besar-besar banyak terdapat di persawahan disekitar tangsi. Ayah memesannya dari petani pemilik sawah. Lalu aku akan menonton ayah membersihkan, menusuknya dengan tusukan sate dan membakarnya diatas arang. Sate belut jauh lebih gurih dari pada sate ayam. Dan seperti kebanyakan anak-anak yang kadang tidak mau makan sayur, sate belut hanya kumakan dengan nasi hangat yang disiram sedikit kecap manis.

Puncak kegiatan menyenangkan yang diijinkan ayah untuk kulakukan bersama adik-adikku adalah: kami boleh memelihara ayam!

Beberapa tahun sebelumnya, waktu aku masih lebih kecil, ayah ada memelihara itik-itik dan angsa. Tapi tidak lama. Ayah segera menyadari itik dan angsa terlalu jorok. Bagi mereka harus disediakan daerah yang sedikit berair semacam rawa atau kolam becek. Itik dan angsa tidak dapat hanya dipelihara dalam kandang seperti ayam.
Walau begitu, aku punya juga sedikit kenangan tentang angsa kami. Aku suka angsa. Menurut pendapatku angsa binatang yang anggun walau dia kadang suka jahat padaku. Kalau aku mengganggunya, dia akan mengejar aku dengan leher dan paruh rata sejajar dengan tanah, siap menggigit dan hanya berhenti kalau Ibu sudah turun tangan berteriak-teriak mengusirnya.

Aku ingat angsa terakhir disembelih oleh ayah sebab mulai sakit. Aku tidak percaya angsaku sakit. Waktu Ibu mencucinya tubuhnya – dengan leher telah hampir putus oleh pisau ayah – aku ingat angsaku mengeluarkan cairan kuning dari mulutnya serupa muntahan. Pasti ayah benar. Itu muntahannya karena isi tubuhnya sudah tidak beres, pertanda sakit.

Kata ayah, sebelum unggas sungguh-sungguh menjadi sakit kemudian mati, lebih baik dipotong. Dagingnya masih bisa dimanfaatkan untuk lauk sekeluarga. Memang Ibu kemudian mengolahnya dengan bumbu opor. Demikian berlaku bagi semua hewan ternak peliharaan kami. Termasuk ayam-ayam dikemudian hari.

Ayam-ayam kampung yang kami pelihara sebagian dari pemberian sanak keluarga yang juga memelihara ayam atau oleh-oleh dari keluarga yang datang dari desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, aku juga punya ayam negeri yang aku dapat dari menukar botol kosong bekas sirup atau kecap yang sudah tidak digunakan oleh Ibu. Semula satu botol kecap kosong dapat kutukarkan dengan seekor anak ayam. Lama kelamaan, harus lima botol baru memberiku seekor anak ayam.

Ayah percaya bahwa anak ayam negeri yang bulunya berwarna hitam akan jauh lebih tahan terhadap wabah penyakit dibandingkan dengan yang bulunya berwarna putih. Kemudian aku melihat bahwa itu benar. Bahkan, ayam yang berbulu hitam badannya bisa tumbuh lebih besar dari yang putih. Dagingnya juga jauh lebih tebal.
Jika dari ayah aku diberi kesempatan untuk menikmati kesenangan-kesenangan itu, dari sisi Ibu aku sangat ditertibkan olehnya dalam membantu-bantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Di kelas satu sekolah dasar, aku sudah memiliki jadwal harian pribadi. Sekolahku waktu itu hanya dari pukul tujuh sampai dengan pukul sepuluh pagi. Sepulang sekolah, karena adik-adikku masih kecil, aku harus membereskan mainan-mainan mereka. Kemudian lantai rumah kusapu. Rumah harus beres waktu ayah tiba dari kantor. Tidak boleh ada mainan berserakan.

Setelah makan siang, aku harus tidur siang selama beberapa jam. Jam setengah empat sore aku akan dibangunkan oleh Ibu untuk membantu menyapu lantai kembali dan menyiram tanaman. Masa itu menyiram tanaman tidak mudah. Sumber air di tangsi adalah dari sumur. Dan sekecil itu aku sudah biasa menimba air. Toh embernya kecil saja jadi tidak terlalu berat waktu menarik air keatas. Air dari sumur kemudian kuisikan kedalam gembor yaitu semacam ember bercorong terbuat dari lembaran seng. Corongnya dibuat berlubang-lubang kecil, tempat air mengucur keluar.

Ibu tidak mengijinkan aku mengerjakan pekerjaan yang harus menggunakan air dimana airnya akan terkena tubuhku secara langsung, misalnya mencuci pakaian atau perabotan dapur. Ia selalu khawatir aku akan masuk angin karena kedinginan.

Aku sendiri rasanya selalu kurang beruntung jika melakukan sesuatu yang berkenaan dengan air. Misalnya ketika adik-adikku yang ketiga dan keempat lahir. Aku terbangun dari tidur siang dengan sebuah mimpi yang tidak jelas. Aku, dalam keadaan tidak sadar, berjalan ke kamar mandi dengan membawa bantal. Di kamar mandi, bantal aku masukkan dalam bak mandi yang penuh berisi air. Setelah mencelupkan bantal dalam air dan tanganku terkena air dingin, barulah aku sungguh-sungguh terbangun dari tidur.

Selama proses persalinan kedua adikku yang berselisih kurang dari dua tahun itu, Ibu tinggal untuk masing-masingnya selama tiga hari dan dua malam dirumah seorang ibu bidan yang tidak jauh dari rumah kami. Selama Ibu dirawat, setiap sore mimpi sambil berjalan itu kualami.

Hal lain yang Ibu juga tidak melibatkan aku adalah urusan berbelanja sayur mayor. Tapi aku diharuskannya belajar membantu membersihkan sayur-sayuran yang akan dimasak.

Ibu tidak terlalu sering ke pasar karena letak pasar cukup jauh. Harus naik becak. Kadang Ibu pikir sayang ongkos becak itu. Lebih baik beli sayur pada dua orang pedagang keliling langganannya.

Karena selalu repot dengan pekerjaan rumah dibelakang, seringkali Ibu berpesan padaku, “tunggui didepan jangan sampai Yu Mendo atau Yu Ora lewat dan kau tidak dengar.”

Yu Mendo dan Yu Ora adalah nama tukang sayur langganan ibu. Lucu ya nama mereka itu?
Yu, dari kata Mbakyu.
Yu Mendo, karena dia selalu membawa tempe mendoan dan kadang setengah memaksa ibu-ibu agar membelinya.
Yu Ora, karena harga dagangannya selalu sulit sekali ditawar. Tiap kali ibu-ibu menawar, jawabannya selalu ora (tidak).

Tapi Yu Mendo dan Yu Ora baik padaku. Aku selalu ingin mencoba jambu mente tapi sesering itu juga dilarang keras oleh Ibu. Menurut Ibu, mente bisa bikin aku batuk dan getah bijinya akan membuat tanganku gatal kalau sampai terkena.
Suatu hari, diam-diam, kedua Yu itu mengajariku memisahkan buah jambu mente dari bijinya dengan aman agar tidak terkena getahnya serta mencuci buahnya dengan air garam sebelum memakannya.

“Ditanggung tidak batuk” kata mereka. Dan benar, dengan mengikuti petunjuk mereka aku tidak pernah batuk gara-gara makan jambu mente. Ibuku juga tidak pernah tahu aku sering makan jambu mente pemberian kedua Yu itu.

Ayah memperkenalkan aku juga dengan kegiatan berkebun. Dulu, lahan dimuka rumah dinas ayah hanya berupa tanah kosong. Oleh ayah dan oom tetangga kami, tanah itu ditanami ubi jalar, pisang, singkong dan kacang tanah. Aku boleh ikut mencabuti ubi jalar dan kacang tanah waktu panen. Mencabut singkong terlalu sulit. Menebas pisang juga aku tidak dapat karena masih terlalu tinggi letaknya dari permukaan tanah dibandingkan dengan tinggi badanku.

Hasil kebun itu kami bagi-bagi saja dengan para tetangga. Termasuk yang rumahnya di perkampungan sekitar, bukan di tangsi. Nanti kembaliannya kami terima waktu hari raya.

Hari raya selalu meriah. Selain kekerabatan dengan sesama penghuni tangsi demikian erat, dengan penduduk di perkampungan sekitar yang kebanyakan orang Betawi asli tidak kalah akrabnya. Kalau hari raya, penganan di rumah-rumah mereka selalu luar biasa lezatnya. Aku selalu diajak orang tuaku bersilaturahmi. Diantara sekian banyak hidangan hari raya ada dua yang sangat kusukai. Pertama ketan uli yang dimakan dengan tapai ketan hitam, kedua manisan yang asam manis dibuat dari berbagai macam buah-buahan mengkal seperti mangga, kedondong, salak, pepaya dan cermai.
Jadi begitulah, aku besar sebagai anak tangsi yang dekat dengan hal-hal yang identik dengan kehidupan desa. Aku yang tidak lahir atau dibesarkan dalam kehidupan bersuasana pedesaan, tidak asing dengan tanam-menanam, memelihara unggas, mengerjakan pekerjaan rumah tangga walau semuanya dalam garis-garis batas yang dibuat oleh orang tuaku.

Yang anehnya dan keanehan ini kurasakan sendiri, meskipun aku tidak segan berkotor-kotor di kebun atau membersihkan kandang ayam, tetapi aku bisa dibilang sok pembersih. Contoh, barangkali karena terbiasa makan dimeja makan di rumah, aku tidak bisa makan ditempat yang terlalu terbuka. Suatu kali dalam piknik sekolah, kami pergi ke pantai. Bekal makanan dari rumah tak dapat kumakan di tempat piknik itu sebab disekitar tikar alas dudukku yang hanya digelar diatas rumput kulihat banyak terserak kotoran kuda. Asalnya dari kuda-kuda penarik andong sewaan di pantai itu. (Bersambung)

Tuesday, May 12, 2009

SMS Nyasar

Pulangku ini adalah untuk melahirkan. Emak dan seorang Paklikku menjemput aku di stasiun. Wajah Emak cerah dan menjadi terlalu cerah sebab kebayanya dan juga kerudungnya agak terlalu cerah warnanya.

*****
Kebaya Emak berbunga-bunga, berwarna dasar oranye. Kerudungnya oranye polos. Bunga-bunga dalam tiga warna: merah, putih dan ungu. Yang merah kecil-kecil saja. Yang putih dan ungu besar-besar. Yang putih mirip mawar, yang ungu mendekati bentuk kembang sepatu. Kebaya dan kerudung itu kubeli untuk Emak berLebaran tahun lalu.
Kebaya-kebaya dan kerudung-kerudung Emak yang dibelikan anak-anaknya untuk Lebaran biasanya tak dipakainya keluar rumah kecuali sampai tiba Lebaran lagi. Tapi sore ini, Emak mengenakannya hanya untuk ke stasiun.
Aku masih ingat gembiranya hatiku dapat memenuhi selera Emak akan warna cerah pakaian untuk berlebaran. Selera Emak selalu begitu dan aku yakin itu yang terbagus sebab perempuan sebaya Emak di dusunku yang kuperhatikan memang menyukai motif kebaya yang kurang lebih demikian. Setelah aku hidup di kota beberapa lama, aku tahu motif itu ternyata sangatlah selera orang dusun. Kebaya Emak hanya akan dipandang bagus di desa kami. Di kota, itu sangat norak!
Di stasiun ini, cerahnya kebaya Emak yang waktu lebaran lalu mencerahkan hatiku, justru sekarang mencubit-cubit sakit hatiku.
Aku ingin, sangat ingin Emak tidak melihat duka merubungi wajahku. Aku harus bisa tampil cerah untuk mengimbangi Emak yang telah memilih bajunya yang paling cerah dan spesial untuk menyambut aku dan calon cucu.
Kereta berhenti. Emak dan Paklikku kebetulan berdiri tak jauh dari jendela tempatku duduk. Begitu aku melihat mereka, kulambaikan tangan keluar jendela.
Kae, kae Murni, kae Murni!” Emak berseru-seru.
Emak dan Paklik balas melambai kepadaku. Telunjuk kanan Paklik menunjuk pintu kereta. Memberi tanda agar aku keluar dari pintu yang ditunjuknya. Setelah itu bersama Mak berjalan tergesa kesana.
Dalam gerbong, aku pun berusaha secepatnya mengarah. Susah melangkah sebab perut ini membawa calon Genduk atau Tole-ku.
Waktu aku sampai di tangga kereta, Paklik juga telah disitu dan siap membantuku turun.
Paklik mengulurkan tangan. Beberapa penumpang dibelakangku turut berbaik hati membantu memegangi, tidak mendesak-desak aku.
“Hati-hati Mbak… Lihat anak tangganya.” Seseorang berteriak.
“Dibantu, dipegang tangannya.” Orang lain lagi bersuara.
Ah Nduk (Le?),… banyak orang mengasihanimu.
Aku tidak takut dikerubuti orang-orang yang berusaha membantuku sekedar turun dari kereta. Aku percaya mereka tulus. Tidak ada copet diantara mereka yang mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“Capek Mur?” tanya Paklik.
Aku meringis dan memberi Emak dan Paklik sedikit senyuman. Juga menghormat dan sedikit menunduk mencium tangan mereka
“Tidak terlalu capek hanya ini sangat berat, Paklik.” Kutunjuk perutku sendiri. Tertawa kecil atas leluconku sendiri.
“Suamimu tidak ikut?” Emak heran. Berusaha melihat kedalam kereta. Diperhatikannya semua yang terus bergiliran turun. Dicarinya menantunya dari antara mereka.
“Belum sekarang, Mak. Kang Ratno masih ada proyek borongan. Belum bisa ditinggal.”
Emak mengelus perutku.
“Apa waktu lahirmu Bapakmu nanti juga tidak akan bisa menungguimu?” tangan Emak terus mengusap perutku. Seolah janin itu bisa dilihatnya.
Dada dan mataku hampir jebol. Gemuruh dan air mata siap merusak kepura-puraanku.
“Mbakyu, Murni masih capek. Kita pulang dulu. Nanti omong-omongan lagi di rumah.”
Kami bertiga masuk ke mobil angkot milik Paklik. Jalan dalam kota menuju desa kami sudah aspal mulus. Paklik juga mengemudi hati-hati. Angkot tua ini dengan begitu masih cukup memberikan kenyamanan bagi penumpang asalkan si supir lihai.
Emak tak bersuara sepanjang perjalanan. Juga Paklik. Apalagi aku, hampir tertidur.
Tahu-tahu angkot lebih berguncang-guncang. Aku tersadar dari setengah tidur tadi. Pusing sedikit.
Oh, sudah masuk jalan kampung rupanya. Jalan kampungku masih cukup berbatu.
“Mur, kamu tinggal dirumah Paklik ya. Seperti Lebaran lalu.”
“Ya, Paklik.”
“Makmu akan menjengukmu setiap hari. Bukan begitu Mbakyu?”
“Iya.” Emak menjawab pendek. Ada sesuatu yang masih direnungkannya. Pasti Emak tak puas dengan jawabanku tentang Kang Ratno.
“Bapak memperbolehkan asal Emak tidak menginap di rumah Paklik dan asalkan kamu juga tidak muncul dirumahmu. Sabar ya Mur. Sabar dan berharap Bapakmu akan berobah sikap.”
“Ya Paklik. Murni ngerti. Murni tidak sedih kok.”
Aku tidak tahu lagi apakah dusta itu cukup meyakinkan.
Bapak tidak mengijinkan aku menginjak rumahnya lagi sejak aku kabur dulu. Aku pun tidak berharap Bapak menerimaku kembali setelah semua yang kuputuskan sendiri dan kujalani walau menentang arahan Bapak. Dan sekarang, aku memang tidak menjadi seperti khayalku. Bahkan mungkin tidak akan pernah.
Sudah dua Lebaran lewat dan aku tidak sujud pada Bapak. Selalu ke rumah Paklik saja. Emak dan kakak-kakakku bergantian menjengukku disitu. Ya, merekapun takut pada Bapak. Takut ketahuan masih berhubungan dengan anak dan adik mereka yang sudah dibuang oleh ayahnya.
Dan mudik ini, hanya akan sampai anakku lahir. Setelahnya, aku akan balik ke Jakarta lagi. Nyonya, majikanku yang baik hati itu telah berjanji tidak akan mencari pembantu lain sampai aku kembali dari melahirkan.
“Sudah begini kok ya suamimu pas tidak bisa menemanimu pulang toh Nduk?” Emak nyaris meratap.
Oh Tuhan, hentikan jalan pikiran Emak dari menduga-duga apa yang sesungguhnya terjadi pada anak bungsunya ini. Tolong Tuhan, tolong hentikan… Aku mohon….. Atau setidaknya, berilah aku pikiran jernih untuk menciptakan dusta-dusta yang tak akan terlalu melukai Emakku.
“Pekerjaan kali ini proyek besar, Mak. Jarang ada yang sebesar ini bayarannya, sayang dilepas.”
Kugigiti bibir-bibirku. Proyek apa sih yang kuciptakan dihadapan Emakku ini yang kukatakan sedang dikerjakan Kang Ratno, suamiku - jika dia masih suamiku.
“Begitu lah orang kecil, Nduk. Waktunya dikekang oleh pekerjaan. Tidak seperti juragan. Itu, kayak mbakyu dan iparmu. Duit mereka banyak. Tinggal dihabiskan. Kalau toh habis semua hari ini pun besok pasti sudah ada lagi.”
“Ya, Mak. Kalau tidak begitu mau bagaimana lagi? Kang Ratno kan hanya wakil mandor proyek bangunan. Proyek tidak selalu ada.”
“Berapa juta nanti dia dapat?”
Ah Mak, ya tidak terlalu berjuta-juta. Barangkali tiga juta bersih saja kalau dia tidak terlalu banyak merokok dan belum ada utang di warung makan, sudah bagus.
“Kamu diam saja. Pusing? Atau lapar?”
Aku tidak lapar. Barangkali lapar tapi setidaknya otakku mengatakan aku belum perlu makan. Pusing? Tidak lagi sejak turun dari angkot Paklik.
Tapi supaya Mak tidak menaruh pikiran macam-macam, kujawab bahwa aku pusing, ingin tidur.
”Makan dulu sebelum istirahat, Mur” suruh Paklik.
“Nanti saja Paklik. Teh manis ini sudah cukup.”
“Mbakyu, biar Murni tidur saja dulu. Mbakyu pulang dulu dan nanti sore kesini lagi, bagaimana?”
“Ya, ya. Aku akan pulang dulu.”
Aku dan Paklik mengantar Emak sampai ke pinggir jalan.
Tawaran Paklik untuk mengantar dengan angkotnya ditolak oleh Emak. Emak mau jalan kaki saja. Aku dan Paklik masih mengawasi Mak dari belakang sampai hilang dibalik tanaman singkong diujung jalan.
Di kamar, aku tidak bisa tidur. Udara siang Tegal sangat panas. Angin yang bertiup bahkan tidak memberi kesejukan sebab yang dibawanya memang udara panas.
Teringat lagi aku akan kebaya oranye Emak. Sebetulnya dulu Emak hampir tidak mau menerimanya.
“Kamu lebih perlu uang untuk dirimu sendiri.”
“Biarlah Mak, ini kan pemberian Lebaran pertama dari aku.”
Dan aku juga ingat. entah karena apa, kalimat kulanjutkan dalam hati, “belum tentu aku akan bisa memberimu lagi Mak.”
Dalam rebahan siang ini, ketika film kehidupanku kumainkan, baru kusadari sesadar-sadarnya aku telah membuat sebuah keputusan bodoh. Seandainya saja dulu aku ikuti usul Paklik, aku pasti tak bakal ngenes sedemikian ini.
Tentang kepastian segera kelamin calon bayiku saja misalnya, aku tak tahu bayiku akan jadi Genduk atau Tole sebab tak pernah kuperiksakan kandunganku ke dokter, apalagi USG? Aku selalu ke bidan. Ongkos dokter terlalu tak terbandingkan dari gajiku!
Tiba-tiba aku kangen pada alun-alun kotaku yang kecil itu. Pada malam-malam Minggu yang biasa kunikmati dulu Nongkrong-nongkrong di alun-alun, mencobai berbagai jajanan kunikmati benar bersama teman-teman remajaku.
Mereka tak lagi di kampungku sekarang ini, seperti aku. Hanya bedanya aku di kota besar hanya untuk jadi p……… sementara teman-temanku untuk menuntut ilmu. Masa kuliah adalah perpanjangan masa yang paling sah untuk belum perlu menafkahi diri sendiri.
Sementara aku, sebentar lagi punya bayi. Aku tak ada beda dengan anak sekolah yang hamil diluar nikah. Meskipun aku mulai hamil setelah resmi menikah, tapi anakku bakal lahir tanpa Bapak.
Tak tahulah, makhluk halus macam apa yang dulu merasuki aku. Masih kuingat waktu lulus SMA kukatakan pada Emak dan Bapak kalau aku tidak mau kuliah seperti semua kakakku. Bapak murka.
“Aku mau kerja saja Pak. Kerja di pabrik di Jakarta. Katanya ijazah SMA masih laku untuk jadi pekerja shift di pabrik.”
“Katanya, katanya! Katanya siapa? Dasar anak kampung! Tidak bisa mempertahankan kehormatan orang tua. Kalau kamu tidak bertitel, jangan harap lihat muka Bapakmu ini lagi!”
Dalam kerasnya suasana hati kukatakan, “Tak apa Bapak marah sekarang. Tunggu saja hari kesuksesanku tiba!”
Aku akan bisa sekaya kakakku yang dokter, yang insinyur. Aku malah tidak akan sekedar menjadi ibu rumah tangga kaya dengan kekayaan suami seperti kakakku yang perempuan yang sudah buang-buang duit Bapak untuk kuliah sampai S2. Kakak perempuanku itu bisa kaya raya sebab suaminya memang anak juragan batik tersohor se-Pekalongan.
Aku akan kaya juga Bapak, aku akan kaya walau tanpa gelar kesarjanaan!
Maka aku nekad, kabur ke Jakarta. Dengan angan-angan akan menabung dari hasil kerja di pabrik. Setelah punya modal, aku akan buka warung tegal yang tersohor selalu laris di Jakarta. Setelah warung tegal pertamaku sukses, aku akan melanjutkan dengan membuka yang kedua, dan seterusnya. Aku bermimpi warung tegalku akan mampu melayani pesanan melalui telepon dua puluh empat jam.
Mimpi tentang memiliki warung makan tegal masih berlanjut sampai aku menikah dengan Kang Ratno. Kang Ratno telah setuju kami menabung bersama supaya suatu hari bisa punya warung tegal sungguhan.

*****
Begitulah, pada waktu yang kupikir Bapak sedang tidak di rumah, kulangkahkan kaki keluar rumah orang tuaku. Ternyata Bapak mengawasi.
“Jangan bawa apa-apa!” hardiknya keras.
Bapak bersungguh-sungguh!
Tubuhku bergetar. Marah dan tersinggung. Pakaian saja tak boleh kubawa?
Tanpa memandang pada Bapak atau sekedar melihat kearah beliau berdiri, tas pakaian kubanting. Kupikir pakaian tak terlalu penting. Ada punya uang bekal dari Emak.
“Kamu tidak akan berhasil jadi apapun! Selamanya kamu akan sengsara saja!”
Gelegar kutukan Bapak sampai ke halaman muka rumah. Hampir aku dapat menyamakannya dengan halilintar di siang bolong. Hanya saja halilintar itu tidak seketika menghanguskan aku. Perlahan-lahan saja cara kerjanya.
Hampir setahun setelah mendamparkan diriku di Jakarta, duit sudah habis untuk makan dan bayar kontrakan, tak satu juga lamaranku ke puluhan pabrik pernah mendapat tanggapan.
Cerita yang tersebar di kampung tentang mudahnya memperoleh pekerjaan di pabrik mulai kuragukan.
Dan akhirnya, sebab harus bertahan hidup dan gengsi pulang ke Bapak dan Emak, aku menyerah pada kesempatan pertama kerja. Bukan di pabrik, di sebuah rumah, alias jadi pembantu rumah tangga.
Kutukan Bapak telah mandi.
Kusurati Emak lewat Paklik. Tidak berani aku menyurati Emak langsung ke alamat rumah orang tuaku. Kuceritakan pada Emak keadaanku sekarang. Kututup dengan pesan agar tidak menyampaikan kepada Bapak dan kakak-kakakku.
Dua minggu barangkali setelah kukirim surat itu, Emak dan Paklik mengunjungiku di rumah Nyonya. Semalaman, dua malam malahan, Emak menangisi aku, anak perempuannya yang paling kecil dan yang telah mirip benar dengan borok besar keluarga.
Bagaimana bukan luka menahun? Keluargaku meski tidak berpunya berlebihan, tapi semua menikmati pendidikan yang baik bahkan pendidikan tinggi mulai sejak generasi buyutku yang dapat jatah masuk sekolah jaman Belanda. Buyut-buyutku bersekolah kalau tidak salah di sekolah yang disebut HIS. Aku lupa singkatan dari apa HIS itu. Dan juga yang lebih tinggi yang disebut MULO – aku juga tidak ingat kepanjangannya. Banyak diantara buyutku dan kakekku menjadi guru bahkan sampai Bapak yang pensiunan kepala sekolah. Bapak malahan terbukti berhasil memaksakan mengatur hidupnya sedemikian rupa demi bisa mengantarkan hampir semua anaknya bergelar sarjana, kecuali aku karena memang tidak mau!
Dan sekarang ini, Emak datang melihat keadaanku dan selain itu mengabarkan kalau sikap Bapak terhadap aku belum berubah. Apalagi pada Kang Ratno. Ia tak pernah masuk hitungan daftar menantu Bapak.
“Emak tetap matur Bapakmu Nduk, sebelum kemari. Tapi Bapakmu tak bergeming. Emak tanya apa kersa ikut, jawab Bapakmu……… Ah sudahlah…jangan dibawa sampai sakit hati ya Nduk, Bapak selamanya Bapakmu.”
Jadi Bapak tak tumbuh belas kasihannya kepadaku? Ajakan Emak untuk ikut ke Jakarta melihatku, tidak ditanggapi sama sekali? Atau ditanggapi tetapi kata-katanya terlalu keras sehingga Emak tidak tega menyampaikan?
“Apa mas-mas dan mbakyu semua tahu juga Mak?”
“Emak belum memberitahu mereka.”
“Tak usahlah Mak. Aku tidak mau mereka sedih.”
“Sebaliknya, mereka mau membiayai kamu kuliah Mur.” Paklik membujukku.
“Murni malu Paklik. Sekarang ini sudah kasep. Biarlah Murni dengan jalan hidup Murni sendiri. Nyonya disini baik kok sama Murni.”
Dalam hatiku, kalau kakak-kakakku membiayai sekolahku, aku tentu tinggal bersama mereka. Dan aku pasti harus membantu-bantu pekerjaan rumah. Setidaknya begitu sebagai pihak yang menerima belas kasihan. Lebih baik aku kerja jadi pembantu sekalian. Jelas aku dibayar karena melakukan pekerjaan rumah.
Tapi disisi lain, Nyonya majikanku, dan keluarganya, walapun sungguh sangat baik padaku, toh belum pernah menawariku kuliah! Bayangan kesenangan belajar di bangku perguruan tinggi berkelebat.
Waktu Emak dan Paklik sudah kembali ke kampung, aku mulai menyesali diri tak berkeputusan. Bukannya kusenangkan mereka, malah duka rusuh hati yang telah kubawakan sebagai oleh-oleh buat Emakku dan Paklikku yang baik hati itu.

*****
Anakku berhasil kulahirkan ke dunia ini, seminggu setelah aku di kampung. Seorang Tole, ternyata…..
Maafkan Emak, Le! Nanti kamu besar di kampung sini ya. Ibumu ini harus kembali ke Jakarta. Mencari uang, menyambung hidup yang sudah tidak terlalu ingin dinikmatinya.
Akan kutinggalkan Toleku, disini, pada salah satu sepupuku yang sudah bertahun-tahun menikah tapi belum diberi keturunan.
Sore itu, waktu mereka sudah pulang dan Toleku sudah mereka bawa, tinggal aku dan Emak di teras rumah Paklik.
“Sebetulnya suamimu itu kemana toh Nduk? Kok sampai anaknya lahir dia tidak muncul?”
Sore ini Emak tidak lagi meratap. Tidak sama sekali ada dalam suaranya sebuah ratapan. Hanya sedikit sedih. Pastilah Emak, seperti Nyonyaku yang baik hati di Jakarta, telah mulai mengira mestinya ada sesuatu antara aku dan Kang Ratno.
Semua gara-gara benda yang bernama telepon selular. Pemberian Nyonya padaku.
Nyonya waktu itu membeli telepon selular baru. Yang lama diberikannya ke aku. Kira-kira sebulan setelah perkawinanku dengan Kang Ratno.
Suatu hari, sebuah sms nyasar masuk. Tidak kubalas. Malamnya si pengirim sms menelponku. Singkatnya, sejak itu aku berteman dengan lelaki pengirim sms itu. Karena Kang Ratno sering tidak pulang kalau sedang ada proyek, suatu hari aku lagi-lagi bertindak tolol sekali. Kuterima ajakan pengirim sms untuk bertemu muka. Aku berdua saja dengannya pergi menonton pasar malam di komplek tempat Nyonya tinggal. Juga beberapa kali setelah itu ada lagi kami membuat janji bertemu.
Seorang temanku yang juga pembantu rumah tangga didekat rumah Nyonya, melaporkan pada Kang Ratno.
Habislah cerita tentang perkawinanku yang bahkan belum tiga bulan!
Segala tuduhan dilancarkan Kang Ratno kepadaku. Mulai dari sekedar selingkuh, perempuan gatal, perempuan kampung materialistis, gila jabatan dan banyak lagi. Lelaki pengirim sms memang lebih punya kedudukan dari Kang Ratno. Dia seorang petugas dinas lalu lintas.
Aku selamanya seorang perempuan kampung. Walau tak ingin menundukkan diriku begitu rendah dimuka suamiku sendiri dan walau tamatan sekolah menengah atas, tetap tak mampu melawan tuduhan Kang Ratno yang hanya bersekolah sampai kelas lima sekolah dasar. Karena melihat aku diam saja tiap kali dia menyinggung soal sms nyasar itu, Kang Ratno makin teguh percaya bahwa aku memang berniat selingkuh.
Sejak itu Kang Ratno tak pernah pulang ke kontrakan kami padahal aku sudah hamil. Suatu kali, kuberanikan menemuinya di lokasi proyek.
Tapi seperti sudah kuperkirakan, Kang Ratno menolak bayi dalam perutku. Teman-temannya yang juga kuli bangunan, ikut menertawai aku.
“Dari mana kamu bisa bilang dia anak Ratno?”
Hina, hina, terkutuknya diriku! Bukan hanya suamiku tak mengakui anakku. Bahkan teman-temannya mendukung dia turut menghina aku…
Bagaimana aku membuat mereka percaya aku tak berhubungan dengan petugas dinas lalu lintas itu atau siapapun?
Nyonyaku yang baik hati itu mulai kubohongi. Tiap kali Nyonya bertanya, suamimu tidak menjemputmu? Jawabku adalah, proyeknya diluar kota Nyonya. Hari Minggu saja dia pulang ke rumah sewaan kami.
Maafkan aku Nyonya! Ampuni aku, Emak, Bapak, Tole anakku… (Selesai)

Kae = itu
Mandi = mujarab
Kersa = bersedia
Matur = mengatakan
Kasep = terlanjur (buruk)
Ngenes = menyedihkan

Saturday, May 9, 2009

Semalem Ikutan Jakarta Night Heritage Trail (JNHT)



SANGAT MEMUASKAN! Keinginan saya untuk jalan (kaki) disekitar kota tua Jakarta yang sudah bertahun-tahun berupa sebuah keinginan saja akhirnya terpenuhi. Saya akhirnya bisa melihat bangunan tua dari dekat dan bahkan memasuki sebagian bangunan-bangunan itu. Pengaturan yang bagus sekali oleh penyelenggara, harga tour yang sangat reasonable dan makan malam berupa nasi ulam yang luar biasa mantaaappppp!


Sayang kotaku ini hanya punya sedikit sekali gedung tua yang masih bisa dilihat hari-hari ini.


Sedikit berbagi cerita mengenai rute yang dilalui: Berangkat dari Musium Bank Mandiri (MBM). Rombongan dibawa berkeliling dulu dalam gedung musium ini. Disini banyak disimpan peralatan dagang dan bank jaman dulu. Mulai dari kalkulator, mesin ketik, mesin ATM generasi pertama, safe deposit box dan tentu saja yang wajib dimiliki oleh bank adalah brankas. Juga buku besar bank jaman dulu ukurannya luar biasa. kira-kira 50 x 75 cm! Kejutan adalah tentang lantai basement yang pernah digunakan sebagai lantai penyimpan brankas tetapi pada masa pendudukan Jepang digunakan sebagai ruangan untuk memenjarakan orang Belanda. Barangkali terjadi penyiksaan tahanan juga disitu?!


Perhentian kedua adalah Taman Fatahilah kemudian berjalan lurus kearah utara, melalui Jalan Cengkeh. Sepanjang Jalan Cengkeh dulunya adalah rumah-rumah pejabat Belanda. Sayang, lagi-lagi sayang, tidak ada satu bangunan rumah pun tersisa. Semua sudah jadi ruko dan semua ruko itu menjual peralatan atau suku cadang kapal. Sekitar Jalan Cengkeh, semua 'straat' disitu menggunakan nama hasil bumi: Jalan Teh dan Jalan Kopi - itu yang saya lihat. Rupanya Belanda sangat tergila-gila pada hasil bumi Indonesia.


Terus berlanjut mengarah ke Pelabuhan Sunda Kelapa. Kapal2 kayu yang besar-besar itu kukira sudah tidak digunakan. Ternyata masih aktif padahal kalau lihat fisiknya, ngeriiiiiiiii.... Badan kapal dibuat dari kayu dan penuh lubang disana-sini. Nggak takut tenggelam ya?


Perhentian ketiga adalah Musium Bahari dan Menara Syahbandar (Uitkijk Post). Ini menara pengawas keluar masuk kapal. Saya beranikan naik keatas menara padahal bangunan itu sekarang sudah miring sekali karena tanahnya mblesek akibat truk-truk bermuatan besar yang sekarang berlalu lalang disitu tiap menit.


Keempat adalah galangan kapal VOC. Sayang sampai disitu sudah gelap. Saya tidak bisa ambil foto dinding yang ada pahatan lambang VOC padahal antik banget. Oh ya, galangan kapal VOC ini sekarang jadi rumah makan Cina yang waaaaaahhh........


Selebihnya adalah akhir dari perjalanan yaitu ke gedung Cipta Niaga. Sebuah gedung kosong berlantai tiga atau empat. Barangkali ada yang sudah pernah dengar bahwa gedung ini digunakan untuk syuting film Ayat-ayat Cinta.

Perhentian di gedung Cipta Niaga bisa dikatakan merupakan puncak tujuan saya ikut tour ini. Rombongan boleh masuk ke gedung kosong itu. Tidak ada apa-apa yang bisa dilihat. Selain karena tidak ada barang untuk dilihat, gedungnya juga tanpa penerangan sama sekali. Saya sendiri tidak ikut naik sampai ke lantai atas karena bau debu sangat menyengat. Saya tidak tahan bau debu, bisa bersin dan kemudian pilek.


Selesai dari situ, jalan kembali ke MBM, melewati depan Musium Wayang. Saya sangat ingin mampir tapi jam berkunjung sudah habis. Kabarnya, didalamnya ada batu nisan JP Coen. Hanya batu nisan, tulang belulangnya sudah dibawa ke negeri Belanda.


Sampai di taman dalam gedung MBM sudah jam 20:30. Nasi ulam sudah tersedia. Enak banget - bumbunya, hmm......... Buat orang berselera terhadap makanan berbumbu seperti saya, it was really above my expectation! Terdiri dari: nasi, daging dendeng, semur tahu, telur dadar, bihun goreng, perkedel kentang, kerupuk, emping, lalap ketimun dan daun kemangi. Plus sambel kacang yang luar biasa pedes en lagi-lagi mantaaapppppp! Makannya sambil nonton film tempo doeloe pula! En penyelenggara masih memberikan kata pengantar dan komentar atas film yang diputar serta bagi-bagi door prize!

Sungguh, saya tidak melebih-lebihkan, wisata ini: 'Just pas' buat generasi seangkatan saya yang sudah bertahun-tahun menetap di Jakarta (lebih parah lagi buat saya karena saya lahir di Jakarta), belum mengenal sejarah kotanya sendiri, jenuh dengan rutinitas kerja sehari-hari, dan yang sudah bosan saban weekend mengunjungi mall!

Seluruh acara berlangsung dari pukul 15:00 s.d. 21:15



PS: Foto diatas adalah Pasar Baru Tahun 1949. Tidak termasuk bagian dari JNHT. Tapi itu foto yang saya anggap paling mewakili untuk menambah kesan 'oldies' pada tulisan ini.

Friday, May 8, 2009

Siapakah Panembahan Senopati


Nama asli Panembahan Senopati adalah Danang Sutawijaya (lahir: ? - wafat: Jenar, 1601). Beliau adalah pendiri Kesultanan Mataram yang memerintah sebagai raja pertama pada tahun 1587-1601, bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa. Tokoh ini dianggap sebagai peletak dasar-dasar Kesultanan Mataram. Riwayat hidupnya banyak digali dari kisah-kisah tradisional, misalnya naskah-naskah babad karangan para pujangga zaman berikutnya.


Asal-Usul
Danang Sutawijaya adalah putra sulung pasangan
Ki Ageng Pamanahan dan Nyai Sabinah. Menurut naskah-naskah babad, ayahnya adalah keturunan Brawijaya raja terakhir Majapahit, sedangkan ibunya adalah keturunan Sunan Giri anggota Walisanga. Hal ini seolah-olah menunjukkan adanya upaya para pujangga untuk mengkultuskan raja-raja Kesultanan Mataram sebagai keturunan orang-orang istimewa.
Nyai Sabinah memiliki kakak laki-laki bernama
Ki Juru Martani, yang kemudian diangkat sebagai patih pertama Kesultanan Mataram. Ia ikut berjasa besar dalam mengatur strategi menumpas Arya Penangsang pada tahun 1549.
Sutawijaya juga diambil sebagai anak angkat oleh
Hadiwijaya bupati Pajang sebagai pancingan, karena pernikahan Hadiwijaya dan istrinya sampai saat itu belum dikaruniai anak. Sutawijaya kemudian diberi tempat tinggal di sebelah utara pasar sehingga ia pun terkenal dengan sebutan Raden Ngabehi Loring Pasar.

Peran Awal
Sayembara menumpas
Arya Penangsang tahun 1549 merupakan pengalaman perang pertama bagi Sutawijaya. Ia diajak ayahnya ikut serta dalam rombongan pasukan supaya Hadiwijaya merasa tidak tega dan menyertakan pasukan Pajang sebagai bala bantuan. Saat itu Sutawijaya masih berusia belasan tahun.
Arya Penangsang adalah Bupati Jipang Panolan yang telah membunuh Sunan Prawoto raja terakhir Kesultanan Demak. Ia sendiri akhirnya tewas di tangan Sutawijaya. Akan tetapi sengaja disusun laporan palsu bahwa kematian Arya Penangsang akibat dikeroyok Ki Ageng Pamanahan dan Ki Panjawi, karena jika Sultan Hadiwijaya sampai mengetahui kisah yang sebenarnya (bahwa pembunuh Bupati Jipang Panolan adalah anak angkatnya sendiri), dikhawatirkan ia akan lupa memberikan hadiaah.


Memberontak Terhadap Pajang
Usai sayembara, Ki Panjawi mendapatkan tanah
Pati dan menjadi bupati di sana sejak tahun 1549, sedangkan Ki Ageng Pamanahan baru mendapatkan tanah Mataram sejak tahun 1556. Sepeninggal Ki Ageng Pamanahan tahun 1575, Sutawijaya menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin Mataram, bergelar Senapati Ingalaga (yang artinya “panglima di medan perang”).
Pada tahun
1576 Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil dari Pajang tiba untuk menanyakan kesetiaan Mataram, mengingat Senapati sudah lebih dari setahun tidak menghadap Sultan Hadiwijaya. Senapati saat itu sibuk berkuda di desa Lipura, seolah tidak peduli dengan kedatangan kedua utusan tersebut. Namun kedua pejabat senior itu pandai menjaga perasaan Sultan Hadiwijaya melalui laporan yang mereka susun.
Senapati memang ingin menjadikan Mataram sebagai kerajaan merdeka. Ia sibuk mengadakan persiapan, baik yang bersifat material ataupun spiritual, misalnya membangun benteng, melatih tentara, sampai menghubungi penguasa Laut Kidul dan
Gunung Merapi. Senapati juga berani membelokkan para mantri pamajegan dari Kedu dan Bagelen yang hendak menyetor pajak ke Pajang. Para mantri itu bahkan berhasil dibujuknya sehingga menyatakan sumpah setia kepada Senapati.
Sultan Hadiwijaya resah mendengar kemajuan anak angkatnya. Ia pun mengirim utusan menyelidiki perkembangan Mataram. Yang diutus adalah Arya Pamalad Tuban,
Pangeran Benawa, dan Patih Mancanegara. Semuanya dijamu dengan pesta oleh Senapati. Hanya saja sempat terjadi perselisihan antara Raden Rangga (putra sulung Senapati) dengan Arya Pamalad.


Memerdekakan Mataram
Pada tahun
1582 Sultan Hadiwijaya menghukum buang Tumenggung Mayang ke Semarang karena membantu anaknya yang bernama Raden Pabelan, menyusup ke dalam keputrian menggoda Ratu Sekar Kedaton, putri bungsu Sultan. Raden Pabelan sendiri dihukum mati dan mayatnya dibuang ke Sungai Laweyan.
Ibu Pabelan adalah adik Senapati. Maka Senapati pun mengirim para mantri pamajegan untuk merebut Tumenggung Mayang dalam perjalanan pembuangannya.
Perbuatan Senapati ini membuat
Sultan Hadiwijaya murka. Sultan pun berangkat sendiri memimpin pasukan Pajang menyerbu Mataram. Perang terjadi. Pasukan Pajang dapat dipukul mundur meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak.
Sultan Hadiwijaya jatuh sakit dalam perjalanan pulang ke Pajang. Ia akhirnya meninggal dunia namun sebelumnya sempat berwasiat agar anak-anaknya jangan ada yang membenci Senapati serta harus tetap memperlakukannya sebagai kakak sulung. Senapati sendiri ikut hadir dalam pemakaman ayah angkatnya itu.


Menjadi Raja
Arya Pangiri adalah menantu Sultan Hadiwijaya yang menjadi adipati Demak. Ia didukung Panembahan Kudus berhasil merebut takhta Pajang pada tahun 1583 dan menyingkirkan Pangeran Benawa menjadi adipati Jipang.
Pangeran Benawa kemudian bersekutu dengan Senapati pada tahun
1586 karena pemerintahan Arya Pangiri dinilai sangat merugikan rakyat Pajang. Perang pun terjadi. Arya Pangiri tertangkap dan dikembalikan ke Demak.
Pangeran Benawa menawarkan takhta Pajang kepada Senapati namun ditolak. Senapati hanya meminta beberapa pusaka Pajang untuk dirawat di Mataram.
Pangeran Benawa pun diangkat menjadi raja Pajang sampai tahun
1587. Sepeninggalnya, ia berwasiat agar Pajang digabungkan dengan Mataram. Senapati dimintanya menjadi raja. Pajang sendiri kemudian menjadi bawahan Mataram, dengan dipimpin oleh Pangeran Gagak Baning, adik Senapati.
Maka sejak itu, Senapati menjadi raja pertama Mataram bergelar Panembahan. Ia tidak mau memakai gelar Sultan untuk menghormati Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa. Istana pemerintahannya terletak di
Kotagede.

Memperluas Kekuasaan Mataram
Sepeninggal
Sultan Hadiwijaya, daerah-daerah bawahan di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri. Persekutuan adipati Jawa Timur tetap dipimpin Surabaya sebagai negeri terkuat. Pasukan mereka berperang melawan pasukan Mataram di Mojokerto namun dapat dipisah utusan Giri Kedaton.
Selain
Pajang dan Demak yang sudah dikuasai Mataram, daerah Pati juga sudah tunduk secara damai. Pati saat itu dipimpin Adipati Pragola putra Ki Panjawi. Kakak perempuannya (Ratu Waskitajawi) menjadi permaisuri utama di Mataram. Hal itu membuat Pragola menaruh harapan bahwa Mataram kelak akan dipimpin keturunan kakaknya itu.
Pada tahun
1590 gabungan pasukan Mataram, Pati, Demak, dan Pajang bergerak menyerang Madiun. Adipati Madiun adalah Rangga Jemuna (putra bungsu Sultan Trenggana) yang telah mempersiapkan pasukan besar menghadang penyerangnya. Melalui tipu muslihat cerdik, Madiun berhasil direbut. Rangga Jemuna melarikan diri ke Surabaya, sedangkan putrinya yang bernama Retno Dumilah diambil sebagai istri Senapati.
Pada tahun
1591 terjadi perebutan takhta di Kediri sepeninggal bupatinya. Putra adipati sebelumnya yang bernama Raden Senapati Kediri diusir oleh adipati baru bernama Ratujalu hasil pilihan Surabaya.
Senapati Kediri kemudian diambil sebagai anak angkat Panembahan Senapati Mataram dan dibantu merebut kembali takhta Kediri. Perang berakhir dengan kematian bersama Senapati Kediri melawan Adipati Pesagi (pamannya).
Pada tahun
1595 adipati Pasuruhan berniat tunduk secara damai pada Mataram namun dihalang-halangi panglimanya, yang bernama Rangga Kaniten. Rangga Kaniten dapat dikalahkan Panembahan Senapati dalam sebuah perang tanding. Ia kemudian dibunuh sendiri oleh adipati Pasuruhan, yang kemudian menyatakan tunduk kepada Mataram.
Pada tahun
1600 terjadi pemberontakan Adipati Pragola dari Pati. Pemberontakan ini dipicu oleh pengangkatan Retno Dumilah putri Madiun sebagai permaisuri kedua Senapati. Pasukan Pati berhasil merebut beberapa wilayah sebelah utara Mataram. Perang kemudian terjadi dekat Sungai Dengkeng di mana pasukan Mataram yang dipimpin langsung oleh Senapati sendiri berhasil menghancurkan pasukan Pati.


Akhir Pemerintahan
Panembahan Senapati alias Danang Sutawijaya meninggal dunia pada tahun
1601 saat berada di desa Kajenar. Ia kemudian dimakamkan di Kotagede. Putra yang ditunjuk sebagai raja selanjutnya adalah yang lahir dari putri Pati, bernama Mas Jolang. Mas Jolang setelah naik tahta bergelar Prabu Hanyokrowati.
Pemerintahan Prabu Hanyokrowati tidak berlangsung lama karena beliau wafat karena kecelakaan saat sedang berburu di hutan Krapyak. Karena itu beliau juga disebut Susuhunan Seda Krapyak yang artinya Raja (yang) Wafat (di) Krapyak. Setelah itu tahta beralih sebentar ke tangan putra keempat Mas Jolang yang bergelar Adipati Martoputro. Ternyata Adipati Martoputro menderita penyakit syaraf? sehingga tahta beralih ke putra sulung Mas Jolang yang bernama Mas Rangsang.
Sesudah naik tahta Mas Rangsang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Namun ia lebih dikenal dengan sebutan Sultan Agung. Pada masanya wilayah Mataram diperluas hingga mencakup hampir seluruh pulau Jawa. Akibatnya terjadi gesekan dengan VOC yang berpusat di Jakarta. Maka terjadilah beberapa peperangan antara Mataram melawan VOC. Setelah beliau wafat, penggantinya adalah putranya yang bergelar Amangkurat.
Pemerintahan Amangkurat kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan pemberontakan. Salah satu pemberontakan ini cukup besar dan baru dapat diselesaikan dengan membagi wilayah Mataram menjadi dua yaitu Kesultanan (Nga)yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Pembagian wilayah ini tertuang dalam perjanjian Giyanti (1755). Maka berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Yogyakarta dan Surakarta adalah "ahli waris" dari Kesultanan Mataram.


Diperoleh dari: http://id.wikipedia.org