Tuesday, May 12, 2009

SMS Nyasar

Pulangku ini adalah untuk melahirkan. Emak dan seorang Paklikku menjemput aku di stasiun. Wajah Emak cerah dan menjadi terlalu cerah sebab kebayanya dan juga kerudungnya agak terlalu cerah warnanya.

*****
Kebaya Emak berbunga-bunga, berwarna dasar oranye. Kerudungnya oranye polos. Bunga-bunga dalam tiga warna: merah, putih dan ungu. Yang merah kecil-kecil saja. Yang putih dan ungu besar-besar. Yang putih mirip mawar, yang ungu mendekati bentuk kembang sepatu. Kebaya dan kerudung itu kubeli untuk Emak berLebaran tahun lalu.
Kebaya-kebaya dan kerudung-kerudung Emak yang dibelikan anak-anaknya untuk Lebaran biasanya tak dipakainya keluar rumah kecuali sampai tiba Lebaran lagi. Tapi sore ini, Emak mengenakannya hanya untuk ke stasiun.
Aku masih ingat gembiranya hatiku dapat memenuhi selera Emak akan warna cerah pakaian untuk berlebaran. Selera Emak selalu begitu dan aku yakin itu yang terbagus sebab perempuan sebaya Emak di dusunku yang kuperhatikan memang menyukai motif kebaya yang kurang lebih demikian. Setelah aku hidup di kota beberapa lama, aku tahu motif itu ternyata sangatlah selera orang dusun. Kebaya Emak hanya akan dipandang bagus di desa kami. Di kota, itu sangat norak!
Di stasiun ini, cerahnya kebaya Emak yang waktu lebaran lalu mencerahkan hatiku, justru sekarang mencubit-cubit sakit hatiku.
Aku ingin, sangat ingin Emak tidak melihat duka merubungi wajahku. Aku harus bisa tampil cerah untuk mengimbangi Emak yang telah memilih bajunya yang paling cerah dan spesial untuk menyambut aku dan calon cucu.
Kereta berhenti. Emak dan Paklikku kebetulan berdiri tak jauh dari jendela tempatku duduk. Begitu aku melihat mereka, kulambaikan tangan keluar jendela.
Kae, kae Murni, kae Murni!” Emak berseru-seru.
Emak dan Paklik balas melambai kepadaku. Telunjuk kanan Paklik menunjuk pintu kereta. Memberi tanda agar aku keluar dari pintu yang ditunjuknya. Setelah itu bersama Mak berjalan tergesa kesana.
Dalam gerbong, aku pun berusaha secepatnya mengarah. Susah melangkah sebab perut ini membawa calon Genduk atau Tole-ku.
Waktu aku sampai di tangga kereta, Paklik juga telah disitu dan siap membantuku turun.
Paklik mengulurkan tangan. Beberapa penumpang dibelakangku turut berbaik hati membantu memegangi, tidak mendesak-desak aku.
“Hati-hati Mbak… Lihat anak tangganya.” Seseorang berteriak.
“Dibantu, dipegang tangannya.” Orang lain lagi bersuara.
Ah Nduk (Le?),… banyak orang mengasihanimu.
Aku tidak takut dikerubuti orang-orang yang berusaha membantuku sekedar turun dari kereta. Aku percaya mereka tulus. Tidak ada copet diantara mereka yang mau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
“Capek Mur?” tanya Paklik.
Aku meringis dan memberi Emak dan Paklik sedikit senyuman. Juga menghormat dan sedikit menunduk mencium tangan mereka
“Tidak terlalu capek hanya ini sangat berat, Paklik.” Kutunjuk perutku sendiri. Tertawa kecil atas leluconku sendiri.
“Suamimu tidak ikut?” Emak heran. Berusaha melihat kedalam kereta. Diperhatikannya semua yang terus bergiliran turun. Dicarinya menantunya dari antara mereka.
“Belum sekarang, Mak. Kang Ratno masih ada proyek borongan. Belum bisa ditinggal.”
Emak mengelus perutku.
“Apa waktu lahirmu Bapakmu nanti juga tidak akan bisa menungguimu?” tangan Emak terus mengusap perutku. Seolah janin itu bisa dilihatnya.
Dada dan mataku hampir jebol. Gemuruh dan air mata siap merusak kepura-puraanku.
“Mbakyu, Murni masih capek. Kita pulang dulu. Nanti omong-omongan lagi di rumah.”
Kami bertiga masuk ke mobil angkot milik Paklik. Jalan dalam kota menuju desa kami sudah aspal mulus. Paklik juga mengemudi hati-hati. Angkot tua ini dengan begitu masih cukup memberikan kenyamanan bagi penumpang asalkan si supir lihai.
Emak tak bersuara sepanjang perjalanan. Juga Paklik. Apalagi aku, hampir tertidur.
Tahu-tahu angkot lebih berguncang-guncang. Aku tersadar dari setengah tidur tadi. Pusing sedikit.
Oh, sudah masuk jalan kampung rupanya. Jalan kampungku masih cukup berbatu.
“Mur, kamu tinggal dirumah Paklik ya. Seperti Lebaran lalu.”
“Ya, Paklik.”
“Makmu akan menjengukmu setiap hari. Bukan begitu Mbakyu?”
“Iya.” Emak menjawab pendek. Ada sesuatu yang masih direnungkannya. Pasti Emak tak puas dengan jawabanku tentang Kang Ratno.
“Bapak memperbolehkan asal Emak tidak menginap di rumah Paklik dan asalkan kamu juga tidak muncul dirumahmu. Sabar ya Mur. Sabar dan berharap Bapakmu akan berobah sikap.”
“Ya Paklik. Murni ngerti. Murni tidak sedih kok.”
Aku tidak tahu lagi apakah dusta itu cukup meyakinkan.
Bapak tidak mengijinkan aku menginjak rumahnya lagi sejak aku kabur dulu. Aku pun tidak berharap Bapak menerimaku kembali setelah semua yang kuputuskan sendiri dan kujalani walau menentang arahan Bapak. Dan sekarang, aku memang tidak menjadi seperti khayalku. Bahkan mungkin tidak akan pernah.
Sudah dua Lebaran lewat dan aku tidak sujud pada Bapak. Selalu ke rumah Paklik saja. Emak dan kakak-kakakku bergantian menjengukku disitu. Ya, merekapun takut pada Bapak. Takut ketahuan masih berhubungan dengan anak dan adik mereka yang sudah dibuang oleh ayahnya.
Dan mudik ini, hanya akan sampai anakku lahir. Setelahnya, aku akan balik ke Jakarta lagi. Nyonya, majikanku yang baik hati itu telah berjanji tidak akan mencari pembantu lain sampai aku kembali dari melahirkan.
“Sudah begini kok ya suamimu pas tidak bisa menemanimu pulang toh Nduk?” Emak nyaris meratap.
Oh Tuhan, hentikan jalan pikiran Emak dari menduga-duga apa yang sesungguhnya terjadi pada anak bungsunya ini. Tolong Tuhan, tolong hentikan… Aku mohon….. Atau setidaknya, berilah aku pikiran jernih untuk menciptakan dusta-dusta yang tak akan terlalu melukai Emakku.
“Pekerjaan kali ini proyek besar, Mak. Jarang ada yang sebesar ini bayarannya, sayang dilepas.”
Kugigiti bibir-bibirku. Proyek apa sih yang kuciptakan dihadapan Emakku ini yang kukatakan sedang dikerjakan Kang Ratno, suamiku - jika dia masih suamiku.
“Begitu lah orang kecil, Nduk. Waktunya dikekang oleh pekerjaan. Tidak seperti juragan. Itu, kayak mbakyu dan iparmu. Duit mereka banyak. Tinggal dihabiskan. Kalau toh habis semua hari ini pun besok pasti sudah ada lagi.”
“Ya, Mak. Kalau tidak begitu mau bagaimana lagi? Kang Ratno kan hanya wakil mandor proyek bangunan. Proyek tidak selalu ada.”
“Berapa juta nanti dia dapat?”
Ah Mak, ya tidak terlalu berjuta-juta. Barangkali tiga juta bersih saja kalau dia tidak terlalu banyak merokok dan belum ada utang di warung makan, sudah bagus.
“Kamu diam saja. Pusing? Atau lapar?”
Aku tidak lapar. Barangkali lapar tapi setidaknya otakku mengatakan aku belum perlu makan. Pusing? Tidak lagi sejak turun dari angkot Paklik.
Tapi supaya Mak tidak menaruh pikiran macam-macam, kujawab bahwa aku pusing, ingin tidur.
”Makan dulu sebelum istirahat, Mur” suruh Paklik.
“Nanti saja Paklik. Teh manis ini sudah cukup.”
“Mbakyu, biar Murni tidur saja dulu. Mbakyu pulang dulu dan nanti sore kesini lagi, bagaimana?”
“Ya, ya. Aku akan pulang dulu.”
Aku dan Paklik mengantar Emak sampai ke pinggir jalan.
Tawaran Paklik untuk mengantar dengan angkotnya ditolak oleh Emak. Emak mau jalan kaki saja. Aku dan Paklik masih mengawasi Mak dari belakang sampai hilang dibalik tanaman singkong diujung jalan.
Di kamar, aku tidak bisa tidur. Udara siang Tegal sangat panas. Angin yang bertiup bahkan tidak memberi kesejukan sebab yang dibawanya memang udara panas.
Teringat lagi aku akan kebaya oranye Emak. Sebetulnya dulu Emak hampir tidak mau menerimanya.
“Kamu lebih perlu uang untuk dirimu sendiri.”
“Biarlah Mak, ini kan pemberian Lebaran pertama dari aku.”
Dan aku juga ingat. entah karena apa, kalimat kulanjutkan dalam hati, “belum tentu aku akan bisa memberimu lagi Mak.”
Dalam rebahan siang ini, ketika film kehidupanku kumainkan, baru kusadari sesadar-sadarnya aku telah membuat sebuah keputusan bodoh. Seandainya saja dulu aku ikuti usul Paklik, aku pasti tak bakal ngenes sedemikian ini.
Tentang kepastian segera kelamin calon bayiku saja misalnya, aku tak tahu bayiku akan jadi Genduk atau Tole sebab tak pernah kuperiksakan kandunganku ke dokter, apalagi USG? Aku selalu ke bidan. Ongkos dokter terlalu tak terbandingkan dari gajiku!
Tiba-tiba aku kangen pada alun-alun kotaku yang kecil itu. Pada malam-malam Minggu yang biasa kunikmati dulu Nongkrong-nongkrong di alun-alun, mencobai berbagai jajanan kunikmati benar bersama teman-teman remajaku.
Mereka tak lagi di kampungku sekarang ini, seperti aku. Hanya bedanya aku di kota besar hanya untuk jadi p……… sementara teman-temanku untuk menuntut ilmu. Masa kuliah adalah perpanjangan masa yang paling sah untuk belum perlu menafkahi diri sendiri.
Sementara aku, sebentar lagi punya bayi. Aku tak ada beda dengan anak sekolah yang hamil diluar nikah. Meskipun aku mulai hamil setelah resmi menikah, tapi anakku bakal lahir tanpa Bapak.
Tak tahulah, makhluk halus macam apa yang dulu merasuki aku. Masih kuingat waktu lulus SMA kukatakan pada Emak dan Bapak kalau aku tidak mau kuliah seperti semua kakakku. Bapak murka.
“Aku mau kerja saja Pak. Kerja di pabrik di Jakarta. Katanya ijazah SMA masih laku untuk jadi pekerja shift di pabrik.”
“Katanya, katanya! Katanya siapa? Dasar anak kampung! Tidak bisa mempertahankan kehormatan orang tua. Kalau kamu tidak bertitel, jangan harap lihat muka Bapakmu ini lagi!”
Dalam kerasnya suasana hati kukatakan, “Tak apa Bapak marah sekarang. Tunggu saja hari kesuksesanku tiba!”
Aku akan bisa sekaya kakakku yang dokter, yang insinyur. Aku malah tidak akan sekedar menjadi ibu rumah tangga kaya dengan kekayaan suami seperti kakakku yang perempuan yang sudah buang-buang duit Bapak untuk kuliah sampai S2. Kakak perempuanku itu bisa kaya raya sebab suaminya memang anak juragan batik tersohor se-Pekalongan.
Aku akan kaya juga Bapak, aku akan kaya walau tanpa gelar kesarjanaan!
Maka aku nekad, kabur ke Jakarta. Dengan angan-angan akan menabung dari hasil kerja di pabrik. Setelah punya modal, aku akan buka warung tegal yang tersohor selalu laris di Jakarta. Setelah warung tegal pertamaku sukses, aku akan melanjutkan dengan membuka yang kedua, dan seterusnya. Aku bermimpi warung tegalku akan mampu melayani pesanan melalui telepon dua puluh empat jam.
Mimpi tentang memiliki warung makan tegal masih berlanjut sampai aku menikah dengan Kang Ratno. Kang Ratno telah setuju kami menabung bersama supaya suatu hari bisa punya warung tegal sungguhan.

*****
Begitulah, pada waktu yang kupikir Bapak sedang tidak di rumah, kulangkahkan kaki keluar rumah orang tuaku. Ternyata Bapak mengawasi.
“Jangan bawa apa-apa!” hardiknya keras.
Bapak bersungguh-sungguh!
Tubuhku bergetar. Marah dan tersinggung. Pakaian saja tak boleh kubawa?
Tanpa memandang pada Bapak atau sekedar melihat kearah beliau berdiri, tas pakaian kubanting. Kupikir pakaian tak terlalu penting. Ada punya uang bekal dari Emak.
“Kamu tidak akan berhasil jadi apapun! Selamanya kamu akan sengsara saja!”
Gelegar kutukan Bapak sampai ke halaman muka rumah. Hampir aku dapat menyamakannya dengan halilintar di siang bolong. Hanya saja halilintar itu tidak seketika menghanguskan aku. Perlahan-lahan saja cara kerjanya.
Hampir setahun setelah mendamparkan diriku di Jakarta, duit sudah habis untuk makan dan bayar kontrakan, tak satu juga lamaranku ke puluhan pabrik pernah mendapat tanggapan.
Cerita yang tersebar di kampung tentang mudahnya memperoleh pekerjaan di pabrik mulai kuragukan.
Dan akhirnya, sebab harus bertahan hidup dan gengsi pulang ke Bapak dan Emak, aku menyerah pada kesempatan pertama kerja. Bukan di pabrik, di sebuah rumah, alias jadi pembantu rumah tangga.
Kutukan Bapak telah mandi.
Kusurati Emak lewat Paklik. Tidak berani aku menyurati Emak langsung ke alamat rumah orang tuaku. Kuceritakan pada Emak keadaanku sekarang. Kututup dengan pesan agar tidak menyampaikan kepada Bapak dan kakak-kakakku.
Dua minggu barangkali setelah kukirim surat itu, Emak dan Paklik mengunjungiku di rumah Nyonya. Semalaman, dua malam malahan, Emak menangisi aku, anak perempuannya yang paling kecil dan yang telah mirip benar dengan borok besar keluarga.
Bagaimana bukan luka menahun? Keluargaku meski tidak berpunya berlebihan, tapi semua menikmati pendidikan yang baik bahkan pendidikan tinggi mulai sejak generasi buyutku yang dapat jatah masuk sekolah jaman Belanda. Buyut-buyutku bersekolah kalau tidak salah di sekolah yang disebut HIS. Aku lupa singkatan dari apa HIS itu. Dan juga yang lebih tinggi yang disebut MULO – aku juga tidak ingat kepanjangannya. Banyak diantara buyutku dan kakekku menjadi guru bahkan sampai Bapak yang pensiunan kepala sekolah. Bapak malahan terbukti berhasil memaksakan mengatur hidupnya sedemikian rupa demi bisa mengantarkan hampir semua anaknya bergelar sarjana, kecuali aku karena memang tidak mau!
Dan sekarang ini, Emak datang melihat keadaanku dan selain itu mengabarkan kalau sikap Bapak terhadap aku belum berubah. Apalagi pada Kang Ratno. Ia tak pernah masuk hitungan daftar menantu Bapak.
“Emak tetap matur Bapakmu Nduk, sebelum kemari. Tapi Bapakmu tak bergeming. Emak tanya apa kersa ikut, jawab Bapakmu……… Ah sudahlah…jangan dibawa sampai sakit hati ya Nduk, Bapak selamanya Bapakmu.”
Jadi Bapak tak tumbuh belas kasihannya kepadaku? Ajakan Emak untuk ikut ke Jakarta melihatku, tidak ditanggapi sama sekali? Atau ditanggapi tetapi kata-katanya terlalu keras sehingga Emak tidak tega menyampaikan?
“Apa mas-mas dan mbakyu semua tahu juga Mak?”
“Emak belum memberitahu mereka.”
“Tak usahlah Mak. Aku tidak mau mereka sedih.”
“Sebaliknya, mereka mau membiayai kamu kuliah Mur.” Paklik membujukku.
“Murni malu Paklik. Sekarang ini sudah kasep. Biarlah Murni dengan jalan hidup Murni sendiri. Nyonya disini baik kok sama Murni.”
Dalam hatiku, kalau kakak-kakakku membiayai sekolahku, aku tentu tinggal bersama mereka. Dan aku pasti harus membantu-bantu pekerjaan rumah. Setidaknya begitu sebagai pihak yang menerima belas kasihan. Lebih baik aku kerja jadi pembantu sekalian. Jelas aku dibayar karena melakukan pekerjaan rumah.
Tapi disisi lain, Nyonya majikanku, dan keluarganya, walapun sungguh sangat baik padaku, toh belum pernah menawariku kuliah! Bayangan kesenangan belajar di bangku perguruan tinggi berkelebat.
Waktu Emak dan Paklik sudah kembali ke kampung, aku mulai menyesali diri tak berkeputusan. Bukannya kusenangkan mereka, malah duka rusuh hati yang telah kubawakan sebagai oleh-oleh buat Emakku dan Paklikku yang baik hati itu.

*****
Anakku berhasil kulahirkan ke dunia ini, seminggu setelah aku di kampung. Seorang Tole, ternyata…..
Maafkan Emak, Le! Nanti kamu besar di kampung sini ya. Ibumu ini harus kembali ke Jakarta. Mencari uang, menyambung hidup yang sudah tidak terlalu ingin dinikmatinya.
Akan kutinggalkan Toleku, disini, pada salah satu sepupuku yang sudah bertahun-tahun menikah tapi belum diberi keturunan.
Sore itu, waktu mereka sudah pulang dan Toleku sudah mereka bawa, tinggal aku dan Emak di teras rumah Paklik.
“Sebetulnya suamimu itu kemana toh Nduk? Kok sampai anaknya lahir dia tidak muncul?”
Sore ini Emak tidak lagi meratap. Tidak sama sekali ada dalam suaranya sebuah ratapan. Hanya sedikit sedih. Pastilah Emak, seperti Nyonyaku yang baik hati di Jakarta, telah mulai mengira mestinya ada sesuatu antara aku dan Kang Ratno.
Semua gara-gara benda yang bernama telepon selular. Pemberian Nyonya padaku.
Nyonya waktu itu membeli telepon selular baru. Yang lama diberikannya ke aku. Kira-kira sebulan setelah perkawinanku dengan Kang Ratno.
Suatu hari, sebuah sms nyasar masuk. Tidak kubalas. Malamnya si pengirim sms menelponku. Singkatnya, sejak itu aku berteman dengan lelaki pengirim sms itu. Karena Kang Ratno sering tidak pulang kalau sedang ada proyek, suatu hari aku lagi-lagi bertindak tolol sekali. Kuterima ajakan pengirim sms untuk bertemu muka. Aku berdua saja dengannya pergi menonton pasar malam di komplek tempat Nyonya tinggal. Juga beberapa kali setelah itu ada lagi kami membuat janji bertemu.
Seorang temanku yang juga pembantu rumah tangga didekat rumah Nyonya, melaporkan pada Kang Ratno.
Habislah cerita tentang perkawinanku yang bahkan belum tiga bulan!
Segala tuduhan dilancarkan Kang Ratno kepadaku. Mulai dari sekedar selingkuh, perempuan gatal, perempuan kampung materialistis, gila jabatan dan banyak lagi. Lelaki pengirim sms memang lebih punya kedudukan dari Kang Ratno. Dia seorang petugas dinas lalu lintas.
Aku selamanya seorang perempuan kampung. Walau tak ingin menundukkan diriku begitu rendah dimuka suamiku sendiri dan walau tamatan sekolah menengah atas, tetap tak mampu melawan tuduhan Kang Ratno yang hanya bersekolah sampai kelas lima sekolah dasar. Karena melihat aku diam saja tiap kali dia menyinggung soal sms nyasar itu, Kang Ratno makin teguh percaya bahwa aku memang berniat selingkuh.
Sejak itu Kang Ratno tak pernah pulang ke kontrakan kami padahal aku sudah hamil. Suatu kali, kuberanikan menemuinya di lokasi proyek.
Tapi seperti sudah kuperkirakan, Kang Ratno menolak bayi dalam perutku. Teman-temannya yang juga kuli bangunan, ikut menertawai aku.
“Dari mana kamu bisa bilang dia anak Ratno?”
Hina, hina, terkutuknya diriku! Bukan hanya suamiku tak mengakui anakku. Bahkan teman-temannya mendukung dia turut menghina aku…
Bagaimana aku membuat mereka percaya aku tak berhubungan dengan petugas dinas lalu lintas itu atau siapapun?
Nyonyaku yang baik hati itu mulai kubohongi. Tiap kali Nyonya bertanya, suamimu tidak menjemputmu? Jawabku adalah, proyeknya diluar kota Nyonya. Hari Minggu saja dia pulang ke rumah sewaan kami.
Maafkan aku Nyonya! Ampuni aku, Emak, Bapak, Tole anakku… (Selesai)

Kae = itu
Mandi = mujarab
Kersa = bersedia
Matur = mengatakan
Kasep = terlanjur (buruk)
Ngenes = menyedihkan