Sunday, May 31, 2009

Anak Tangsi (Bagian 2)



Dusun Asalku


Kehidupan bermula dari dusun. Sebagian dusun terus diramaikan oleh manusia yang terus berkembang biak dengan cepat. Ia kemudian boleh disebut kota. Begitulah cara banyak kota di garis pesisir pantai terjelma. Namun dusunku tak pernah menjadi kota.

Dusun kecil dan berpenduduk miskin itu adalah tempat asalku. Adanya di pesisir selatan Jawa Tengah. Dari Gombong menuju timur, dusun itu adanya disebelah kiri jalan. Desa disebelah kanan jalan, seberang dusun, yang hampir semuanya berupa persawahan, sudah bukan bagian dari kampungku.
Tak pernah ada terpasang tanda atau setidaknya papan petunjuk nama desa. Hanya penduduk sudah selalu menyebut desa mereka: Nongko.
Di banyak desa lain, kalau petunjuk nama desa tidak ada maka ada papan nama pasar lokal tradisional disitu. Tetapi tidak di Nongko.
Nongko tidak memiliki pasar tradisional. Untuk memperoleh keperluan sehari-hari, ibu-ibu di Nongko menanti tukang sayur keliling yang lalu dimuka rumah mereka atau pergi ke warung. Atau, kalau sedang punya uang cukup banyak, mereka ke pasar di kota terdekat. Ke pasar, kurang disukai oleh ibu-ibu Nongko. Pasar dengan segala tampilan dagangannya terlalu berdaya tarik kuat. Seringkali uang jadi jauh lebih banyak keluar dari yang telah direncanakan semula.
Lalu bagaimana dengan terminal bus dan stasiun kereta api? Nongko jauh dari harapan untuk dibangunkan sebuah stasiun atau terminal bus. Dengan penduduk yang barangkali tidak mencapai tiga ratus orang, tak ada gunanya melengkapi Nongko dengan fasilitas layanan umum itu.
Hanya ada dua alasan bagi Nongko untuk dikenal diluar Nongko. Pertama, ada orang kelahiran Nongko yang merantau keluar Nongko dengan begitu ia dapat bercerita tentang dusunnya kepada teman seperantauan. Kedua, punya sanak keluarga yang kawin dengan orang Nongko.
Tak ada alasan komersial sama sekali!
Kenek bis atau angkutan umum lainnya bahkan tidak pernah berusaha membantu Nongko menjadi lebih dikenal. Mereka tidak pernah meneriakkan: “Nongko, Nongko, persiapan turun, persiapan turun…!” buat mengingatkan penumpangnya yang ingin turun di dusun Nongko. Sebagai gantinya mereka menyerukan: “Ndalem Kromo, Ndalem Kromo, persiapan turun….…”
Kenapa “Ndalem Kromo”? Nanti akan kuceritakan.
Nongko berarti nangka dalam Bahasa Indonesia. Ya buah nangka, pohon nangka! Lidah-lidah Jawa yang terbiasa melafalkan “o” bagi huruf “a” lah yang mengubah Nangka menjadi Nongko.
Di Nongko, pohon nangka tumbuh liar begitu saja. Tetapi tidak ada seorang pun hari ini yang tahu bahwa dusun itu dinamakan begitu karena si pohon-pohon itu.
Pohon-pohon nangka di Nongko subur. Mereka bisa tumbuh di tepi jalan, di halaman rumah orang, atau dimana saja diseluas dusunku itu.
Sesungguhnya menyenangkan melihat pohon nangka di Nongko. Pokok kayunya besar-besar. Kulit kayunya kuning kecoklatan mulus. Daun-daunnya lebat, hijau mengkilap tanpa cacat bekas gigitan ulat.
Pokok batang nangka kuat dan bagus untuk dijadikan bahan perabotan rumah tangga. Tapi nampaknya orang Nongko tidak tahu itu. Kalau tahu, tentu di Nongko sudah hidup industri rumahan dengan kayu nangka sebagai bahan baku utama.
Lalu juga daun-daun nangka yang hijau royo-royo dan disukai ternak itu ya hanya menjadi penghijau pemandangan dusun. Orang Nongko jarang yang memiliki ternak dan orang luar Nongko tidak akan datang ke Nongko khusus untuk membeli daun nangka untuk dijadikan pakan ternak mereka.
Fakta terakhir tentang pohon-pohon nangka yang subur itu: mereka tidak bisa menghasilkan buah nangka yang baik!
Setiap saat tanpa dibatasi musim, setiap pohon selalu menghasilkan buah muda, cikal bakal nangka. Bukannya buah-buah muda itu membesar kemudian menjadi buah nangka yang manis legit, tapi setelah mencapai ukuran tertentu, buah-buah bayi itu jadi magel, mengeras, menghitam dan kemudian busuk tanpa pernah menjadi matang. Untuk diambil sebagai gori (buah nangka muda untuk sayur lodeh atau gudeg) pun tidak bisa.
Perempuan-perempuan dusun Nongko dari masa kemasa mengeluhkan kualitas buah nangka yang tumbuh di tanah desa mereka. Mereka tak dapat memahami bagaimana pohon buah yang terlihat begitu elok tak dapat menghasilkan buah yang bagus. Mereka menggerutu tiap kali ingin membuat masakan dari buah nangka muda, harus membelinya.
Mitos yang diedarkan dari mulut ke mulut oleh perempuan-perempuan Nongko tentang pohon nangka yang mandul itu adalah: suatu kali, istri seorang kyai sedang hamil. Dalam kehamilannya ia sangat ingin makan buah nangka. Namun waktu itu bukan musim nangka berbuah. Sang kyai bersemedi siang dan malam, memohon kemurahan Sang Kuasa agar kiranya memberikan salah sebuah pohon nangka di pekarangannya buah yang matang.
Entah apakah doanya sungguh terkabul atau hanya halusinasi si kyai, ia mendapati salah satu pohon nangkanya berbuah satu saja, besar dan telah masak. Anehnya penglihatan sang kyai itu terjadi pada malam hari.
Sang kyai bersyukur atas terkabulnya keinginannya, lalu bersiap-siap menebas buah nangka dari pohonnya.
Selagi kyai pergi mengambil parang, sekawanan kelelawar raksasa menghampiri pohon nangka dan menggerogoti satu-satunya buah yang telah masak itu.
Ketika kyai kembali dengan parang telah terasah tajam, buah nangka telah koyak sisa dimakan kelelawar.
Kyai menjadi murka dan mengutuki semua kelelawar itu serta memohonkan kehendak Yang Kuasa lagi agar dimandulkan saja semua pohon nangka didusunnya. Kyai tidak rela, nanti kelelawar lagi yang menikmati buah-buah nangka yang telah masak.
Begitulah menurut perempuan-perempuan Nongko asal mula kemandulan pohon nangka di dusun mereka.
Mereka menolak alasan yang lebih rasional semisal bahwa tanah Nongko memang tidak sesuai ditanami pohon nangka. Mereka berkeras tanah desa mereka cukup subur. Mereka selalu menggunakan rumput liar yang selalu hijau bahkan di musim kemarau sebagai perbandingan. Rerumputan yang tumbuh sepanjang jalan desa tidak pernah sampai demikian kekeringan atau menguning warnanya akibat kurang air. Di musim kemarau sekalipun, rerumputan liar itu masih cukup hijau untuk menimbulkan nafsu makan pada ternak.
Juga lumut. Pada kiri kanan jalan utama desa, lumut hidup subur sekalipun sedang kemarau. Sepenggal jalan utama itu sebetulnya jauh dari gambaran jalan umum yang cukup berkualitas pada umumnya. Awalnya jalan itu ada karena hasil sedekahan penduduk yang rela sebagian pekarangannya dibuka menjadi jalan. Di jalan itulah lumut berserakan.
Jalannya sendiri berupa tanah saja dengan batu-batu menonjol disana-sini. Suatu kali dulu sepertinya sudah akan diaspal tapi terhenti. Batu untuk lapisan pengeras jalan sudah terlanjur ditebar. Karena lapisan aspal tidak juga datang untuk menutupnya, batu keburu hancur sendiri oleh kikisan air hujan dan waktu. Sekarang sebagian besar permukaan jalan telah kembali berupa tanah dengan beberapa batu besar masih berserakan disana-sini. Pada batu-batu itulah lumut tumbuh. Padahal lumut hanya semakin melicinkan batu. Roda sepeda motor dan sepeda ontel penduduk sering tergelincir pada batu berlumut.
Begitulah Nongko. Segala yang melimpah disitu tak memberi kehidupan lebih baik pada orang Nongko.
Aku sendiri tak pernah hidup di Nongko. Seperti sudah kukatakan, aku lahir disebuah tangsi di Jakarta.
Tetapi moyangku, lima generasi diatasku dari garis keluarga ibu, lahir dan sampai matinya di Nongko. Semua yang aku tahu tentang Nongko adalah dari keluarga yang lebih tua. Yang menceritakannya secara lisan kepadaku.
Ketika aku kecil, barangkali umur tujuh, seorang Bude, kakak ibuku membawaku ke Nongko pada suatu liburan sekolah. Itu merupakan liburan pertamaku jauh dari rumah orang tuaku.
Sebelum pergi berlibur, aku telah memiliki bayangan akan sebuah desa yang indah yang umumnya dalam buku pelajaran pada zamanku digambarkan letaknya di lereng sebuah gunung. Kurang lebih gambaran yang kumiliki adalah sebagai berikut: sekumpulan rumah penduduk dimana tiap rumah memiliki sepeda sebagai kendaraan utama, ada ternak atau unggas peliharaan, ada sungai yang airnya mengalir lancar dan warnanya jernih. Akan lebih bagus kalau sungai itu mengalir di kaki bukit. Jika sungguh demikian, aku akan lelah berlari mendaki dan menuruni bukit. Di sungai itu, mestilah aku juga harus bisa menangkap ikan.
Itu sebabnya ketika Bude datang menjemputku, aku berangkat ke Nongko dengan antusiasme sangat tinggi.
Kami, aku dan Bude, naik kereta api sore. Aku sudah lupa kereta itu apa namanya. Pada masa itu, semua kereta ke arah Jawa Tengah dan Jawa Timur diberangkatkan dari Stasiun Gambir.
Stasiun Gambir, keadaannya waktu itu kotor dan betul-betul merupakan cerminan wajah sebuah stasiun. Lantai tempat penjualan tiket, ruang tunggu dan peron, lantai ubin berwarna gelap. Sangat berminyak. Tentu tak pernah dibersihkan. Tumpahan minyaknya itu barangkali sudah sejak negeriku belum merdeka ada tercecer disitu. Tebal sekali. Walau mengenakan sepatu, aku dapat merasakan aku berjejak diatas lapisan kotoran minyak, tidak langsung diatas lantai.
Seingatku kereta diberangkatkan sekitar setengah lima sore. Aku belum pernah berada dalam kendaraan umum bersama orang-orang yang bukan keluargaku sebanyak itu, dalam sebuah gerbong kereta api. Sebentar, jika malam datang, aku dan mereka semua akan tertidur bersama dibawah satu atap kereta ini. Agak aneh!
Pengalaman pertama dengan kereta memberiku pengertian bahwa begitulah kehidupan orang dewasa rupanya. Akan banyak berada bersama-sama dengan orang-orang yang tidak dikenal.
Teringat akan kemungkinan dijahili, diisengi atau bahkan kejahatan lainnya, aku mulai cemas. Apakah sebaiknya aku percaya saja pada orang-orang dalam kereta ini? Kulihat ada keluarga-keluarga bepergian bersama, yang sendiri juga ada. Anak-anak juga cukup banyak.
Bude kelihatan tenang-tenang saja. Jadi mestinya cukup aman, pikirku.
Kereta terus berjalan kearah timur. Ketika mestinya sudah diluar Jakarta, mulai banyak kulihat daerah persawahan, empang dan perkampungan penduduk.
Hari masih sedikit diterangi matahari. Disebuah tempat kulihat seperti kolam yang didalamnya puluhan burung menyerupai bangau sedang mematuk-matuk di air. Barangkali mencari makan. Ditempat lain, petani beriringan meninggalkan sawah.
Beberapa menit sebelum matahari benar-benar menghilang, kereta melewati pekuburan. Juga beberapa waktu setelah itu masih melewati beberapa pekuburan lain.
“Aku akan menghitung berapa pekuburan umum yang akan kita lewati” kataku pada Bude.
“Untuk apa? Sepanjang jalur rel ini ada banyak sekali. Lagipula sebentar lagi malam, kamu tidak akan bisa melihat apapun dluar sana lagi.”
Benar. Tak lama bumi menjadi gelap gulita. Aku tinggal melihat lampu rumah penduduk seperti terkejar oleh kereta dan kemudian tertinggal jauh dibelakang.
Aku terus terjaga barangkali sampai beberapa jam setelah malam turun. Masih sempat kulihat beberapa kali pengendara mobil dan sepeda motor berhenti di persimpangan dengan jalur kereta saat kereta lewat. Persimpangan itu dipalangi bambu atau ada juga yang dari besi. Senangnya, aku menang! Orang-orang lain harus mengalah untuk memberi keretaku lewat.
Sebelum akhirnya tertidur, puluhan pertanyaan sempat kuajukan pada Bude tentang kampungnya yang akan kulihat sendiri dalam beberapa jam.
“Bude memelihara ternak?”
“Ya, ada beberapa ekor ayam dan bebek.”
“Punya sepeda?”
“Punya.”
“Disana ada sungai?”
“Ada kali (sungai) kecil.”
“Ada ikan disitu?”
“Ada.”
Cukup. Tampaknya tempat itu sudah mirip benar dengan desa ideal-ku.
Begitu tiba, rumah Bude kukelilingi tapi tak kutemukan perwujudan dari lukisan desa dalam anganku. Tidak di Nongko sebab ia ternyata sebuah dusun yang terletak diatas tanah yang rata, datar saja. Bukit tak dimilikinya. Juga sungai. Yang Bude katakan sebagai kali adalah sebuah parit buatan yang mengalir di tepi desa. Memang cukup lebar dan disitu juga ada ikan-ikan kecil karena seseorang mestinya telah menabur benih ikan-ikan itu disitu. Dan ah… ikan-ikan itu tak pernah membesar sehingga ketika Bude menggorengnya, ukuran matang mereka tinggal seukuran ikan-ikan teri saja. Di Jakarta, ibu selalu menghidangkan ikan dalam potongan besar. Bahkan sepotong ikan goreng dari bagian tengah tubuhnya saja jauh lebih besar dari seeekor ikan dari kali di Nongko.
Sudah untung rupanya hanya dapat ikan kecil dan aku tidak ke Nongko saat banjir. Kata Bude, dusun moyangku itu pasti terlanda banjir saat musim hujan. Oleh sebab letaknya yang lebih rendah dari permukaan jalan raya, Nongko selalu kelimpahan air hujan jika turunnya sangat lebat apalagi jika sampai berhari-hari tidak berhenti. Lain dari itu, dusun diseberang jalan raya ternyata memiliki sungai. Cilakanya, dusun itu lebih tinggi dari Nongko. Dalam musim hujan, sungainya luber. Nongko pun kebagian air gratis. Limpahan air sungai yang membludak mengalir ke jalan dan turun ke Nongko.
Liburan di Nongko itu pada akhirnya lebih merupakan suatu pembelajaran tersendiri bagiku. Itulah kali pertama aku berkesempatan membandingkan harapan dan kenyataan, mendidik diriku sendiri untuk lebih rinci mempertanyakan keingintahuanku dan bertahan atau jika mungkin menjadi kreatif ketika harapan tidak terpenuhi. (Bersambung)