Tuesday, May 19, 2009

Anak Tangsi (Bagian 1)



Di Tangsi

Barangkali otakku secara diam-diam menderita penyakit tertentu? Barangkali otakku berwarna? Tidak hanya putih bersemburat merah warna pembuluh darah tapi warna-warni lengkap seperti sekotak pewarna yang anak-anak biasa miliki untuk digunakan mewarnai gambar mereka.
Tapi betul bahwa aku mampu mengingat banyak hal dari masa kecilku. Dan kata orang, jika semua yang kita ingat itu bahkan dapat kita ingat warnanya, maka ingatan kita itu pasti benar adanya.
Lukisan masa kecil itu tidak akan dapat kutuangkan diatas kertas karena aku rasa aku tidak berbakat melukis sama sekali. Karena itu aku coba bentuk lain: dengan kata-kata.


*********

Lahir dan besarku di sebuah komplek militer yang letaknya dipojok paling timur kota Jakarta. Disitulah ayah yang tentara, bertugas dan mendapat jatah rumah dinas tak lama setelah sebuah orde pemerintahan yang baru didengung-dengungkan oleh kekuatan pemerintah baru di negeriku.

Rumah dinas jatah ayahku berupa sebuah petak ditengah sebuah barak panjang. Tiap barak minimal terdiri dari empat rumah dan paling panjang sepuluh rumah. Yang kumaksudkan adalah rumah bagi prajurit yang berpangkat rendah seperti ayah. Ada banyak tentara yang rumahnya jauh lebih besar. Masing-masing berdiri sendiri, satu rumah per satu rumah, temboknya tidak lengket kepada tetangga sebelah kiri kanan. Tidak dalam deretan panjang seperti yang kami tempati. Kata ayah, rumah besar-besar itu untuk jendral. Belakangan aku tahu tidak semua mereka jendral tapi tentara golongan perwira.

Walau rumah dinas ayah dibangun kira-kira dua puluh tahun sejak negeriku merdeka, bayang-bayang satu bangsa barat yang dengannya bangsaku sudah hidup bersama selama tiga ratus lima puluh tahun tetap belum sepenuhnya lepas. Dalam hal bentuk atau modelnya, rumah tangsi yang kami diami, menurut salah seorang Kakekku yang mantan KNIL, modelnya serupa benar dengan tangsi Kakek pada masa revolusi.

Banyak yang suka meniru-niru kompeni. Termasuk aku. Sejak mendengar ungkapan Kakek tentang tangsi, aku lebih suka menyebut daerah tempat tinggal kami sebagai tangsi dari pada kompleks. Sesuatu yang lebih kuno, rasanya lebih gaya ketika diucapkan.
Yang ayah dapat letaknya ditengah barak yang terdiri dari empat rumah, ketiga dari ujung kanan. Sama sekali tidak buruk dan tidak kecil.

Rumah itu, ketika aku belum lahir pun telah dialiri listrik. Gratis tapi sering sekali padam pada sore dan malam hari. Atau mungkin sengaja dipadamkan karena gratis? Masa itu tentara tidak membayar biaya pemakaian listrik. Kuperhatikan beberapa kali jika listrik padam, siangnya ayah pasti kembali dari kantor agak terlambat. Lewat dari jam tiga sore. Padahal jam ayah tiba dirumah yang normal adalah pukul dua siang. Barangkali ayah bertugas memadamkan listrik dari sumbernya, pikirku dulu. Ternyata aku tahu kemudian bukan itu sebab keterlambatan ayah pulang. (Nanti akan kuceritakan khusus tentang ini.)

Rumah yang tidak dipinggir barak itu kadang memberiku kesulitan. Kalau ada tamu datang dan ibu sedang tidak memiliki persediaan gula, kopi, teh atau sirup, pasti aku yang disuruh membelinya di warung terdekat. Aku tidak keberatan sama sekali melakukannya tapi aku malu karena waktu kembali ke rumah harus melewati ruang tamu. Dengan begitu aku membiarkan tamu melihat apa yang kubeli.

Walau masih kanak-kanak, aku meyakini ini tidak sopan. Tapi mau bilang apa. Ayah tidak seberuntung oom sebelah yang mendapat rumah diujung barak. Yang punya jalan teritisan samping rumah untuk menuju ke bagian belakang rumah.
Secara keseluruhan, aku bisa menikmati tinggal di tangsi itu. Rumah kami memiliki sedikit halaman di depan dan belakang dimana ayah menanam beberapa pohon buah. Yang depan ditanaminya dengan pohon mangga dan bunga-bungaan. Yang belakang, kedondong dan rambutan.

Karena rumah-rumah di tangsi tidak berpagar, kami anak-anak bisa bermain di halaman rumah tetangga yang manapun dengan leluasa. Bagi kami yang memiliki pohon buah-buahan, tidak adanya batas pagar halaman membuat kami merasa selayaknya saja hasil kebun kami juga untuk dinikmati bersama teman sepermainan.

Namun pohon kedondong dan mangga itu tak terlalu lama dimiliki oleh keluargaku. Kayu kedondong ternyata sangat rapuh. Semut-semut besar suka sekali menggerogoti bagian dalam kayunya. Sehingga diluarnya tampak masih baik tapi sudah kosong didalam. Tiap kali datang angin kencang, dahan dan ranting yang sudah keropos dirontokkan oleh angin, beterbangan, banyak yang jatuhnya menimpa genting rumah.
Suatu hari keputusan ayah sudah bulat. Harus ditebang. Dan benar, suatu Hari Jumat ayah meluangkan waktu melakukannya. Ayah dapat melakukannya pada Hari Jumat siang sebab hari itu ayah pulang kantor lebih awal. Sekitar jam setengah dua belas siang sudah ada di rumah.

Habislah riwayat pohon kedondong. Ayah menebangnya sampai pokoknya kira-kira tinggal dua puluh sentimeter dari permukaan tanah. Dan untuk memastikan ia tidak bertunas lagi, ayah menyiramnya dengan minyak tanah. Seperti pembunuhan!? Aku begitu terkejut waktu itu. Ternyata sebuah pohon saja harus dimatikan dengan cara demikian kejam.

Tak ada lagi kedondong buat dibagi. Mana lagi pohon mangga belum menghasilkan buah, juga pohon rambutan!

Malahan ketika aku sedikit lebih besar lagi, saat pohon mangga belum sempat berbuah terlalu banyak, aku harus kehilangan dia juga. Kata ayah, kerapuhan kayu pohon mangga dan kedondong sama. Ada angin kencang sedikit saja, rontoklah ranting-ranting tuanya.

Ada suatu masa dimana barangkali karena tangsi kami berada dipinggiran kota Jakarta yang masih sebagian besar berupa daerah terbuka tak bertuan, seringkali tiba-tiba datang angin puting beliung melanda. Putaran dan kecepatannya begitu tinggi. Kadang benda-benda besar sekalipun dapat ikut terbawa olehnya, hilang tak berbekas.
Ayah begitu khawatir akan amukan angin kencang itu. Jika ranting dan dahan keropos yang diterbangkannya menimpa genting rumah, barangkali seisi rumah akan tertimpa reruntuhan atap, luka-luka atau mungkin lebih parah lagi, mati tertimbun. Jadi pada suatu Hari Jumat siang yang lain, pohon mangga ditebas habis juga.

Tinggallah pohon rambutan. Tapi pohon rambutan kami agak lambat menjadi dewasa. Seingatku, aku telah duduk di kelas yang agak tinggi di sekolah dasar baru rambutan muncul buahnya.

Walau Jumat siang adalah waktu yang bisa ayah gunakan untuk melakukan hal-hal khusus yang aku tidak selalu setuju, itu juga saat yang diam-diam aku tunggu. Yang paling istimewa adalah membuat sate belut.

Belut yang besar-besar banyak terdapat di persawahan disekitar tangsi. Ayah memesannya dari petani pemilik sawah. Lalu aku akan menonton ayah membersihkan, menusuknya dengan tusukan sate dan membakarnya diatas arang. Sate belut jauh lebih gurih dari pada sate ayam. Dan seperti kebanyakan anak-anak yang kadang tidak mau makan sayur, sate belut hanya kumakan dengan nasi hangat yang disiram sedikit kecap manis.

Puncak kegiatan menyenangkan yang diijinkan ayah untuk kulakukan bersama adik-adikku adalah: kami boleh memelihara ayam!

Beberapa tahun sebelumnya, waktu aku masih lebih kecil, ayah ada memelihara itik-itik dan angsa. Tapi tidak lama. Ayah segera menyadari itik dan angsa terlalu jorok. Bagi mereka harus disediakan daerah yang sedikit berair semacam rawa atau kolam becek. Itik dan angsa tidak dapat hanya dipelihara dalam kandang seperti ayam.
Walau begitu, aku punya juga sedikit kenangan tentang angsa kami. Aku suka angsa. Menurut pendapatku angsa binatang yang anggun walau dia kadang suka jahat padaku. Kalau aku mengganggunya, dia akan mengejar aku dengan leher dan paruh rata sejajar dengan tanah, siap menggigit dan hanya berhenti kalau Ibu sudah turun tangan berteriak-teriak mengusirnya.

Aku ingat angsa terakhir disembelih oleh ayah sebab mulai sakit. Aku tidak percaya angsaku sakit. Waktu Ibu mencucinya tubuhnya – dengan leher telah hampir putus oleh pisau ayah – aku ingat angsaku mengeluarkan cairan kuning dari mulutnya serupa muntahan. Pasti ayah benar. Itu muntahannya karena isi tubuhnya sudah tidak beres, pertanda sakit.

Kata ayah, sebelum unggas sungguh-sungguh menjadi sakit kemudian mati, lebih baik dipotong. Dagingnya masih bisa dimanfaatkan untuk lauk sekeluarga. Memang Ibu kemudian mengolahnya dengan bumbu opor. Demikian berlaku bagi semua hewan ternak peliharaan kami. Termasuk ayam-ayam dikemudian hari.

Ayam-ayam kampung yang kami pelihara sebagian dari pemberian sanak keluarga yang juga memelihara ayam atau oleh-oleh dari keluarga yang datang dari desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain itu, aku juga punya ayam negeri yang aku dapat dari menukar botol kosong bekas sirup atau kecap yang sudah tidak digunakan oleh Ibu. Semula satu botol kecap kosong dapat kutukarkan dengan seekor anak ayam. Lama kelamaan, harus lima botol baru memberiku seekor anak ayam.

Ayah percaya bahwa anak ayam negeri yang bulunya berwarna hitam akan jauh lebih tahan terhadap wabah penyakit dibandingkan dengan yang bulunya berwarna putih. Kemudian aku melihat bahwa itu benar. Bahkan, ayam yang berbulu hitam badannya bisa tumbuh lebih besar dari yang putih. Dagingnya juga jauh lebih tebal.
Jika dari ayah aku diberi kesempatan untuk menikmati kesenangan-kesenangan itu, dari sisi Ibu aku sangat ditertibkan olehnya dalam membantu-bantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Di kelas satu sekolah dasar, aku sudah memiliki jadwal harian pribadi. Sekolahku waktu itu hanya dari pukul tujuh sampai dengan pukul sepuluh pagi. Sepulang sekolah, karena adik-adikku masih kecil, aku harus membereskan mainan-mainan mereka. Kemudian lantai rumah kusapu. Rumah harus beres waktu ayah tiba dari kantor. Tidak boleh ada mainan berserakan.

Setelah makan siang, aku harus tidur siang selama beberapa jam. Jam setengah empat sore aku akan dibangunkan oleh Ibu untuk membantu menyapu lantai kembali dan menyiram tanaman. Masa itu menyiram tanaman tidak mudah. Sumber air di tangsi adalah dari sumur. Dan sekecil itu aku sudah biasa menimba air. Toh embernya kecil saja jadi tidak terlalu berat waktu menarik air keatas. Air dari sumur kemudian kuisikan kedalam gembor yaitu semacam ember bercorong terbuat dari lembaran seng. Corongnya dibuat berlubang-lubang kecil, tempat air mengucur keluar.

Ibu tidak mengijinkan aku mengerjakan pekerjaan yang harus menggunakan air dimana airnya akan terkena tubuhku secara langsung, misalnya mencuci pakaian atau perabotan dapur. Ia selalu khawatir aku akan masuk angin karena kedinginan.

Aku sendiri rasanya selalu kurang beruntung jika melakukan sesuatu yang berkenaan dengan air. Misalnya ketika adik-adikku yang ketiga dan keempat lahir. Aku terbangun dari tidur siang dengan sebuah mimpi yang tidak jelas. Aku, dalam keadaan tidak sadar, berjalan ke kamar mandi dengan membawa bantal. Di kamar mandi, bantal aku masukkan dalam bak mandi yang penuh berisi air. Setelah mencelupkan bantal dalam air dan tanganku terkena air dingin, barulah aku sungguh-sungguh terbangun dari tidur.

Selama proses persalinan kedua adikku yang berselisih kurang dari dua tahun itu, Ibu tinggal untuk masing-masingnya selama tiga hari dan dua malam dirumah seorang ibu bidan yang tidak jauh dari rumah kami. Selama Ibu dirawat, setiap sore mimpi sambil berjalan itu kualami.

Hal lain yang Ibu juga tidak melibatkan aku adalah urusan berbelanja sayur mayor. Tapi aku diharuskannya belajar membantu membersihkan sayur-sayuran yang akan dimasak.

Ibu tidak terlalu sering ke pasar karena letak pasar cukup jauh. Harus naik becak. Kadang Ibu pikir sayang ongkos becak itu. Lebih baik beli sayur pada dua orang pedagang keliling langganannya.

Karena selalu repot dengan pekerjaan rumah dibelakang, seringkali Ibu berpesan padaku, “tunggui didepan jangan sampai Yu Mendo atau Yu Ora lewat dan kau tidak dengar.”

Yu Mendo dan Yu Ora adalah nama tukang sayur langganan ibu. Lucu ya nama mereka itu?
Yu, dari kata Mbakyu.
Yu Mendo, karena dia selalu membawa tempe mendoan dan kadang setengah memaksa ibu-ibu agar membelinya.
Yu Ora, karena harga dagangannya selalu sulit sekali ditawar. Tiap kali ibu-ibu menawar, jawabannya selalu ora (tidak).

Tapi Yu Mendo dan Yu Ora baik padaku. Aku selalu ingin mencoba jambu mente tapi sesering itu juga dilarang keras oleh Ibu. Menurut Ibu, mente bisa bikin aku batuk dan getah bijinya akan membuat tanganku gatal kalau sampai terkena.
Suatu hari, diam-diam, kedua Yu itu mengajariku memisahkan buah jambu mente dari bijinya dengan aman agar tidak terkena getahnya serta mencuci buahnya dengan air garam sebelum memakannya.

“Ditanggung tidak batuk” kata mereka. Dan benar, dengan mengikuti petunjuk mereka aku tidak pernah batuk gara-gara makan jambu mente. Ibuku juga tidak pernah tahu aku sering makan jambu mente pemberian kedua Yu itu.

Ayah memperkenalkan aku juga dengan kegiatan berkebun. Dulu, lahan dimuka rumah dinas ayah hanya berupa tanah kosong. Oleh ayah dan oom tetangga kami, tanah itu ditanami ubi jalar, pisang, singkong dan kacang tanah. Aku boleh ikut mencabuti ubi jalar dan kacang tanah waktu panen. Mencabut singkong terlalu sulit. Menebas pisang juga aku tidak dapat karena masih terlalu tinggi letaknya dari permukaan tanah dibandingkan dengan tinggi badanku.

Hasil kebun itu kami bagi-bagi saja dengan para tetangga. Termasuk yang rumahnya di perkampungan sekitar, bukan di tangsi. Nanti kembaliannya kami terima waktu hari raya.

Hari raya selalu meriah. Selain kekerabatan dengan sesama penghuni tangsi demikian erat, dengan penduduk di perkampungan sekitar yang kebanyakan orang Betawi asli tidak kalah akrabnya. Kalau hari raya, penganan di rumah-rumah mereka selalu luar biasa lezatnya. Aku selalu diajak orang tuaku bersilaturahmi. Diantara sekian banyak hidangan hari raya ada dua yang sangat kusukai. Pertama ketan uli yang dimakan dengan tapai ketan hitam, kedua manisan yang asam manis dibuat dari berbagai macam buah-buahan mengkal seperti mangga, kedondong, salak, pepaya dan cermai.
Jadi begitulah, aku besar sebagai anak tangsi yang dekat dengan hal-hal yang identik dengan kehidupan desa. Aku yang tidak lahir atau dibesarkan dalam kehidupan bersuasana pedesaan, tidak asing dengan tanam-menanam, memelihara unggas, mengerjakan pekerjaan rumah tangga walau semuanya dalam garis-garis batas yang dibuat oleh orang tuaku.

Yang anehnya dan keanehan ini kurasakan sendiri, meskipun aku tidak segan berkotor-kotor di kebun atau membersihkan kandang ayam, tetapi aku bisa dibilang sok pembersih. Contoh, barangkali karena terbiasa makan dimeja makan di rumah, aku tidak bisa makan ditempat yang terlalu terbuka. Suatu kali dalam piknik sekolah, kami pergi ke pantai. Bekal makanan dari rumah tak dapat kumakan di tempat piknik itu sebab disekitar tikar alas dudukku yang hanya digelar diatas rumput kulihat banyak terserak kotoran kuda. Asalnya dari kuda-kuda penarik andong sewaan di pantai itu. (Bersambung)

No comments:

Post a Comment